Lihat ke Halaman Asli

The Clash of Susi (Tips Menyikapi Kontroversi Ibu Menteri Susi)

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

141454368534465060

Jika ada nama yang paling banyak disebut dalam 4 hari terakhir ini, maka nama Susi adalah juaranya. Beberapa tahun yang lalu, nama Susi juga sempat jadi trending name. Bedanya, pada waktu itu Susinya pakai Similikiti Weleh Weleh Eeeaa…Eeeaaa…Eeeaaa.. Sedangkan Susi yang sekarang tidak pakai weleh weleh apalagi eeaa…eeaa.

Susi yang sedang jadi buah bibir sekarang adalah menteri. Bagaimana ia jadi menteri, tidak perlu dijelaskan. Bagaimana kisah hidupnya sejak kecil sampai setua sekarang juga sudah banyak di-posting di dunia maya. Bagaimana sikap hidup, kebiasaan, dan tingkah polahnya juga sudah diwartakan oleh para Susi’s Stalkers.

Gara-gara Susi, masyarakat kita terbelah menjadi 2 kubu. Satu kubu mendukung Susi. Tak peduli dia hanya lulusan SMP, tak peduli dia suka merokok di depan umum, tak peduli Susi ini bukannya minum susu tapi malah suka minum bir, tak peduli Susi ini bertato atau suka berpakaian seksi padahal dia bukan Inem si pelayan seksi. Kubu ini hanya melihat Susi sebagai pengusaha sukses, pejuang tangguh, dermawan berjuluk hamba Tuhan, dan role model wanita modern.

Sedangkan kubu yang lain tetap mengkritisi sisi negatif Menteri Susi. Tak peduli setinggi apa prestasinya dan seberapa baik hatinya, yang namanya berandalan ya tetap berandalan. Dan berandalan tidak pantas jadi menteri. Mereka khawatir Susi akan jadi contoh buruk bagi generasi muda. Sangat berbahaya jika anak muda lalu berpendirian bahwa tidak masalah suka merokok, minum bir, bertato, dan tidak sekolah, toh yang orang lihat kan hasil akhirnya.

Awalnya saya agak condong ke pendapat kedua, bahwa sebaik apapun prestasinya, sepandai apapun, sekeras apapun kerjanya, tapi sikap dan karakteristik pribadi tetap harus diutamakan. Saya berpedoman pada passing grade nilai Tes Kemampuan Dasar (TKD) seleksi CPNS tahun ini. Bahwasannya dalam TKD ada 3 unsur, yaitu Tes Intelegensi Umum (TIU), Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), dan Tes Karakteristik Pribadi (TKP). Passing grade untuk TIU adalah 75, untuk TWK adalah 70, dan untuk TKP dalah 126. Saya menyimpulkan bahwa untuk jadi PNS saja pemerintah lebih mementingkan karakter pribadi dari peserta seleksi daripada faktor intelegensia dan wawasannya tentang Indonesia. Apalagi untuk jadi menteri, yang akan membawahai ratusan ribu PNS, seyogyanya adalah orang yang nilai karakteristik pribadinya jauh lebih baik.

Namun setelah melalui sore yang terik, akhirnya saya mendapat pencerahan tentang kontroversi Susi. Maka saya tidak jadi ikut blok Pro Susi ataupun blok Anti Susi. Saya tidak mau masuk jadi anggota Susi Lovers ataupun Susi Haters. Tapi saya akan tetap jadi Susu Lovers, itu yang penting.

Saya mau seperti Bung Karno yang dengan mantabnya menyatakan Non Blok! Dan dalam posisi non blok ini, saya punya cara sendiri (yang boleh dipakai atau dibuang) dalam menyikapi The Clash of Susi.

1.Ilmu itu ibarat kamera handphone dan ijasah itu lampu flash-nya. Tanpa lampu flash, kamera tetap bisa dipakai untuk memotret. Handphone-handphone murah yang memaksakan fitur kamera, biasanya tidak dilengkapi lampu flash. Apakah kamera tanpa lampu flash tidak bisa untuk memotret? Bisa. Tanpa lampu flash-pun kamera handphone tetap bisa dipakai untuk selfie lalu hasil fotonya diedit pakai Camera 360 dan di-upload di Instagram.

Namun jika kamera handphone itu dilengkapi dengan lampu flash, maka memotret di tempat yang kurang cahayapun hasilnya tetap terang. Dalam keadaan mati listrikpun masih bisa tetap selfie, mukanya masih bisa tetap terlihat jelas, bahkan jerawat segede bola kasti di jidat akibat terlalu banyak memikirkan Susi juga masih bisa terlihat di hasil fotonya.

Punya ilmu saja tanpa bersekolah memang tidak salah, bahkan sudah cukup kalau cuma untuk mencari seember nasi. Akan tetapi berilmu dan berijasah akan terasa lebih lengkap. Silakan kalau mau mencontoh Susi, tidak melanjutkan sekolahnya, tetapi prestasinya juga minimal harus sama seperti Susi. Kalau tidak bisa berprestasi seperti Susi, ya jangan berlagak putus sekolah dengan dalih “Wong nggak sekolah saja bisa sukses kok, ngapain sekolah?” Kata orang Jawa itu namanya ora sembada.

Lalu bagaimana orang yang sekolahnya tinggi, ijasahnya lengkap mulai dari SD, SMP, SMA, S1, S2, S3, Es The, Es Cendol, sampai Es Em Es, tapi ilmunya biasa-biasa saja? Ya paling tidak secara formal diakui oleh pemerintah bahwa orang itu pernah menuntut ilmu. Ibarat handphone, kameranya rusak tapi lampu flash-nya masih hidup, paling tidak masih bisa buat senter saat mati listrik. Atau paling tidak bisa meminjamkan lampu flash-nya saat ada orang yang mau berfoto di tempat gelap dengan kamera handphone tanpa flash.

.

2.Merokok itu boleh, merokok itu tidak dilarang, saya belum pernah menemukan sepotong ayatpun dalam segala macam kitab suci yang dengan gamblang melarang umatnya merokok. Korek Mi If Aem Rong (KMIAR).

Pemerintah saja tidak melarang orang (dewasa) untuk merokok, hanya mengingatkan bahwa merokok akan membunuhmu, dilengkapi dengan foto orang yang ketemu jin dan ingin terkenal itu.

Namun perlu dicamkan juga bahwa apapun yang kita lakukan, apapun yang menjadi pilhan kita pasti ada resikonya. Bahkan sunatpun, yang jelas-jelas diperintahkan oleh agama Islam, juga ada resikonya. Resikonya ya sakit, nyeri, dan “barang” kita mau tidak mau harus dijamah oleh orang tak dikenal, yaitu tukang sunat.

Merokokpun ada (bahkan banyak) resikonya. Dari sisi kesehatan jelas beresiko menimbulkan berbagai macam penyakit. Dari sisi ekonomi jelas menimbulkan kebotakan pada dompet dan ATM kita. Dari sisi sosial kemasyarakatan, perokok akan dicap sebagai orang yang berandalan, tidak sopan, dan merugikan orang lain.

Pertinyiinnyi..!! Pertinyi..?? Innyi..adalah sanggupkah kita menangung dan mengantispasi resiko yang ditimbulkan dari merokok? Kalau sanggup, silakan merokok sepuasnya. Tetapi bila tidak sanggup, jangan coba-coba untuk merokok, baik rokok tembakau, rokok elektrik, maupun rokok daging. Jangan!

Boleh merokok tapi harus diimbangi dengan olahraga,makan makanan bergizi, dan minum air putih yang banyak. Insyaallah segala sesuatu yang seimbang tidak akan berakibat buruk bagi kita. Kalau suka merokok tapi tidak pernah olahraga,makan makanan bergizi, dan minum air putih yang banyak,maka harus bersiap menderita berbagai macam penyakit. Dan harus tangguh saat menderita penyakit itu, harus berani mengakui bahwa sakit ini gara-gara rokok. Kalau batuk sedikit saja sudah mengeluh, merajuk, menye-menye, minta dimanja sama pacarnya, lebih baik rokoknya dikasih ke banci di perempatan lampu merah yang jelas lebih tangguh menghadapi hidup.

Boleh merokok kalau yakin betul bahwa dengan membeli rokokpun kita masih bisa memenuhi kebutuhan pokok. Kalau tidak bisa, jangan merokok. Terlebih lagi bagi anak-anak ingusan yang mau beli sempak saja masih minta uang orang tua. Kalau sudah bisa memperoleh uang dari hasil kerja sendiri, dan uang itu sudah bisa memenuhi kebutuhan pokok, baru boleh merokok. Sebab anak sekolah jaman sekarang banyak yang sudah bisa menghasilkan uang sendiri tapi masih sebatas untuk menambah uang jajan, bukan untuk membiayai kebutuhan pokoknya sendiri.

Boleh merokok tapi harus dan wajib memperhatikan etika dalam masyarakat.

Jangan merokok di ruang yang sempit dan banyak orang.

Jangan merokok di dekat anak kecil.

Pastikan saat merokok, jarak kita dari anak kecil bagaikan jarak antara rakyat dan anggota DPR : jauh.

Jangan merokok di dekat ibu hamil, apalagi merokok sambil membuat ibu-ibu jadi hamil.

Jangan merokok di tempat yang mudah terbakar, misalnya di dekat mantan pacar karena akan membakar api cemburu pasangan kita. Kasihan pasangan kita kalau harus menyanyikan lagu Sakitnya Tuh Disini.

Jangan merokok di tempat yang ada tulisannya “Dilarang Merokok” atau “No Smoking Area”. Menerobos hal-hal yang membatasi kita memang terdengar keren dan revolusioner, tapi kalau menerobos no smoking area, maka sebaiknya anda kembali ke playgroup untuk belajar membaca dan belajar bahasa Inggris.

Mau merokok saja repot amat! Ya itulah resikonya kalau mau ikut-ikutan merokok biar dibilang mirip Bu Menteri Susi. Kalau tidak mau ambil resikonya, ya jangan berlagak merokok dengan dalih “Halah..wong menteri saja merokok, masak kita rakytanya nggak boleh merokok? Menteri kencing berdiri, rakyat kencing nyiprat kemana-mana.”

[caption id="attachment_370222" align="aligncenter" width="300" caption="Koleksi Pribadi"][/caption]

.

3.Untuk urusan kebiasaan minum bir Bu Menteri Susi, saya tidak bisa berpendapat banyak. Ini ranahnya sudah melintas batas, tidak hanya norma masyarakat tapi juga hukum agama masing-masing. Ada agama yang membolehkan umatnya minum alkohol, ada pula yang mengharamkan alkohol.

Seperti rokok tadi, minum bir juga punya resiko tersendiri. Jika siap dengan resikonya, termasuk mendapat dosa dan tidak diterima sholatnya selama 40 malam bagi umat Muslim, ya silakan saja minum bir biar seperti Bu Menteri Susi. Tapi kalau tidak siap dengan resikonya, berprestasi dan bebas alkohol itu jauh lebih istimewa.

.

4.Orang Jawa punya pepatah ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana, yang artinya Aji Pangestu sekarang sudah putus dengan Bella Sofie yang suka buka-buka busana di depan kamera.

Orang akan menilai kita dari cara kita berkata-kata dan dari cara kita berpenampilan. Pernah lihat anak punk pakai kemeja batik sambil menggelandang di lampu merah? Atau pernah lihat Habib Rizieq rambutnya mohawk dicat merah muda sambil berceramah di depan jamaah FPI? Kalau pernah melihat, berarti anda termasuk pecinta meme sejati.

Namun bolehkah kita berbusana semau kita, senyaman yang kita rasa, sesuai dengan prinsip berpakaian kita? Sangat boleh bahkan sangat dianjurkan. Busana adalah apapun yang kita rasa nyaman di tubuh kita. Jangan pernah memakai pakaian yang justru membuat kita tidak nyaman atau membuat kita kehilangan jati diri. Akan tetapi, sekali lagi, kita harus sembada.

Sah-sah saja kita berpakaian ala anak punk, tapi terlebih dahulu kita harus punya prestasi yang cemerlang. Sangat boleh kita tiap saat, tak kenal tempat, hanya memakai celana pendek ala Bob Sadino, tapi terlebih dahulu kita minimal harus secemerlang Bob Sadino. Tidak melanggar KUHP jika seorang wanita ke mall memakai celana gemezz dan tank top yang mengundang untuk diremezz, dengan tato gambar kecoa di beberapa bagian tubuh. Tapi jangan marah saat ada lelaki seperti saya yang benar-benar gemes dan akhirnya meremas tanpa ijin dari Kecamatan dan Polsek setempat.

Boleh berpakaian dan bersikap nyentrik (baca : seenaknya sendiri), asal dibarengi dengan prestasi dan reputasi yang baik. Jangan berlagak nyentrik dengan dalih “Haiisshh…wong pemimpinnya saja berpakaian seenaknya, bertato, masak rakyatnya nggak boleh mencontoh?”, padahal prestasi kita masih nol cenderung minus.

.

Demikian posisi saya dalam menyikapi The Clash of Susi ini. Saya tidak membela salah satu pihak dalam Perang Maha-Nggak-Penting ini. Saya tidak berada di pihak Kurasusiwa maupun pihak Pandasusiwa yang pada akhirnya sama-sama wagu di mata saya, karena membela mati-matian orang yang sebenarnya tidak perlu dibela sampai segitunya. Lha wong meningkatkan kualitas hidup diri kita sendiri saja masih belum bisa, kok malah ikut mengurusi kualitas hidup orang lain sampai bunuh-bunuhan dengan sesama anak bangsa. Biarkan orang lain hidup dengan caranya sendiri. Kalau baik kita contoh, kalau tidak baik ya diajak untuk ke arah yang lebih baik atau minimal ya jangan dicontoh. Simple kan?

Andaikan saya adalah orang tua dari seorang anak muda yang hendak meniru tingkah polah Bu Menteri Susi, maka akan saya ijinkan, sangat amat boleh, dengan satu syarat : minimal harus menyamai prestasi Susi, baru boleh bergaya layaknya Susi. Kalau belum bisa berprestasi, nyemplung sumur dulu sana!

Andaikan saya seorang guru, saya tidak akan menghalangi murid-murid saya bergaya seperti Susi, akan saya ijinkan murid saya merokok, minum bir, bertato. Namun dengan satu syarat : murid yang ingin seperti itu harus bisa memiliki maskapai penerbangan yang dibangun dengan uangnya sendiri. Kalau pulsa saja masih minta dibelikan orang tua, jangankan merokok, bahkan coba-coba pacaran saja akan saya beri hukuman. Hukumannya adalah membuat sebuah artikel tentang bahaya pacaran bagi anak di bawah umur, lalu di-posting di Kompasiana.

.

.

Klaten_28102014

Air Susi dibalas dengan posisi menteri. Akibat nila setitik rusak Susi sekabinet kerja. Susi di seberang lautan tampak, susu di pelupuk mata tidak tampak. Bagai Susi makan tanaman. Bagai Susi merindukan bulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline