[caption caption="(Keterangan Photo: Penulis berpose di Tugu Teuku Umar di Pantai Ujong Kalak, Meulaboh, bersama dengan Becak Aceh. Meskipun tampak kurang terawat, Tugu ini masih memberi makna tersendiri bagi para pengunjung. Terutama yang mengetahui sejarah perjuangan Pahlawan Nasional Teuku Umar tersebut, hingga akhir hayatnya di tempat ini / Photo: dok pribadi)""][/caption]
Ketika remaja tahun 1976-1978, saya tinggal di kota pesisir barat propinsi Aceh, yaitu Meulaboh. Meskipun hanya dua tahun di sini, namun Ibu Kota Kabupaten Aceh Barat, yang lebih dari sepertiga penduduknya telah hilang oleh bencana dahsyat Tsunami tahun 2004 itu, menyimpan banyak cerita dan kenangan. Masa remaja di sini tampak begitu padat dengan berbagai kegiatan dan aktivitas “anak muda”. Di antaranya ikut menjadi anggota Paskibraka Daerah, anggota Kontingen Jambore Nasional Pramuka Penggalang Aceh BArat, Olahragawan Tennis (ikut Porda), Gerak Jalan, Seni Teater, Pelajar Teladan, dan seterusnya. Hal yang selanjutnya ikut memberi warna bagi kehidupan saya selanjutnya.
“Sebagai anak muda, kamu harus selalu kreatif dan dinamis dengan banyak mengikuti berbagai aktivitas. Ikuti semua kegiatan olahraga, kesenian dan budaya yang mungkin kamu bisa lakukan. Agar selalu sehat, pikiran kamu berkembang, dan terhindar dari berbagai ekses negatif pergaulan,” begitu kerap Ayah, yang mantan Danrem 012/Teuku Umar berkedudukan di kota Meulaboh itu, berulangkali menansehati saya. Dia juga rajin memberi ceramah kepada anak-anak sekolah di sana. Bahkan tidak jarang, ikut aktif turun langsung menciptakan berbagai kegiatan Olahraga dan Seni yang melibatkan segenap anak-anak remaja dan pemuda se-kota Meulaboh di era tahun 1976-1978 tersebut, di antaranya memprakarsai Pekan Olahraga Daerah (PORDA).
“Agar mereka tersalurkan energi berlebihnya dengan mengikuti kompetesi olahraga dan kesenian. Selain juga membentengi mereka agar tidak mudah terpengaruhi oleh ideologi gerakan separatis,” katanya lebih lanjut di lain waktu.
“Hiruk-pikuk” berbagai kegiatan itu lebih mengasyikkan (daripada beban). Yang menyebabkan kota ini kemudian mempunyai arti tersendiri. Karena kemudian saya banyak dikenal orang, dan sekaligus juga mengenal orang-orang Meulaboh. Akhirnya, meskipun pendatang, saya sudah merasa bagian dari orang Aceh. Values yang kemudian saya peroleh selama dua tahun tinggal di kota ini, adalah menjadi lebih peka, toleran terhadap perbedaan tradisi, sikap dan budaya serta bahasa dari masyarakat di sekeliling saya. Bahkan Teuku Umar, yang merupakan salah satu ikon kepahlawan masyarakat Aceh, khususnya masyarakat Meulaboh itu, kemudian menjadi salah satu tokoh idola saya.
***
Jadi, hampir 35 tahun ini saya tidak pernah ke Aceh, sejak keluarga kami pindah ke Jakarta tahun 1981. Dan terpikirkan pun tidak akan mengunjungi kota ini lagi. Karena selain terlalu jauh di ujung barat pulau Sumatera sana. Juga hampir tidak ada jalan dan kepentingan untuk menuju ke sana. Tiba-tiba, adik ipar saya: Iskandar AB yang asli orang Aceh, yang lagi sibuk-sbuknya membangun bisnis Tambang Batubara di Meulaboh ini, menelpon.
“Mas Ton, besok Senin pagi bisa ke Jakarta? Kita berangkat ke Meulaboh? Kebetulan ada tiket pesawat yang menganggur. Khan katanya sudah kangen dengan Aceh.” Suara berat khas terdengar dari ujung sana. Seperti biasa, dia selalu berkomunikasi dengan gaya lugas tuntas dan serba mendadak. Mungkin begini memang seharusnya karakter para pengusaha: gesit dan serba cepat!
Tentu saja, tawaran tersebut saya sambut dengan gembira!
Senin jam 08 pagi, pesawat yang kami tumpangi kemudian tinggal landas dari Bandara Cengkareng Jakarta menuju ke Bandara Polonia, Medan. Karena memang tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta menuju ke kota Meulaboh. Sekitar jam 10:30, pesawat tersebut mendarat di Bandara Polonia. Tampaknya tak perlu transit berlama-lama. Saat itu juga semua penumpang yang akan melanjutkan penerbangan ke Meulaboh, dipersilahkan dan digiring menaiki pesawat perintis Susi Air yang bermuatan sekitar 40 orang. Pesawat sudah memanaskan mesin bersiap-siap di lapangan, tanpa kita harus masuk ke gedung Bandara Polonia lagi.
Pesawat ini pun tak perlu lama-lama menunggu. Sekitar 30 menit kemudian langsung mengudara terbang menembus udara langit perbatasan Propinsi Sumatera Utara dan Aceh, yang secara diametrikal menembus udara Gunung Leuser dan Kawasan Bukit Barisan. Tampak kehijauan pohon yang pekat di bawah, memberikan view yang khas. Sekali-kali, terlihat sungai-sungai besar membelah kawasan hutan rimba raya Aceh ini. Meliuk-liuk bak “Ular Besar” yang sedang terlelap tertidur dengan tenang. Kawasan ini merupakan salah satu paru-paru dunia yang menjadi PESONA INDONESIA (www.Indonesia.travel/pesonaindonesia). Terbayang kemudian: kalau-kalau pesawat jatuh? Pasti akan sulit sekali tim penolong mencari pesawat kami, karena lebatnya hutan di bawah sana.
[caption caption="(Keterangan photo: Suasana Hotel TIARA di Jalan Teuku Umar, dengan halaman luasnya yang dulu kami gunakan bersama rombongan kontingen Pramuka Penggalang Aceh Barat, buat latihan berkemah persiapan ke JAMNAS di Sibolangit. Hutan-hutan kecil di seklilingnya kini sudah tidak kelihatan lagi. / Photo by: Rendra Tris Surya)"]
[/caption]