Sabtu, 02 Juni 2012, udara sore itu begitu cerah melingkupi kota Jakarta. Saya baru saja turun dari pesawat rute Banda Aceh (ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam) yang menuju ke Jakarta. Sore di akhir minggu itu, suasana Bandara Cengkareng terlihat lebih ramai dan hiruk pikuk dari biasanya. Mobil Travel langganan yang biasa membawa saya dari Jakarta langsung pulang ke kota Cimahi di Jawa Barat itupun sudah penuh. Oleh karena tidak kebagian mobil biasa, akhirnya saya beralih ke mobil travel eksklusif yang lebih mahal, dengan bertarif Rp 200.000 untuk mengantar sampai ke rumah (door to door) di kota Cimahi.
Mobil mewah dengan kapasitas 5 kursi penumpang tersebut, hanya mengetem sebentar di pintu keluar bandara. Tiga puluh menit kemudian, mobil meluncur membelah jalan tol Cipularang menuju ke kota Cimahi, sebuah kota tangse tentara dimana saat ini saya bermukim. Di depan saya duduk seorang Ibu muda turunan Tinghoa yang baru pulang jalan-jalan dari Singapore, yang sempat dengan ceria menceritakan pengalamannya mendapatkan tiket Promo. Di belakang kursi saya, duduk seorang insinyur pertambangan yang hendak berlibur ke Bandung (dari Kalimantan) setelah jenuh bekerja dua bulan di hutan terus. Disamping saya duduk seorang ibu setengah baya yang mengenakan kerudung dan baju berwarna oranye dengan mengenakan celana jins biru ketat. Ia terlihat kalem, namun sempat terdengar suaranya yang ceplas ceplos (dengan medok Jawa) memprotes sesuatu ke supir dengan gaya yang tidak biasa….
[caption id="attachment_247313" align="alignleft" width="292" caption="(Melakukan acara penanaman pohon untuk penghijauan lingkungan, merupakan salah satu kegiatan Ibu-Ibu isteri tentara/PERSIT dimana-mana, termasuk di Propinsi ACEH / Sumber photo: suaratamiangonline.com)"][/caption] Pada awalnya saya enggan ngobrol kesiapapun disini, karena merasa capek dan ingin tidur saja selama perjalanan mobil menuju ke Bandung ini. Perjalanan selama 3 jam dari Jakarta-Bandung memang selalu membosankan, karena sudah sering saya lakukan. Namun, entah mengapa,tiba-tiba saya jadi tertarik juga mengobrol dengan ibu muda disamping saya itu meskipun kelihatan bossy ini. Ya, memang selalu dalam perjalanan, acap kali kita bertemu dengan beragam orang (yang terkadang menarik dan unik), tanpa diduga-duga sebelumnya. Dari obrolan ini, akhirnya saya menjadi tahu bahwa ibu berhidung mancung dan bermata agak sipit ini semasa remajanya tinggal di kota Cirebon. Sebuah kota yang juga dikenal sebagai salah satu kota santri di Jawa Barat.
Awalnya, dia sekedar ngobrol basa-basi mengeluhkan perjalanannya yang melelahkan, karena harus bolak balik dari Banda Aceh ke Cimahi hampir tiap dua minggu sekali mengurus dua buah rumah dinas yang ditempati dikedua kota tersebut. Dan terpaksa terpisah dengan anak-anaknya, karena mereka tidak mau ikut Ayahnya pindah sekolah ke Aceh. Suaminya seorang Kolonel senior, yang merupakan salah seorang pejabat teras di Kodam Iskandar Muda Aceh. Sebagaimana halnya beberapa ibu-ibu perwira menengah yang saya kenal, gaya sebagai “isteri komandan” ibu ini juga terlihat begitu menonjol. Bahkan, terkadang dia merasa lebih mengetahui soal kemiliteran sebagaimana layaknya suaminya (yang memang lulusan Akmil) tersebut. Sehingga kami sempat berdebat juga tentang beberapa hal mengenai dunia militer yang saya pahami. Namun disisi lain, ibu yang sebenarnya enak diajak ngobrol ini, supel dalam berkomunikasi. Mungkin istilah sekarang, dia merupakan “Ibu gaul”. Terlihat akrab dengan berbagai gadget teknologi informasi masa kini yang dibawanya. Sekali-kali terlihat dia mengirim SMS, melakukan Chattingdengan menggunakan Black Berry-nya dan juga mendengar lagu dari HP keluaran terbarunya tersebutmelalui earphone. Disaat lain,dia kemudian bermain-main dengan Tablet PC yang dibawanya. DengaTablet PC tersebut, dia bermain games sambil membuka album photo digital. Lalu dia menunjukkan photo suaminya yang masih terlihat gagah dengan rambut cepaknya itu. Kemudian photo anak-anaknya dan juga photo kegiatan dia sebagai ibu Persit (organisasi isteri tentara) selama di Aceh.
Seragam Persit berwarna hijau muda dalam photo digital tersebut, tiba-tiba mengingatkan saya akan seragam yang sering dipakai oleh ibu saya (yang juga isteri seorang perwira senior tentara di era tahun 1970-an, dan kebetulan juga pernah bertugas di Aceh). Hanya bedanya, kini ibu-ibu persit di Aceh tersebut diharuskan mengenakan kerudung dalam seragam hijau muda tersebut karena adanya penerapan Syariat Islam di sana. Suatu hal yang pernah menjadi isu sensitif dan sering kali diperdebatkan di kalangan tentara di era pemerintah orde baru.
“Di Aceh saat ini semua wanita, termasuk isteri tentara wajib mengenakan kerudung. Bahkan isteri tentara yang beragama non-muslim sekalipun harus menggunakan kerudung juga disana...”, katanya menambahkan.
[caption id="attachment_247315" align="alignleft" width="332" caption="(Di Aceh, semua wanita yang melakukan aktivitas di luar rumah, harus menggunakan kerudung. Termasuk para tentara wanita KOWAD ini yang harus menyesuaikan dengan Syariat Islam yang diberlakukan di sana / Sumber photo: genuardis.net)"]
[/caption]
Seperti biasa, pada awalnya kami ngobrol kesana kemari tanpa tujuan, sampai akhirnya obrolan mulai menyinggung masalah agama. Terlihat betapa sang Isteri Kolonel ini terlihat lugas dan keras dalam mempertahankan prinsip agama Islam yang dianutnya. Bahkan dia mengaku terus terang sebagai salah seorang anggota pengikut majelis taklim (pengajian) dari komunitas PERSIS (Persatuan Islam). Organisasi pengajian yang sering dianggap sebagai komunitas Islam garis keras, terutama menyangkut pelaksanaan ibadah. Tapi dia meyakini bahwa itu merupakan pemahaman ajaran Islam yang justru paling BENAR. “Persis itulah Islam yang murni, karena tidak mentolerir segala bentuk sinkretisme dan penetrasi budaya dalam kegiatan beragama..”, jelasnya. Oleh karena itu, dia sangat menentang keras orang-orang Islam yang mengadakan tahlilan misalnya, yang dikatakannya kegiatan ini sebagai akibat pengaruh budaya Jawa ke dalam ajaran Islam. Dan saya sempat jahil juga dengan mendebatnya. Mengatakan bahwa tidak mungkin dong ada kegiatan dan aktivitas manusia yang tidak dipengaruhi oleh Budaya? Bahkan saya katakan juga, bahwa jaman yang harus menyesuaikan mengikuti agama merupakan hal yang sulit diujudkan. Dan itu hanya menjadi angan-angan saja (utopis)… Tapi dengan tegas dia membatahnya dan mengatakan sebaliknya!
“Tahlilan itu bukan ajaran Islam!”, katanya. Itu pengaruh dari ajaran Hindu. Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan dan mencontohkan hal-hal seperti itu. Demikian juga halnya ziarah kubur, lanjutnya. Lalu dia bercerita pengalaman pribadinya sendiri.
“Ketika anak saya sendiri meninggal, suami saya pernah meminta saya untuk mengadakan tahlilan sebagaimana lazim diadakan di kampungnya di Jawa. Tapi saya dengan tegas menolak! Bahkan setelah acara pemakaman anak saya itu usai, kami bahkan tidak pernah ziarah lagi. Karena doa buat anak kami cukup kami lakukan pada saat selesai sholat saja…”, katanya. Tidak ada tradisi dalam Islam mengunjungi makam, karena semua hal menjadi terputus bagi orang yang meninggal, kecuali amal saleh yang bersangkutan, doa anak yang saleh dan karya/ilmu yang bermanfaat, lanjutnya.
Pernyataan-pernyataannya yang lugas ini membuat saya semakin penasaran untuk terus berdialog dengan ibu yang terlihat cantik dan cerdas ini. Namun sayangnya, dengan enteng dan tanpa tedeng aling-aling pula (meskipun di dalam mobil ini ada penumpang lain non—muslim yang ikut mendengar diskusi kami). Dia mengatakan bahwa agama tertentu itu sudah tidak murni lagi karena sudah diselewengkan sejak jaman dahulu. Wah, saya sempat terkejut dengan pernyataannya yang mulai menyinggung agama orang lain tersebut. Menurut saya tidak etis di kemukakan di depan umum. Apakah karena sang Ibu muda ini terlalu bersemangat dalam berdiskusi kali ya….! (mudah-mudahan begitulah..)
Tiba-tiba saya menjadi miris membayangkan, bahwa ada isteri seorang perwira tentara yang jabatan suaminya cukup tinggi itu, bisa terlihat fanatik memahami agamanya. Apalagi sampai menyalah-nyalahkan agama orang lain, bahkan umat Islam yang lain juga! Dia bersikap begitu fundamentalis, keras dan kaku dalam mengeskpresikan pendapatnya. Apalagi kini dia merupakan isteri seorang Kolonel (senior), yang dalam waktu dekat akan menjadi isteri jenderal (karena suaminya akan dipromosikan menjadi jenderal). Suatu hal yang tidak pernah terbayangkan oleh saya sebelumnya… bahwa ibu seorang jenderal itu nanti penampilannya berkerudung yang ketat, dan fanatik pemahamannya terhadap agama… Tentu saja, wanita muslim berkerudung baik-baik saja. Bahkan merupakan keharusan bagi yang sudah siap memulainya. Tapi pandangan agama yang fanatik, sempit dan keras…? Tampaknya menjadi hal yang lain lagi….
Dalam obrolan kami selanjutnya, dia sempat juga menyentil, bahwa suami/bapak yang tetap membiarkan isteri dan anak-anak perempuannya tidak mengenakkan kerudung, akan menanggung dosa besar dan diazab nanti . “Itu kesalahan besar para kepala keluarga!”, katanya. Seperti menyindir karena semakin banyaknya kepala keluarga muslim yang tidak mewajibkan menggunakan kerudung bagi anggota keluarganya yang wanita..
******
Akhirnya tanpa terasa, setelah kami ngobrol (dan juga berdebat) ke sana kemari selama hampir tiga jam, mobil yang kami tumpangi sampai ke rumah dinas isteri sang Kolonel tersebut. Rumah dinas itu terlihat mewah bak layaknya rumah pengusaha, meskipun berada dalam kompleks perumahan militer sederhana di kawasan Sriwijaya kota Cimahi.Rumah berhalaman luas, besar dan asri tersebut dijaga oleh beberapa prajurit muda yang berambut cepak. Mungkinkah “kemewahan” ini hasil dari berbagai bisnis yang dilakukannya? Salah satunya bisnis rental mobil yang berjalan mulus sebagaimana diceritakannya juga? Yang menjadi pertanyaan kemudian: Apakah keluarga tentara masa kini sudah diperbolehkan berbisnis, sudah tidak dilarang lagi?
Lalu dengan basa-basi dia mengajak saya untuk mampir ke rumahnya ketika dia hendak turun dari mobil.Kamipun berpisah …!
Udara dingin malam kota Cimahi itu kemudian semakin menggigit … Jalanan lenggang karena waktu sudah menjelang tengah malam. Di dalam mobil yang kemudian menuju ke rumah saya tersebut.. saya termanggu sejenak mengingat obrolan menarik tadi dengan seorang isteri Kolonel. Terutama “ajarannya” tentang pandangan Islam garis keras, yang begitu tegas dalam prinsip dan menjaga jarak dengan semua hal yang terlihat berbeda….
Lalu saya kemudian bertanya dalam hati, "kok bisa-bisanya ya isteri tentara jaman sekarang memiliki paham fundamentalis-radikal seperti ini..?" Apakah karena faktor lingkungan yang bersangkutan (bersifat kasuistik)…? Dan bagaimana dengan kegiatan-kegiatan rutin seperti Santi Aji, ceramah agama dan sebagainya yang umum diselenggarakan oleh organisasi isteri Tentara. Apakah sudah tidak efektif lagi mencegah berkembangnya paham-paham fanatisme seperti ini..?
(Penulis: Rendra Trisyanto Surya, Dosen/tinggal di Bandung, yang dulu juga bagian dari keluarga besar seorang perwira senior tentara di Aceh pada era tahun 1980-an)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H