Lihat ke Halaman Asli

Cukup Sitti Nurbaya

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berapa banyak dari kita yang setuju kalau cerita siti Nurbaya adalah cerita yang sangat tragis? Berapa banyak dari kita yang mendukung pasangan Siti Nurbaya dengan Samsul Bahri? Berapa banyak dari kita yang mengutuk tindakan Datuk Maringgih?

Saya yakin 100% semua pasti mendukung cerita itu. Dukungan perlawanan kepada pola pikir “kampungan bin norak”. Pola pikir yang berujung pada tradisional itu memang menghambat anak muda yang gaul dan anti penindasan, di mana kebebasan di junjung tinggi. Tapi, sadar gak kita? Kalau itu hanya Paradigma. Kalau itu hanya sudut pandang dari yang punya perusahaan penerbit buku Siti Nurbaya.

Tentu saja tidak! Kesadaran kita hanyalah saat kita di paksa menikah dengan pilihan orang tua kita. Kesadaran itu hanyalah saat kita sedang menginjak bumi saja. Cerita itu terjadi di abad 18 dan sekarang abad 21. Tidak sama masanya dan aturan-aturannya. Justru kesadaran yang harus di bangun adalah, jangan sanpai cerita itu terulang lagi.

Ok…itu semua benar. Tapi bagaimana kalau kita mengawalinya dengan paradigma. Begini awalnya:

Sekali lagi paradigma. Sekilas tentang paradigma adalah sewaktu Avicenna (Ibnu Sina) menggugurkan teorinya aristiteles tentang gerak percepatan benda. Aristoteles mengatakan bahwa jatuhnya benda ke bawah itu diakibatkan oleh berat benda itu dan dorongan dari udara sekitar di tambah dengan gembiranya batu bertemu dengan tanah. Tapi Avicenna katakan tidak, gerak benda yang jatuh itu di akibatkan oleh zat gaya yang berada dalam benda itu sendiri. Bukan karena gembiranya batu bertemu dengan tanah kalau itu memang terjadi percepatan.Hal ini mendorong penemuan-penemuan terjadi di eropa seperti Galileo, Newton dll. Sampai dengan sekarang kita bisa melihat besi melayang di udara (pesawat).

Nah, jadi hanya paradigma. Tidak ada yang salah bagi kedua ilmuwan besar itu. Kalau aristoteles belum mengganggap alam sebagai mekanisme tapi Avicenna sudah. Hanya saling melengkapi dan itu terjadi karena dari perbedaan interpretasi pengamatan dan data-data.

Kembali ke Siti Nurbaya. Apa yang kita lihat dari cerita itu bila paradigma itu di ubah? Sederhana, ini bukan sok filsuf-flsufan. Selama ini kita mungkin hanya melihat gelas dengan bentuknya tapi tidak pernah melihat isinya. Sederhana bukan? Nah Mungkin seperti ini singkatnya untuk yang sudah pernah membaca novelnya.

Sitti Nurbaya merupakan novel karya Marah Rusli ( 7 agustus 1889-17 Januari 1968) terbitan Balai Pustaka yang terbit pada tahun 1922. Selain persoalan kawin paksa dan kasih yang tak sampai yang menjadi benang merah cerita, ada lagi persoalan yang di sampaikan pengarang secara implisit yaitu perseteruan pola pikir antara kaum adat dengankaumterpelajar modern (Belanda). Hal ini karena kebijakan politik etis yang di keluarkan Belanda untuk membantu pekerjaan Belanda dan mengisi pos-pos pemerintahan, sangat diskriminatif kepada pribumi (lihat Snouck Hurgronje). Hanya golongan priyayi dan bangsawan saja yang bisa sekolah.

Pesan yang lain juga terlihat saat Samsulbahri pernah mencoba bunuh diri 5 kali (hal 239) Marah Rusli memberi “majas” kepada kita bahwa kaum terpelajar dan modern bukan jaminan keteguhan jiwa itu ada. Banyaknya peristiwa bunuh diri dari apartemen di beberapa kota besar di Indonesia menyiratkan itu di tambah dengan menjamurnya motivator-motivator skala hotel dan tv swasta nasional.

Apalagi pesan itu terlihat jelas saat pertempuran di mana Datuk maringgih sudah menyesali perbuatannya dan bertobat dengan cara membela tanah adatnya yang di rampas Belanda (hal 261-263) dan kegalauan Samsulbahri yang sudah berubah nama menjadi letnan Mas (hal 243). Akhir cerita dari 2 tokoh laki-laki yang berseteru ini sungguh ironi. Sama-sama gugur dan menjadi “pahlawan bangsa” nya. Samsul Bahri (letnan Mas) dari pihak balanda dan Datuk Maringgih dari pihak adat. Coba perhatikan apa yang di katakan Datuk itu kepada letnan mas, “Rasailah pula olehmu bekas tanganku, hai anjing belanda!”

Akan tetapi, pesan-pesan itu tidak mampu kita tangkap sekarang.

Padahal Sutan Takdir Alisyahbana yang pernah menjadi redaktur Balai Pustaka menyatakan bahwa bacaan-bacaanyang diterbitkan itu hanya untuk menangkal aliran sosialisme atau nasionalisme yang menentang Belanda. Tapi justru sebaliknya, meski karya itu di screening ketat, sastra mampu menunjukkan kelebihannya dengan majas-majasnya yang penuh dengan perumpaan lewat jalinan ceritanya. Sastrawan-sastrawan senior itu mampu memanfaatkan media yang ada untuk perlawanan. Tapi hari ini, meskipun sama-sama pesan perlawanan tapi objeknya beda. Bukan perlawanan kepada penjajah tapi perlawanan kepada Orang tua.

Cobalah cek grup di FB anda.

Pada 3 grupSiti Nurbaya di f b yang berjumlah 300 anggota menuliskan pelampiasan kepada orang tua dengan 3 kata: Kolot, ortodokx materialis. Berbeda dengan 3 grup Romeo Juliet (Akun Indonesia) yang berjumlah ribuan anggota menunjukkan nasionlisme tinggi dengan caranya sendiri. Salah satunya grup film Romeo Juliet versi Indonesia denganlatar perseteruan suporter Bola. Grup yang lain dengan cara memparodikan gambar Leonardo Di Caprio mengumpat f””K kepada Claire Danes yang sebenarnya kritikan terhadap film Romeo julie versi Indonesia yang banyak mengumbar kekerasan.

“Riset” ala fb ini menunjukkan perlawanan lewat media, tapi sungguh ironi, grup Siti Nurbaya untuk melawan orang tua dan grup Romeo Juliet untuk melawan barat. Terlihat, kita masih saja terjebak oleh bentuk bukan isi. Kita harus mengubah paradigma ini karena pemudalah yang kan meneruskan perjuangan nanti. Tidak usah di jelaskan kenapa alasannya? Media banyak memberitakan penurunan Negara kita di banding asing.

Banyak yang ingin melakukan perubahan tapi sadar tidak. Sudah 1 abad sejak novel itu keluar. Mungkin tidak yang katanya ingin menyelamatkan bangsa tapi dia masih durhaka dengan ibunya? Mungkin tidak apa yang di katakan pakar-pakar bule itu tidak jauh berbeda dengan pakar-pakar pribumi itu?

Saatnya memang kita harus kembali ke bumi kita sendiri. Bumi Ibu Pertiwi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline