Kota Yogya dan Solo (serta wilayah sekitarnya) memang unik. Tidak sajamerupakan pusat budaya Jawa yang masih berhasil mempertahankan tradisinyaditengah arus modernisasi kota besar sebagaimana banyak terjadi dewasa ini. Namun di kota yang indeks biaya hidupnya termurah di Indonesia itu, berada tiga situs (objek wisata) bertaraf internasional (The World Heritages) yaitu Candi Prambanan, Candi Borobudur dan Museum Manusia Purba Sangiran. Artikel ini merupakan bagian kedua dari perjalanan backpacking yang saya lakukan selama lima hari, dan merupakan lanjutan dari artikel yang berjudul sama. Hari pertama dan Kedua terdapat di artikel bagian pertama. Have a nice read!..
***
[caption id="attachment_224082" align="alignleft" width="504" caption="(Susana sehari-hari jl Prawirotaman II di kawasan komunitas backpackers bule di kota Yogyakarta. Rumah penduduk yang menyatu dengan berbagai penginapan dengan konsep Homestay di sana. Aktivitas penduduks ehari-hari yang menyatu dengan aktivitas turis-turis muda backpacker manca negara. Pasar tradisional yang buka dari pagi hingga siang hari di pintu masuk jalan. Becak turis ala Yogya yang siap mengantar turis ke mana saja. Dan berbagai biro jasa perjalanan murah kemana saja di pulau Jawa. /Photo By: Rendra Trisyanto Surya)"][/caption]
-Hari Ketiga (Jumat, 14 September 2012)
oPagi di hari ketiga, saya iseng-iseng ingin mengetahui seperti apa suasana kawasan penginapan Backpackers bule di jalan Prawirotaman I dan II ini (tempat saya menginap). Saya melihat begitu banyak anak-anak muda bule yang yang menginap disini dengan berbagai ekspresi(catt: suasana Prwairotaman akan saya tulis dalam artikel tersendiri). Sayapun berjalan kaki mengeliling dua jalan terkenal di kalangan turis asing di luar negeri itu, yang sebenarnya tidak terlalu panjang, bahkan kurang dari 500 meter saja. Terlihat pasangan bule muda sedang ngobrol di suatu lobi hotel (lebih tepatnya outdoor lobby). Ada yang sedang berjalan dengan wajah ceria sambil menyelinap diantara gang-gang kecil rumah-rumah penduduk tanpa merasa khawatir sedikitpun. Tampaknya penduduk lokal setempat sudah sedemikian menyatu saling menyapa dengan turis-turis anak muda ini. Mereka terlihat bertutur sapa ramah... (Simbiose Mutualisme?)
oAda yang baru pulang naik becak entah dari sudut mana kota Yogyakarta. Bahkan ada yang baru saja meluncur entah kemana dengan menggunakan motor sewaan tanpa terlihat canggung menyur jalan kecil ini yang kemudian keluar ke jalan raya dan menghilang ditelan keramaian kota Yogya. Suasana bebas (namun sopan) ini mengingatkan saya dengan kawasan komunitas backpackers asing lainnya di Indonesia, seperti di Jalan Jaksa (Jakarta) dan jalan Legian di Denpasar Bali. Dua kawasan menginap (homestay) yang juga menjadi favorit backpackers bule kalau berkunjung ke kota tersebut, yang ditata dengan konsep “Menyatu dengan aktkvitas penduduk Lokal" untuk mendapatkan tarif penginapan murah...” Begitu menyatunya, tidak jarang kita melihat mereka keluar masukpasar tradisional yang terletak di jalan masuk Jl. Prawirotaman II. Entah berbelanja apa, atau hanya sekedar merasakan "mengalami" kehidupan masyarakat lokal?
oSaya kaget juga, bahwa di kedua jalan kecil Prawirotaman ini memiliki prasarana tourism yang cukup lengkap. Ada beberapa ATM BNI/BCA dan perusahaan money changer. Tentu saja puluhan hotel/homestay kelas backpackers dengan tarif rata-rata dibawah Rp 200.000 per malam. Disana juga terdapat beberapa perusahaan agen perjalanan sederhana yang dikelola oleh anak-naka muda Yogya itu, yang siap membantu siapa saja yang mau berwisata (termasuk ke tempat yang jauh disekitar Jawa Tengah seperti Wisata Petualang, Wisata Ke Merapi, Bromo, Dieng dan berbagai objek wisata lainnya).
oDi lokasi yang mengarah ke jalan besar (jalan Parangtritis) bahkan terdapat beberapa “cafe ala anak-anak muda bule”, tempat mereka hang-out sejenak mengusir lelah hingga larut malam (sambil bertukar informasi wisata). Nampaknya Prawirotaman mulai berkembang sebagai sentra homestay penginapan murah menyaingi kawasan Sosrowijayan (kawasan backpackers bule lain di Yogya), yang berada di sekitar Malioboro. Kawasan lama ini dianggap sudah kurang menarik karena terlalu ramai dan hiruk pikuk.
-Hari jumat siang ini, saya berniat menggunakan sepeda motor sewaan (berdua dengan anak saya), ke Candi Borobudur dengan santai (tidak terburu-buru waktu), dan bebas berhenti dimana saja. Meskipun kami berdua tidak paham benar arah jalan di kota ini, apalagi keluar kota Yogya. Informasi yang saya peroleh, persewaan motor di Yogya cukup murah, yaitu sekitar Rp 50.000 perhari (hampir sama dengan di Bali). Sebenarnya di samping hotel saya menginap terdapat juga jasa persewaan motor (bahkan ada persewaan sepeda dan mobil juga). Lho kok masih ada sepeda ya..?. Namun sayang, mbak manis yang merupakan staf admistrasi disana itu tidak begitu ramah melayani, dan seperti paranoid terhadap penyewa motor (wah, gadis Yogya bisa juga jutek nih....? hehe..).
[caption id="attachment_224085" align="alignleft" width="431" caption="(Berbagai penyewaan motor semakin marak di Yogyakarta, terutama di kawasan backpackers (Budgeting Traveller) seperti di kawasan Prawirotaman ini. /Photo By: Bobbie Tisna Anandika) "]
[/caption] -BHal tersebut bisa dimaklumi. Karena baru-baru ini beberapa motor perusahaan mereka hilang di bawa penyewa yang mengaku sebagai turis lokal (katanya pendatang luar). Motor mereka di bawa kabur penyewa yang tidak bertanggung jawab yang sampai digadaikan segala.Akhirnya dia mengatakan, kalau mau menyewa motor ditempat ini, diharuskan menyimpan uang deposit (jaminan) sebesar Rp 2.500.000 untuk setiap motor. Wah, gile nih..! Kok kejam banget ya sama backpackers? Lokal lagi ......? Hehe2..
Akhirnya kami membatalkan niat menyewa motor di tempat ini. Dan mencari alternatif di tempat lain. Lalu saya melanjutkan berjalan kaki mengelilingikawasan Prawirotaman ini....
-Tiba-tiba mata saya dikagetkan oleh sebuah toko barang antik (milik turunan Belanda). Toko ini bernama “Moesson Antik Fine Art”. Karena barang antik selalu menarik perhatian saya, maka saya iseng-iseng masuk ke dalam toko tersebut untuk melihat-lihat (cuci mata), kalau-kalau ada barang antik yang murah meriah dan terjangkau kantong.Lalu iseng-iseng saya bertanya ke penjaga disana, dimana tempat persewaan motor di daerah Prawirotaman ini. Pucuk dicinta ulampun tiba! Ternyata si penjaga toko menjawab ramah menanggapi dengan antusias. Ternyata dia juga punya bisnis sampingan yaitu penyewaan motor. Singkatnya, dia memberikan motornya untuk di sewa dan tanpa uang jaminan sama sekali! Persyaratannya sederhana sekali, hanya meninggalkan KTP dan SIM saja sebagai jaminan. Rupanya dia percaya ketika saya katakan bahwa gaji saya lebih besar dari harga motor anda. Jadi kalau saya bawa kabur dan sayadipecat dari tempat pekerjaan saya karena melakukan tindakan kriminal tersebut, kerugian saya jauh lebih besar.... Lalu saya berikan kartu nama saya! Rayuan saya ternyata berhasil! hehe2... Hm, seorang backpackers harus banyak akal juga nih ...!.
- Kemudian dengan motor sewaan ini, kami meluncur dengan perasaan bebas (seperti sedang berjalan-jalan di kota sendiri saja), menuju objek wisata Candi Borobudur. Arah motor saya arahkan ke jalan raya Yogya-Magelang sebagaimana halnya arah menuju ke Borobudur (dengan hanya berbekal peta dan tanya sana tanya sini!). Di buku wisata, jarang sekali ada penjelasan secara detail bagaimana rute menggunakan motor sendiri menuju ke objek-objek wisata di Yogya, termasuk ke Borobudur ini. Tapi ternyata tidak terlalu sulit juga! Karena disepanjang jalan besar selalu terlihat dengan jelas petunjuk arah.
-Setelah selama hampir 1,5 jam bermotor ria, akhirnya kami memasuki kawasan Borobudur di Magelang, yang terlihat jelas dalam papan besar di jalan menuju ke candi Borobudur tersebut. Aura kebesaran objek wisata terkenal ini mulai terasa! Hal ini membuat kami merasa lega, berarti tidak menyasar kemana-mana untuk meneruskan arah jalan yang masih 30 menit lagi dari papan petunjuk tersebut. Bahkan sempat-sempatnya saya berhenti beberapa kali di beberapa tempat lapak koran untuk membeli koran lokal dan mengobrol sejenak dengan masyarakat setempat sambil menyicipi jajanan tradisional setempat yang dijual dipinggir jalan. Makanan rakyat seperti jenang, es dawet dan sebagainya itu mengingatkan masa kecil saya...
[caption id="attachment_224087" align="alignright" width="239" caption="(Enaknya kalau naik motor begini, bisa berhenti dimana saja seperti di jalan Yogya-Magelang ini, sambil mencicipi makanan khas Yogyakarta seperti Jenang dan lain-lain yang ditemui dalam perjalanan.. /Photo by: Rendra Trisyanto Surya)"]
[/caption]
-Mengenai koran lokal/daerah?
Ini kebiasaan saya yang tidak dapat dilepaskan jika pergi ke suatu tempat/daerah untuk selalu membeli, membaca dan mengkoleksi koran-koran lokal tersebut. Saya selalu yakin salah satu sarana memahami situasi di tempat baru adalah dengan membaca berita dari koran lokal setempat. Koran daerah bagi saya merupakan media untuk mengatai dan mamahami “denyut nafas masyarakat setempat” yang secara fisik sulit dilihat. Tentu, berhenti-henti seperti ini menjadi sulit dilakukan jika perjalanandilakukan menggunakan mobil travelling, bus umum atau taksi, bukan? Apalagi dengan menggunakan kapal laut atau pesawat terbang..! hehe2...
-Ketika perjalanan motor kami sudah hampir sampai Borobudur, tiba-tiba saya melihat sebuah candi sederhana namun megah dipinggir jalan raya yang terawat rapi. Ternyata itu adalah candi Mendut yang juga terkenal. Kami berhenti sejenak sambil beristirahat dan memandangi arsitektur indah candi ini sambil membuat beberapa photo.
[caption id="attachment_224091" align="alignright" width="434" caption="(Sang "backpacker gaek" tamnpak kelelahan dan turundari motor, sambil berpos sejenak dengan latar belakang Candi MENDUT yang juga terkenal itu. / Photo by: Bobbie Tisna Anandika)"]
[/caption]
- Kami terlalu keasyikan berhenti lama di Candi Mendut ini, yang akhirnya menyita waktu cukup banyak. Ketika kami sampai di kawasan Candi Borobudur waktu sudah sore, yaitu sekitar jam 15:00. Timbul masalah, dimana tempat parkir motor sewaan ini diletakkan agar aman? Karena parkir resmi dalam kawasan candi Borobudur itu hanya diperuntukkan untuk mobil/bus. Sementara saya sudah menandatangani fomulir perjanjian saat penyewaan motor ini, bahwa motor harus kembali dalam keadaan utuh. Artinya kalau hilang, saya harus menggantinya! Wah, gawat juga nih...! Bisa jadi, ingin menghemat dalam perjalanan dengan menyewa motor, malah jadi buntung. Tapi untunglah, tingkat kriminal dan kasus kehilangan motor di Yogya sangat rendah (hanya satu dua kejadian saja dalam sebulan, itupun umumnya dilakukan oleh oknum orang luar Yogya, demikian kata penduduk setempat). Akhirnya, saya parkirkan saja motor di depan sebuah toko kelontong yang berada persis di depan gerbang masuk Candi Borobudur. Dengan pertimbangan, pasti toko ini diketahui pengelola Borobudur, jadi tidak mungkin tempat nangkiringnya para preman. Dan kelihatannya pemilik toko besar ini juga ramah dan meyakinkan. Bahkan dia sempat mengatakan bahwa motor yang dititipkan disini akan aman dan tokonya akan buka hingga jam 21:00 malam. Setelah saya minta tiket parkir, lalu kami tinggalkan motor baru itu dengan perasaan agak tenang. Selanjutnya, kami berjalan menuju ke loket penjualan karcis masuk candi Borobudur yang ternyata cukup luas untuk berjalan kaki.
- Tiket masuk ke candi Borobuduradalah Rp 30.000. Dan untuk turis asing tiketnya lebih mahal karena di-ekuivalenkan dengan dollar. Dan setelah saya istirahat sejenak didalam kawasan ini, kemudian kami masuk dan melihat-lihat ke toko souvenir yang tepat berada tidak jauh dari pintu masuk. Lihat sana-lihat sini di toko kecil ini, akhirnya saya jatuh hati dengan sebuah DVD mengenai film dokumenter Borobudur, yang kelihatan menarik dan edukatif untuk di koleksi. Harganya hanya Rp 50.000. Selanjutnya, kami puaskan juga rasa ingin tahu kami tentang candi Borobudur dengan menonton filmborobudur di bioskop kecil yang tersedia disamping toko souvenir tersebut terlebih dahulu sebelum benar-benar melihat Candi megah tersebut. Biaya masuk bioskop kecil ini murah hanya Rp 5.000. Film dokumentar karya Garin Nugroho yang diputar di bioskop mini ini selama sekitar 30 menit. Film dokumentar ini menceritakan segala hal penting mengenai Borobudur dari mulai sejarah ditemukannya di jaman Belanda tempo dulu hingga ke berbagai perawatahn yang pernah dilakukan. Termasuk makna relief-relief kegiatan masyarakat Indonesia ribuan tahun lalu, yang katanya kalau dibukukan bisa ribuan halaman itu. Hal-hal yang edukatif seperti ini selalu saya prioritaskan setiap kali melakukan perjalanan wisata kemanapun. Bukankah berwisata itu tidak sekedar bersenang-senang (membuang kepenatan rutinitas kerja) dan menikmati keindahan alam saja. Namun lebih dari itu, juga sebagai sarana mempelajari (mendapatkan values) dari segala sesuatu yang baru/unik dari berbagai tempat yang kita kunjungi..?
[caption id="attachment_224092" align="alignleft" width="484" caption="(Gerbang arah ke lokasi Candi Bodorobudur di jalan raya Yogya-Magelang. Ssekitar 15 Km sebelum mencapai objek wisata tersebut. /Photo by: Rendra Trisyanto Surya)"]
[/caption]
-Jam 16:20 kami keluar dari bioskop mini tersebut. Kemudian berjalan kaki ke candi Borobudur yang letaknya sekitar 300 meter (kurang lebih membutuhkan waktu 15 menit). Akhirnya, sampailah ke candi yang sangat terkenal di dunia ini, yang selama ini hanya bisa saya lihat gambarnya saja melalui postcard dan mendengar cerita-ceritanya saja dari berbagai tulisan dan buku. Saya termenung sejenak, merasakan kebesaran dan kemegahan candi Buddha terbesar didunia ini, yang dibangun menggunakan kepintaran konstruksi dan arsitektur kuno dari nenek moyang kita itu.. Saya terpukau dengan struktur dan seni stupa-stupanya, dengan ribuan relief-reliefnya yang bercerita banyak tentang kegiatan kehidupan masyarakat Indonesia kuno... Beberapa turis bule tampak dengan tekun meneliti satu persatu relief yang ada sambil mendiskusikan maknanya... Ketika ribuan tahun yang lalu itu belum ada kertas, huruf/tulis menulis, photo. Maka keberadaan relief ini memberikan values yang luar biasa yang mengarsipkan tentang masa lalu suatu bangsa/masyarakat... Borobudur bukan hanya sekedar susunan batu dan stupa.. tapi pengetahuan tentang masyarakat kuno. Itulah sebabnya Candi Borobudur masuk ke dalam warisan yang dilindungi dunia melalui program The World Heritages sites (catt: mengenai Borobudur secara detail akan diceritakan dalam artikel lain!)
- Dari sisi seni photography, ternyata begitu banyak sudut pengambilan yang menarik buat dijadikan objek. Sayangnya, kami disana hanya diberi waktu kurang dari 30 menit saja. Terlihat satpam penjaga candi sudah bersiap-siap dimana-mana membatasi akses pengunjung ke tempat yang jauh dan yang lebih tinggi. Jam sudah mendekati pukul 17:15. Dan semua pengunjung harus sudah turun dari candi ini sebelum akhirnyaditutup (closed). Tampak beberapa turis asing masih asyik meneliti relief dan menunjukkan ketidak puasannya juga ketika terlalu cepat diminta turun oleh Satpam di sana. Wah, buyar nih rencana mengambil banyak photo Candi Borobudur, termasuk saat sunset yang katanya indah sekali itu.
-Karena penasaran tidak dapat membuat photo Borobudur saat sunset, maka saya limpahkan ke penjual postcard yang berada di pintu keluar dengan memborong beberapa postcard candi Borobudur (Catt: Inilah salah satu fungsi postcards, bukan? Memberikan kita photo suatu objek wisata yang tidak mungkin bisa kita buat karena hal-hal tertentu! Terima kasih “Postcard seller..!”). Beberapa photo sunset Borobudur tersebut yang dijual memang bagus, karena dibuat oleh photographer professional yang mungkin mendapat privelese kebebasan memilih lokasi dan waktu saat membuatnya. Tapi, banyak juga postcard sunset candi Borobudur yang dijual tersebut yang merupakan hasil rekayasa komputer (tidak natural). Hehe2... ada-ada saja trik penjual poscard di candi Borobudur ini....!(Untung yang beli seorang photographer nih, sehingga ketahuan tuh mana photo yang asli, mana yang palsu.. hehe2..)
Hm, apakah keindahan sunset Borobudur cukup terpuaskan hanya melihatnya dari sebuah postcard? Sebenarnya kalau mau serius menikmati sunset yang turun di candi Borobudur ini, ada juga paket khusus yang bisa kita beli. Yaitu dengan masuk atau menginap di hotel Manohara yang berlokasi di samping candi. Akan tetapi paket ini tidak menarik buat saya, karena harga tiketnya lumayan mahal buat kantong Backpacker, yaitu Rp 250.000. (Mahal banget ya..hanya untuk membuat photo sunset di Borobudur??)
- Jam 17:15 kami semua turun dari candi. Di pintu keluar, semua pengunjung tiba-tiba saja dikerubuti oleh para pedagang souvenir yang setengah memaksa menjual barang-barangnya sambil memelas. Mereka mengobral habis-habisan barang dagangannya seiring dengan datangnya malam dan semakin sepinya pengunjung Borobudur. Pada jam tersebut, semua kios disekitar candi sudah tutup. Oleh karena itu, Kaos bertuliskan “I Love Candi Borobudur” yang disiang hari bertahan diharga Rp 40.000 per buah, kali ini diobralhabis-habisan menjadi hanya Rp 15.000. Gile juga nih pedagang..! Berapa tuh ongkos produksinya ya...? Padahal kaos itu tidak jelek-jelek amat sih..., dalam hati saya.
[caption id="attachment_224107" align="aligncenter" width="687" caption="(Inilah salah satu keindahan senja yang jatuh di Candi BOROBUDUR itu /Photo by: Periplus Postcard)"] [/caption]
-Setelah beristirahat sejenak di pintu luar, akhirnya kami keluar kawasan candi Borobudur sekitar jam 18:30 malam, dan kembali ke tempat parkir motor semula tadi. Tapi, Ah? Alangkah kagetnya saya! Motor yang terparkir tadi siang bersama puluhan motor lain itu, kini hanya tinggal menyisakan satu-satunya motor, yaitu motor sewaan saya tadi...?? Dan penjaganya sudah pulang pula .... Waduh, kalau motor sewaan ini hilang gimana ya...!? Untung toko makanan dan oleh-oleh itu masih buka dan tetap ramai!
-Kami beristahat sejenak di toko makanan tersebut, jam 19:00 kamipun meluncur pulang melewati jalan yang panjang (sekitar 2 jam dari kota Yogyakarta) melalui jalan raya Magelang di Propinsi Jawa Tengah untuk kembali ke Yogya di Propinsi DIY. Wah, malam-malam begini bapak-anak kelayapan... dengan motor sewaan lagi? Bahkan melewati dua propinsi dan beberapa kabupaten di daerah yang sama sekali asing.. TAkan tetapi, inilah enariknya menjadi seorang backpacker yang bisa mengalami “Get it lost”, kata pembawa cara The National Geographic Traveller (cara televisi cable favorit saya itu... hehe2...). Tapi tenang saja, “Bukankah tersesat itu bagian dari kegiatan traveling juga..? ..”. Untung sebagaimana yang dikatakan oleh buku-buku wisata yang pernah saya baca sebelumnya. Bahwa Yogya merupakan salah satu kota yang teraman di Indonesia. Memang betul... dalam perjalanan saya ini hampir tidak pernah terlihat adanya anak-anak preman di jalan... para pemalak, orang-orang berwajah sangar bertatto, bahkan orang berbicara kasarpun jarang terdengar... Meskipun tentu tidak semuanya, tapi umumnya masyarakat Yogya itu ramah dan santun serta welcome banget dengan turis... Memang mereka jarang terlihat tersenyum (seperti masyarakat Bandung, misalnya), karena kotanya memang bercuaca panas ... Iklim ini ikut mempengaruhi watak penghuninya juga....!
-Keramahan masyarakat tujuan wisata ini mengingatkan saya dengan kota lain di Indonesia yang pernah saya kunjungi. Disana sudah melekat apa yang dinamakan dengan “budaya Hospitality...Budaya Pariwisata (Tourism Culture)”. Beberapa kota yang saya catat telah memiliki hal ini diantaranya adalah Masyarakat Pulau Bali, Yogyakarta, Solo dan Kota Ternate (Maluku Utara).. .. Kota-kota lain tampkanya masih perlu belajar banyak mengenai keramahan terhadap orang luar seperti ini... hehe2.......
-- Setelah sampai di kota Yogya sekitar jam 22:00 malam, kami mencari makanan khas Yogya terlebih dahulu, kemudian langsung ke hotel tidur pulas kelelahan...
Hari Ke Empat (Sabtu 15 September 2012)
-Hari keempat merupakan hari Sabtu (weekend), sebuah hari yang sering membuat saya kesal jika berpergian. Dengan motor sewaan kami berkeliling kota Yogya mengunjungi objek-objek wisata dalam kota yang belum sempat di kunjungi pada hari-hari sebelumnya. Saya kontak kembali Transmojo (penyewa motor yang lain), kemudian sepakat menyewakan motornya Rp 50.000 sehari. Mereka juga percaya dengan memberikan motornya hanya dengan jaminan identitas asli, yaitu KTP , SIM atau passport.
--Tujuan pertama hari ini adalah ke Taman Air (Taman Sari) yaitu tempat pemandian para selir Sultan yang berlokasi disekitar Kraton (yang ternyata arsitektur bangunannya cukup menarik). Karena hari Sabtu, maka banyak pengunjung domestik dari Jawa Tengah dan daerah-daerah sekitarnya yang juga mendatangi objek wisata ini. Hampir selama dua jam kami menghabiskan waktu disini, membuat banyak photo, yang kemudian menyusuri mesjid di bawah tanah melalui terowongan khusus dibawah kawasan perumahan masyarakat abdi dalem Kraton itu.
--Di siang hari, kami mengunjungi sentra nasi gudeg yang masih berada di kawasan Kraton. Makan sambil beristirahat lesehan. Harganya tidak terlau mahal, yaitu sekitar Rp 38.000 untuk porsi dua orang dengan nasi plus tambah dan es teh manis. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan warung lesehan yangsejenis di Malioboro yang terkenal mahal itu. Dengan motor sewaan ini, ternyata jarak terasa begitu dekat (dibandingkan menggunakan becak turis sebelumnya). Kemudian kami keliling-keliling menyusuri jalan-jalan Yogya dan di sekitar Kraton. Menjelang sore kami kembali ke hotel untuk bersiap-siap checkout dan melanjutkan perjalanan backpacking menuju ke kota Solo.
--Di Hotel ada peraturan bahwa check out harus jam 12:00 (sebagaimana umumnya). Namun jika sampai jam 14:00 tamu tidak melakukan checkout (belum membayar bill), maka tamu akan dikenakan biaya tambahan 25% dari harga tarif menginap. Dan jika sampai sore hari belum check out, maka dikenakan biaya seperti menginap yaitu 100%. Itulah sebabnya untuk menghemat biaya (maklum “budgeting traveller” nih!) maka pada hari sabtu pagi hari itu (sebelum saya jalan-jalan dengan motor sewaan tadi) , saya checkout terlebih dulu dan melakukan pembayaran. Lalu dua buah ransel, kami titipkan di resepsionis (yang rupanya hampir semua penginapan backpacker menerima titipan seperti ini dan punya tempat penyimpanan khusus seperti ini tanpa harus membayar).
--Sabtu sore jam 16:00 saya menunggu di hotel bersiap-siap menuju ke kota Solo dengan menggunakan kereta api lokal (KRL) yang dikenal disana dengan nama Prameks. Lalu saya hubungi perusahaan Transmojo untuk Taxi Motor-nya mengantarkan kami ke stasiun TUGU. Distasiun kami membeli tiket kereta api KRL jurusan Yogya-SOLO dengan harga Rp 9.000 per-orang. Mungkin karena akhir minggu (hari Sabtu), saat membeli tiket ini harus meng-antri begitu panjang hampir setengah jam. Wah, di kota Yogya ada antrian panjang juga ya...!
--Untung KA Prameks yang kami tumpangi mundur jam keberangkatannya. Dan yang membuat kami surprise, didalam kereta api ini ternyata sudah berjubel begitu banyak penumpang yang mau pulang ke Solo. Kamipun akhirnya tidak kebagian kursi alias berdiri! Akhirnya kami harus berdiri selama satu jam perjalanan dari Yogya ke Solo. Wah, jadi ingat KRL Tanah Abang - Depok/Bogor nih...! Rupanya cukup banyak orang-orang SOLO yang bekerja/kuliah di Yogya, lalu kemudian pulang setiap akhir minggu seperti yang sering kita jumpai pada masyarakat komuter Jakarta-Bandung... Masyarakat komuter ternyata ada dimana-mana di Indonesia masa kini ya... (Akibat ketidakseimbangan pembangunan...?)
[caption id="attachment_224097" align="alignleft" width="447" caption="(Beginilah suadana did alam KA PARAMEKS. Banyak penumpang/termasuk saya, berdiri selama perjalanan satu jam dari Yogya-Solo di hari sabtu sore itu. Untung udara AC nya cukup baik sehinbgga mengurangi gerah dan lelah. /Photo By: Bobbie Tisna Anandika)"]
[/caption]
- Sambil berdiri, saya sempatkan juga ngobrol sana-sini sambil menambah informasi, apalgi saya belum pernah ke Solo sebelumnya. Lalu seorang ibu memberitahukanbahwa kalau mau ke Jl Yos Sudarso (kawasan Nonongan, kawasan backpackers bule di kota Solo tempat menginap kami selanjutnya). Akan lebih dekat jika turun di stasiun Purwosari saja meski diluar kota (bukan statisum Balapan). Akhirnya kami turun di stasiun ini. Seperti biasa, tukang becak segera mengerubuti menghampiri orang yang terlihat bingung. Setelah tawar-menawar, akhirnya disepakati Rp 15.000 ongkos ke kawasan Nonongan dari stasiun ini dengan menggunakan becak. (catatan: Kenapa saya suka naik becak.? Karena jalannya lambat, jadi saya bisa menikmati suasana kota yang dilalui sambil membuat beberapa photo bertema keguiatan di jalan.. yang dikenal dengan istilah “Street Photography”).
-Jam 18:00 kami sampai di jalan Cakra II di kawasan Nonongan, dan langsung menuju homestay “CAKRA” yang sudah saya pesan sebelumnya melalui telpon saat saya di Bandung yang nomor telponnya saya peroleh dari suat buku wisata. Ternyata hotel ini cukup menarik (berbeda dengan bangunan homestay lain). Bangunan ini dulunya rumah seorang ningrat Solo sehingga banyak bahan dan bangunannya dibuat dengan bahan-bahan kayu antik. Rumah kakak Danar Hadi (desainer terkena) sudah berusia lebih dari seratus tahun. Konsep homestay ini agak beda, mereka menajdikan penginapannya sebagai rumah tinggal yang berkesan kuno dan magis. Tamunya memang tidak banyak. Disini para tamu dianggap keluarga yang sedang mampir di rumah kaum ningrat Solo era tahun 1900 itu (begitu konsep hospitality dari penginapan ini, sebagaimana dituturkan oleh ahli waris pemiliknya). Sayapun merasa betah dan juga membuat banyak photo mengenai hotel antik ini (catt: mengenai hotel tua antik ini akan saya ceritakan di artikel tersendiri).
-Setelah beristirahat beberapa jam, maka malam harinya saya jalan-jalan di jalan Yos Sudarso yang berada disekitar hotel, dan mampir ke warung lesehan Nasi Liwetsederhana berlokasi di pinggir jalan Sudarso itu. Masakan nasi liwetnya khas banget dan menurut selera saya enak luar biasa.. hehe2... Mungkin ini yang disebut dengan nasi liwet solo asli..?
-Banyak juga pembeli bermobil parkir disini dan banyak masyarakat kelas menengah Solo yang doyan menikmati nasi liwet mbak yang satu ini. Dengan harga murah hanya Rp 11.500 sepiring, saya merasakan nuansa wisata kuliner malam kota Solo yang khas! Kelihatannya kota Solo diwaktu malam juga aman-aman saja. Bahkan ketika saya melanjutkan berjalan kaki seorang diri disekitar jalan protokol Slamet Riyadi hingga larut malam. Banyak tukang becak, penjual warung tenda dan tukang parkir disana yang justru menjadi teman ngobrol saya sambil nangkring sejenak .. Saya bercanda dengan mereka ... mengusir sepi malam di kota Solo... Bahkan gelandangan yang tidur di trotoar juga tersenyum ramah ketika disapa tanpa memperlihatkan nada curiga sama sekali..... (Apa ini yang mamanya kultur Asli Jawa yang sudah semakin langka di kota-kota besar itu? Atau karena pengaruh sang Walikotanya , Joko Widodo yang sangat merakyat tersebut..?)
Hari Ke Lima (Minggu, 16 September 2012)
-- Dihari kelima, kami manfaatkan waktu sepenuhnya untuk menelusuri objek wisata utama di kota Solo dan sekitarnya. Tadinya saya berniat menyewa motor juga, namun setelah saya mencoba mengkontak no Hp penyewa motor yang saya dapat dari Internet (melalui google). Ternyata persewaan motor di sini jauh lebih mahal, yaitu Rp 125.000 per hari dan prosedurnya juga begitu rumit (mereka meminta jaminan deposit jutaan rupiah). Akhirnya saya putuskan bahwa pagi ini kami jalan kaki saja ke Pasar Khlewer dari hotel. Bukankah backpacker seharusnya banyak jalan kai..? hehe2... Baru kemudian kami naik becak dari pasar Khlewer ke Istana Mangkunegaraan. Setelah hampir satu jam di istana Pangeran Adipati ini, kami lanjutkan ke terminal bus Tirtonadi untuk menuju ke Sangiran yang berada di luar kota Solo itu....
[caption id="attachment_224098" align="alignleft" width="565" caption="(Gerbang perhentian bus/angkutan umum dari arah Solo ke Sangiran di Kabupaten Sragen, Jawa Tenga. Dari sini kami kemudian melanjutkan perjalanan ke dalam menggunakan ojek yang banyak mangkal di sini. /Photo by: Rendra Trisyanto Surya)"]
[/caption]
-Dari terminal, saya naik kenderaan umum elp yang sedang ngetem untuk mengunjungi museum manusia Purba Sangiran yang berada di Kabupaten Sragen. Mobil elf ini segera berangkat ke Sragen dengan ongkos hanya Rp 5.000 per-orang. Setelah satu jam perjalanan, kami turun di pintu gerbang Sangiran di pinggir jalan raya Sragen-Solo. Tidak ada angkutan umum masuk ke arah dalam dimana lokasi museum tersebut berada. Untuk ke dalam (ke museum), kami harus naik ojek lagi yang harganya bervariasi tergantung hasil negiosiasi dengan tukang ojek yang ada disimpang jalan tersebut. Akhirnya disepakati Rp 15.000 per orang. Sebenarnya, kalau tidak mau repot begini, di terminal Tirtonadi sudah tersedia banyak taksi yang siap mengantar langsung ke museum Sangiran dengan ongkos borongan (tanpa argo) sekitar Rp 67.000 untuk empat orang (sesuai muatan taksi). Tinggal pilih saja, mau menggunakan moda transportasi yang mana? Karena kami sedang ber-backpacking, maka kami pilih yang paling murah namun efektif....
-Di dalam Museum Sangiran yang merupakan salah satu situs Warisan Dunia versi The World Heritage Unesco Site itu, saya asyik mengamati fosil-foisl asli manusia purba, diaroma, tulisan informatif disana selama dua jam (catt: mengenai Sangiran akan ditulis tersendiri!). Kecamatan Sangiran ini sebenarnya tandus dan sangat pana di siang hari. Untung penyejuk udara di dalam museum ini lumayan dingin.
- Sore jam 17:00 kami keluar museum sesuai dengan jam berakhirnya kunjungan. Kami kemudian mampir ke beberapa toko souvenir yang terdapat disamping museum melihat hal-hal yang unik dan membeli oleh-oleh khas Sangiran (kebanyakan berbentuk fosil). Seperti fosil udang berumur rartusan tahun yang sudah membantu. Pertanyaan saya, apakah ini asli..? Meskipun diakui sebagai fosil berusia ratusan tahun oleh penjualnya tersebut! (Catt: mengenai hal ini akan ditulis dalam artikel tersendiri). Pulangnya kami kembali naik ojek yang banyak menunggu di pintu keluar museum, menuju ke jalan raya Sragen-Solo semula. Hari sudah demikian sore, bus dari Sragen yang menuju ke arah Solo tampak sudah tidak begitu banyak lagi. Akhirnya kami harus menunggu dipinggir jalan ini lebih dari 30 menit. Hm..beginilah kalau ber-backpacking..harus sabar menunggu...!
-- Bus yang lewat dari arah Sragen menjelang malam itu, terlihat penuh sesak. Kami akhirnya menaiki bus tersebut tanpa dapat kursi alias sambil berdiri. Akan tetapi, keramahan masyarakat Solo tampaknya maish terlihat. Beberapa penumpang masyarakat lokal memberi kami tempat duduknya. Tiba kembalidi kota Solo, langsung kami ke hotel dan istirahat kelelahan. Namun jam 22:00 malam, saya sempatkan juga keluar jalan kaki seorang diri ke jalan protokol kota Solo yang hanya beberapa ratus meter dari kawasan hotel mencari makan malam khas Solo sambil lesehan.
-- -Disana saya merenung .. ! Inilah kota Solo di waktu malam.. Kota kecil bersahaja namun kesohor......yang ramah ..... Desas-desus teroris dari Solo yang saya baca di koran, ternyata tidak mengubah sedikitpun dinamika masyarakat kota ini.. Pedagang-pedagang kecil yang saya ajak ngobrol tentang teroris enggan berkomentar. Mereka hanya mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan mengatakan... “Terorist itu membuat kota Solo menjadi berkonotasi negatif!”, katanya seperti memberi jarak dengan mereka....
Hari Keenam (Senin, 17 September 2012)
--Hari Keenam, merupakan akhir dari petualangan panjang saya ber-backpacking di Yogya/Solo ini. Dari hotel dengan menumpang becak, kami menuju ke stasiun SoloBalapan. Tiket pulang sudah saya pesan sebulan sebelumnya di Bandung, berdasarkan itinerary (travel planning) yang saya susun sehingga tidak perlu antri membeli tiket sebagaimana umumnya terjadi diakhir pekan.
-Berakhirlah sudah perjalanan selama enam hari dan lima malam ini menyusuri “denyut nadi” kota Yogyadan Solo serta mengunjungi tiga objek wisata dunia itu (The World Heritage Sites: Prambanan, Borobudur dan Museum Sangiran), dengan membawa 1500 photo, beberapa koran lokal, puluhan postcards, gantungan kunci, kaos khas Yogya/Solo dan beberapa fosil Binatang dari Sangiran sebagai oleh-oleh yang pasti akan menambah hiasan kamar saya (sebagaimana lazimnya).Dan tentu saja, koleksi yang kemudian akan menjadi memorabilia tersebut...
-Tentu saja, oleh-oleh yang paling mengesankan adalah, ketika dapat merasakan secara langsung suasana objek yang dikunjungi, keramah-tamahan masyarakat Yogya/Solo dan pengetahuan yang bertambah mengenai kawasan ini.. Ada semacam kepuasaan batin yang begitu mencerahkan dalam jiwa yang melintas horizon ruang dan waktu setelah melakukan perjalanan panjang ini. Lalu... ada rasa kedekatan emosional dengan kota Yogyakarta dan Solo (kota yang sebelumnya hanya saya kenal lewat media saja....).
(Ditulis Oleh: Rendra Trisyanto Surya/ Dosen, yang penggemar travelling ala Backpacker. Saat ini tinggal di Bandung)
(SELESAI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H