Lihat ke Halaman Asli

Guru Rendra

Guru Sosiologi SMA Xin Zhong Surabaya

Sekolah yang Membangun Konsep Diri Anak

Diperbarui: 8 Juli 2022   21:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika kita mulai memilih sekolah untuk anak, seringkali yang terpikir adalah sekolah ini harus punya reputasi akademis yang bagus, karena sekolah demikian akan "menjamin" masa depan anak. Tidak salah. Tapi pernah terpikirkah bahwa masa depan itu sangat terkait dengan konsep diri anak kita? Bahwa konsep diri yang salah akan menjadi template bagi figur orang dewasa yang bermasalah, meskipun secara finansial baik? Atau, dalam banyak kasus, konsep diri ini menjadi penghalang potensi besar anak kita untuk sukses, bahkan dalam aspek finansial sekalipun. Bahwa banyak ditemukan di sekolah, anak-anak yang trouble maker sehingga tidak maksimal di sekolah? Anak-anak yang rendah kepercayaan dirinya di sekolah?

Sekolah yang baik dalam banyak hal adalah sekolah yang membantu orang tua membangun konsep diri anak. Pertanyaannya, apakah sekolah anak Anda sudah membangun konsep diri anak Anda dengan baik? Lalu seperti apakah sekolah yang bisa dikatakan membangun konsep diri anak didiknya dengan baik? Yang jelas, sekolah harus menyadari bahwa konsep diri tidak terjadi begitu saja. Konsep diri diperoleh melalui proses belajar dan diperkuat melalui pengalaman hidup yang dialami anak didik setiap hari.

Sekolah yang memahami konsep diri dan pengembangannya sudah harus menyadari bahwa anak didiknya datang dengan berbagai konsep diri yang sudah terbentuk di rumah dan lingkungan luar sekolah. Di jenjang manapun, termasuk di Taman Kanak-kanak, anak sudah datang dengan berbagai konsep diri, baik yang positif maupun yang negatif. Itulah sebabnya kita mengenal ada anak-anak "bermasalah", "berperilaku sulit", "nakal" dan lain sebagainya. Ironisnya, justru sekolahlah yang memunculkan label-label tersebut dan bukan berusaha memahami kondisi-kondisi yang ada. Memang sudah menjadi resiko bagi sekolah untuk menerima anak-anak dengan berbagai konsep diri tersebut, sehingga sudah menjadi kewajiban sekolah untuk mengelola mereka semanusiawi mungkin agar konsep diri anak tidak semakin parah, dan punya kemungkinan berubah menjadi lebih baik.

Sekolah yang memahami konsep diri akan berusaha membantu orang tua dalam memodifikasi konsep diri yang salah dalam diri anak-anak didiknya. Pasti tidak 100% berhasil, tapi setidaknya sekolah memberi variasi pengalaman hidup yang dialami anak setiap harinya. Ini setidaknya akan mengubah atau membentuk konsep diri anak-anak didiknya. Karena konsep diri masih bisa berubah dalam perjalanan hidup seseorang.

Sekolah yang memahami konsep diri akan memonitor guru-guru sebagai ujung tombak di dalam kelas untuk sangat berhati-hati dalam berinteraksi dengan anak-anak didiknya. Pengalaman hidup yang dialami anak-anak di dalam kelas bersama sang guru akan sangat bermakna bagi mereka. Akan sangat fatal apabila guru-guru berpikir bahwa tugas mereka hanya "mengajar" dan bukan lebih kepada "membangun konsep diri". Contohnya bila ada anak yang sering tidak mengerjakan PR. Apa yang sering terjadi? Anak itu akan dimarahi habis-habisan. Masih untung kalau si guru bisa menahan diri dan tidak lepas kendali dalam pemilihan kata-katanya. "Tidak mengerjakan PR lagi? Dasar anak pemalas!" Wow! Kalau kata-kata itu diucapkan berkali-kali dalam sebulan saja, saya yakin problem kemalasan mengerjakan PR akan semakin parah. Saya sering merasa heran, banyak guru yang mengeluh bahwa anak yang sudah mendapatkan "penanganan kedisiplinan" darinya bukan semakin membaik tapi justru semakin memburuk. Bukan "menurut", tapi malah semakin "melawan". Dalam benak saya, "Ya, tentu saja anaknya malah melawan, karena penanganan kedisiplinan ala si guru ini justru memperkuat konsep diri anak yang sudah buruk".

Konsep diri bisa diumpamakan sebuah meja dengan empat kaki. Dengan empat kaki yang kokoh tentu meja itu akan berdiri tegak. Tapi apa yang terjadi bila salah satu atau salah dua kakinya putus? Meja itu akan goyang dan rapuh. Nah, apalagi kalau kaki ketiganya ikut-ikutan putus, meja tersebut pasti ambruk. Meja tadi adalah analogi konsep diri, sedangkan keempat kakinya adalah pengalaman hidup yang memperkuat konsep diri tersebut. Bila sejak dini anak kita sudah mendapat pengalaman hidup yang buruk, maka terbentuklah kaki yang mulai menopang si meja atau konsep diri tersebut. Semakin banyak kaki yang terbentuk, semakin kokoh si meja. Semakin banyak anak mendapat pengalaman hidup, semakin kuat konsep dirinya, baik ataupun buruk.

Anak kita sudah mendapat "kaki-kaki" itu setelah mereka lahir ke dunia. Sejak dini mereka sudah berinteraksi, terutama dengan orang tuanya di rumah, dan "kaki-kaki" itu mulai tumbuh menopang "Si Meja" atau konsep diri si anak itu. Beruntung bila "kaki-kaki" itu positif. Tapi dari banyak kasus, seringkali tidak. Masalahnya, apakah sekolah akan berpartisipasi meruntuhkan "kaki-kaki" negatif si anak? Atau justru memperkuatnya? Di sinilah Anda sebagai orang tua harus benar-benar khawatir dan mengevaluasi secara serius mengenai sekolah anak Anda saat ini. Atau, bila Anda baru berencana memberikan pendidikan untuk si buah hati, pertimbangkan secara serius apakah sekolah tersebut berpotensi memperkuat konsep diri anak Anda atau tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline