Lihat ke Halaman Asli

Rendra Trisyanto Surya

I am a Lecturer, IT Auditor and Trainer

Pengalaman Saya Saat Kecelakaan di Tol Cipularang dan Mengklaim Asuransi

Diperbarui: 7 Februari 2017   09:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana jalan tol Cipularang sehari-hari, yang menghubungkan kota Jakarta-Bandung. Dokpri

Tentu, tidak ada orang yang mau mengalami kecelakaan. Baik melalui  mobil yang dibawa sendiri, maupun ketika menjadi penumpang mobil travel umum. Namun, siapa yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi kemudian dari berbagai aktivitas yang kita lakukan? Kejadian dramatis yang hampir merenggut nyawa saya ini, mudah-mudahan menjadi pelajaran dan bahan renungan buat semua.

******

Tol Cipularang  Ramai Berbahaya?

Tak pelak lagi, jalan Tol Cipularang (singkatan dari Cikampek-Purwakarta-Padalarang), yang  menghubungkan dua kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta dan Bandung, merupakan salah satu jalan bebas hambatan terpenting di Indonesia. Jalan Tol yang dibangun selama tiga tahun tersebut, hanya berjarak 155 Km saja. Namun tol ini merupakan terobosan besar pemerintah dalam mencari solusi dari semakin padatnya jalur hilir-mudik masyarakat dari Bandung dan Jakarta menuju ke Jawa. 

Hingga saat ini, tak kurang dari 850.000 orang yang tinggal di Bandung (dari populasi  lebih 3 juta jiwa), yang setiap minggu melakukan kegiatan komuter karena bekerja di Jakarta. Berbagai alasan, mengapa jumlah masyarakat komuter “urang Bandung” ini semakin banyak saja dari tahun ke tahun. “Karena menetap di rumah di kota Bandung, dirasakan lebih aman, murah dan terjamin termasuk pendidikan buat anak-anak,” demikian salah satu dari kaum urban komuter ini beralasan. Bandung juga salah satu objek wisata favorit bagi orang-orang Jakarta, yang kemudian membuat sekitar 30.000 mobil selalu masuk ke kota Bandung di hampir setiap week end, lewat Tol Cipularang.

Sebagai salah satu dari kaum komuter, saya juga entah sudah berapa puluh kali kali mondar-mandir di jalan tol yang tampak asri, karena dibuat dengan menembus hutan lindung dan resepan air tersebut. Tiap kali perjalanan (Bandung-Jakarta) yang memakan waktu tiga sampai empat jam ini dilakukan, selalu saya isi dengan mendengar lagu dari headphone. Atau, memandang sambil menikmati kehijauan  di sisi jalan tol yang jalan-jalannya membelah bukit,  dan kadang melengkung dan menurun agak tajam tersebut. 

Suatu hari dalam lamunan tersebut, saya sempat berpikir begini: “Kalau menggunakan teori probabilitas, maka orang-orang yang sering melalui jalur ini secara reguler, pasti suatu saat akan mengalami kecelakaan..!” Begitu pikir saya. Betapa tidak! Jalan tol sebagaimana biasanya selalu dilalui kenderaan dengan kecepatan tinggi yang minimal 80 Km per jam ini terlihat cukup ramai. Kontur jalan yang tidak terlalu lurus tersebut, kadang menurun serta adanya angin kencang yang bisa datang dengan tiba-tiba dari sisi bukit di Km 60 hingga Km 90 tersebut, sangat mungkin menyebabkan hampir setiap minggu terjadi kecelakaan.  

Ya, betul pak! Hampir setiap minggu  terjadi kecelakaan di jalan Tol Cipularang ini,” kata Fahrur Rozi, salah seorang staf PT Jasa Raharja yang berkantor di Karawang. “Dan kecelakaan di jalan tol biasanya  fatal. Karena laju rata-rata kenderaan mobil  berkecepatan tinggi tersebut,” ujarnya dengan ramah ketika mengunjungi saya di rumah sakit. Mungkin karena itu, dalam beberapa tahun terakhir, muncul pula beberapa rumah sakit yang lokasinya sangat dekat dengan ruas jalan Tol Cipularang ini.

Akhirnya Kecelakaan di Km 53

Rabu, malam 30 Maret 2016 itu, hampir tidak ada firasat apapun sebelumnya bakal terjadi kejadian yang tak diinginkan ini, ketika saya dan istri berangkat menggunakan mobil travel umum langganan dari jalan Pasteur menuju ke Jakarta. Karena ini perjalanan yang rutin kami lakukan tiap bulan, untuk kontrol berobat jantung koroner akut yang saya idap semenjak lima tahun lalu. 

Mobil panjang dari salah satu perusahaan jasa travel, yang akhir-akhir ini tumbuh subur di Bandung itu, terlihat baru dan apik terawat. Seperti biasa, saya memesan tiket di kursi yaitu nomor 4 dan 5 di barisan kedua. Sebelumnya, seperti biasa, saya selalu duduk di nomor 1 di depan di samping pak supir. Agar bisa melihat pemandangan keluar lebih bebas, tidak merasa sumpek. Mungkin karena seharian lelah mengajar dan beraktivitas, maka tidak lama setelah mobil berjalan, saya langsung pasang earphone mendengar lagu-lagu kesukaan. Lalu tertidur pulas! Kacamata mata minus enam tetap bertengger di kepala sebagaimana biasanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline