Lihat ke Halaman Asli

Guru Rendra

Guru Sosiologi SMA Xin Zhong Surabaya

Mengajar di Era Hashtag

Diperbarui: 30 Juni 2022   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di era media sosial ini kita sering melihat bahwa sebuah posting selalu disertai tulisan kecil berwarna biru dengan tanda #, bukan? Nah, inilah yang sering disebut dengan hashtag. Hashtag pada dasarnya adalah sebuah kata kunci yang telah diprogram sedemikian rupa sehingga ketika ia menyertai sebuah posting di media sosial ia akan menjadi jangkar pencari bagi siapapun yang hendak mencari informasi yang terkait dengan isi posting Anda. Misalnya kita hendak mencari informasi tentang Kurikulum Merdeka, maka cukup kita coba mencari dengan hashtag #kurikulummerdeka. Atau, dengan hashtag lain yang mengandung kombinasi terkait Kurikulum Merdeka. Kemungkinan alternatif yang muncul bisa saja di luar dugaan kita karena kombinasi tersebut. Bahkan bisa saja mengarahkan riset ke arah baru yang memperkaya pemaknaan. Luar biasa, bukan?

Ini artinya, kita bisa mencari informasi apapun di internet, asalkan bisa mencari hashtag yang tepat. Ini seperti kotak Pandora yang sekali terbuka maka apapun isi di dalamnya menjadi milik si pembuka kotak tersebut. Hashtag memudahkan kita melakukan riset ketika hendak mendalami suatu topik masalah melalui internet. Konsekuensi fenomena hashtag ini adalah perilaku riset seharusnya menjadi bagian inheren atau tak terpisahkan dari proses belajar di sekolah. Riset sebagai proses belajar tidak terelakkan karena begitu luasnya kemungkinan informasi-informasi terakses, bahkan seringkali tanpa saringan atau filter. Disinilah pembicaraan menjadi menarik karena mengajar dengan hashtag mengubah peran guru secara signifikan.

Ketika kota Pandora informasi terbuka lebar dengan adanya hashtag, dan tidak adanya saringan informasi selain kombinasi dari kecocokan hashtag itu sendiri dengan informasi yang dicari, maka mau tidak mau guru harus berubah fungsi dari sumber informasi utama bagi murid-muridnya menjadi pendamping aktif untuk membantu mereka menyaring informasi yang benar-benar dibutuhkan dalam risetnya. Belum matangnya siswa dalam menentukan prioritas derajat kebutuhan informasi akan berbahaya bila dibiarkan saja tanpa pendampingan guru. 

Guru harus menjadi konsultan yang menunjukkan kepada siswa tentang prioritas derajat kebutuhan informasi tersebut. Mana yang dibutuhkan atau tidak, mana yang layak atau tidak layak, atau bahkan mana yang mudah dimaknai oleh siswa itu sendiri. Bukan asal copy & paste sehingga siswa asal mengumpulkan informasi tanpa bisa memaknai. Tanpa perilaku memaknai maka bukan belajar itu namanya. Perilaku memaknai bisa didesain guru dengan berbagai strategi, misalnya dengan skema Edward De Bono -- Enam Topi Berpikir -- yang terkenal itu.

  Derasnya informasi di era media sosial memang memiliki dua sisi. Di satu sisi, belajar bisa menjadi petualangan menarik bagi siswa karena hal-hal baru yang mereka temukan selama riset. Di sisi lain, liarnya informasi bisa saja justru mengalihkan siswa dari pemaknaan yang seharusnya menjadi perilaku yang tidak produktif. Inilah yang harus dihindari. Dan inilah sebabnya tidak ada alasan bagi seorang guru kehilangan peran di era disrupsi informasi ini. Guru tetaplah peran sentral dalam belajar karena ia adalah perancang skema belajar, pendamping proses memaknai, dan sekaligus menjadi pertahanan terakhir terhadap liar dan derasnya informasi dari media sosial. Jadi pilihannya ada pada kita, mau berubah agar relevan dengan era baru, atau bersikukuh di tempat dan menjadi tidak relevan bagi siswa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline