Sejak deklarasi Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) pada tahun 1948, hak asasi manusia telah menjadi pijakan moral dan hukum dalam banyak negara di seluruh dunia. Namun, dalam realitasnya, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia sering kali terbentur oleh berbagai masalah kewarganegaraan yang kompleks.
Masalah kewarganegaraan menyangkut hak dan kewajiban yang melekat pada status hukum seseorang dalam suatu negara. Pertanyaan tentang siapa yang berhak mendapatkan kewarganegaraan, bagaimana pengungsi dan imigran ditangani, dan bagaimana hak asasi manusia dipertahankan dalam konteks kewarganegaraan sering kali menimbulkan ketegangan dan konflik.
Dalam konteks globalisasi saat ini, tantangan kewarganegaraan semakin kompleks dengan adanya mobilitas manusia yang tinggi, konflik berskala besar yang mengakibatkan pengungsian massal, dan ketidaksetaraan dalam perlakuan terhadap imigran dan minoritas. Di samping itu, berkembangnya teknologi informasi juga memberikan dampak signifikan terhadap hak asasi manusia dan kewarganegaraan, terutama dalam hal privasi dan kebebasan berekspresi.
Selintas Sejarah HAM
Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, and legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan hak 252si manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut rechtsstaat. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga diharuskan tercantum dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy), dan dianggap sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi ketentuan lainnya, seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara dan mekanisme hubungan antarlembaga Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia banyak dipengaruhi pula oleh pemikiran-chaikinak para sarjana, seperti John Locke dan Jean Jacques Rousseau. John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias Politica Montesquieu. Bersama dengan Thomas Hobbes dan J.J. Rousseau, John Locke juga mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial (contrat social). Per- bedaan pokok antara Hobbes dan Locke dalam hal ini adalah bahwa jika teori Thomas Hobbes menghasilkan monarki absolut, teori John Locke menghasilkan monarki konstitusional.
- Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi manusia merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya homo homini lupus, bellum omnium contra omnes. Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut 'Leviathan' yang dijadikan oleh Thomas Hobbes sebagai judul buku.
- Keadaan seperti itulah yang, menurut Hobbes, mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat dalam mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Itu sebabnya pandangan Thomas Hobbes disebutkan sebagai teori yang mengarah kepada pembentukan monarki absolut.negara.
- Gagasan HAM Dalam UUD
- UUD 1945 sebelum diubah dengan Perubahan Kedua pada tahun 2000, hanya memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian hak asasi manusia. Pasal-pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian hak asasi manusia itu adalah:
- 1) Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya";
- 2) Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan";
- 3) Pasal 28 yang berbunyi, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang";
- 4) Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu";
- 5) Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi, "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut sertta dalam usaha pembelaan negara";
- 6) Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, "Tiap-tiap warga negara berhak
- mendapat pengajaran"; 7) Pasal 34 yang berbunyi, "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar diperlihara oleh negara." Namun, jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hanya satu ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas hak asasi manusia, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan, 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'. Sementara itu, ketentuan-ketentuan yang lain, sama sekali bukanlah rumusan tentang hak asasi manusia atau human rights, melainkan hanya ketentuan mengenai hak warga negara.
- hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadan apa pu atau nonderogable rights, yaitu:
- 1) hak untuk hidup;
- 2) hak untuk tidak disiksa;
- 3) hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
- 4) hak beragama;
- 5) hak untuk tidak diperbudak;
- 6) hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan 7) hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
- Sementara itu, keempat kelompok hak asasi manusia terdiri atas kelompok pertama, kelompok ketentuan yang menyangkut hak-huk sipil yang meliputi sebagai berikut.
- 1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
- 2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
- 3) Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan.
- 4) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
- 5) Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani.
- 6) Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
- 7) Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum
- dan pemerintahan.
- 8) Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
- 9) Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
- 10) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
- tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya.
- ) Setiap orang berhak memperoleh suaka politik. 12
- 13) Setiaminatif dan berhakumbas dari segala bentuk perlakuan a mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut. Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya
- yang meliputi sebagai berikut. 1) Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai dengan lisan dan tulisan.
- 2) Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.
- 3) Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan- jabatan publik.
- 4) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.
- (5) Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan.
- (6)Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
- (7) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan
- untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat.
- 8) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
- 9) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran.
- 10) Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk
- peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia. ) Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak- 11
- hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa.
- Menurut van Vollenhoven, hukum tata negara mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatan-tingkatannya, yang masing-masing menentukan wilayah atau lingkungan rakyatnya sendiri-sendiri, dan menentukan badan- badan dalam lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan beserta fungsinya masing-masing, serta menentukan pula susunan dan kewenangan badan-badan yang dimaksud.
- Menurut Kusumadi Pudjosewojo, dalam bukunya Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia merumuskan definisi yang panjang tentang Hukum Tata Negara. Menurutnya, Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara dan bentuk pemerintahan, yang menun- jukkan masyarakat hukum yang atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya yang selanjutnya menegaskan wilayah dan lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukkan alat-alat perlengkapan yang memegang kekuasaan penguasa dari masyarakat hukum itu, beserta susunan, wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara alat perlengkapan itu.
Prinsip Dasar Kewarganegaraan
Asas Ius Soli dan Ius Sanguinis
Dalam berbagai literatur hukum dan dalam praktik, dikenal adanya tiga asas kewarganegaraan, yaitu asas ius soli, asas ius sanguinis, dan asas campuran. Dari ketiga asas itu, yang dianggap sebagai asas yang utama ialah asas ius soli dan ius sanguinis.27 Asas ius soli ialah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan menurut tempat kelahirannya. Untuk mudahnya asas ius soli dapat juga disebut asas daerah kelahiran. Seseorang dianggap berstatus sebagai warga negara dari Negara A karena ia dilahirkan di Negara A tersebut. Sementara itu, asas ius sanguinis dapat disebut sebagai asas keturunan atau asas darah. Menurut prinsip yang terkandung dalam asas kedua ini, kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh garis keturunan orang yang bersangkutan. Seseorang adalah warga Negara A, karena orang tuanya warga Negara A.
Pada saat sekarang di mana hubungan antarnegara berkembang se- makin mudah dan terbuka, dengan sarana transportasi, perhubungan, dan komunikasi yang sudah sedemikian majunya, tidak sulit bagi setiap orang untuk bepergian kemana saja. Oleh karena itu, banyak terjadi bahwa seorang warga negara dari Negara A berdomisili di Negara B. Kadang-kadang orang tersebut melahirkan anak di negara tempat dia berdomisili. Dalam kasus demikian, jika yang diterapkan adalah asas ius soli, akibatnya anak tersebut menjadi warga negara dari negara tempat domisilinya itu, dan dengan demikian putuslah hubungannya dengan negara asal orang tuanya. Karena alasan-alasan itulah, dewasa ini banyak negara yang telah meninggalkan penerapan asas ius soli, dan berubah menganut asas ius sanguinis.
- Bipatride dan Apatride
Seperti diuraikan di atas, setiap negara berhak menentukan asas mana yang hendak dipakai untuk menentukan siapa yang termasuk warga negara dan siapa yang bukan. Oleh karena itu, di berbagai negara, dapat timbul berbagai pola pengaturan yang tidak sama di bidang kewarganegaraan. Bahkan, antara satu negara dengan negara lain dapat timbul pertentangan atau conflict of law atau pertentangan hukum. 30 Misalnya, di negara A dianut asas ius soli, sedangkan negara B menganut asas ius sanguinis, atau sebaliknya. Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan bipatride atau dwi-kewarganegaraan, atau sebaliknya menyebabkan terjadinya apatride, yaitu keadaan tanpa kewarganegaraan sama sekali. Bipatride (dwi-kewarganegaraan) timbul ketika menurut peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan dari berbagai negara, seseorang sama-sama dianggap sebagai warga negara oleh negara-negara yang bersangkutan.
Sistem Campuran dan Masalah Dwi-Kewarganegaraan Seperti sudah diuraikan di atas, asas yang dikenal dalam kewarganegaraan adalah ius soli dan ius sanguinis. Pada umumnya, satu negara hanya menganut salah satu dari kedua asas ini. Akan tetapi, karena tidak semua negara menganut asas yang sama, dapat timbul perbedaan yang mengakibatkan terjadinya keadaan apatride atau bipatride. Keadaan tanpa kewarganegaraan atau apatride jelas harus dihindari dan diatasi. Akan tetapi, kadang-kadang ada negara yang justru membiarkan atau bahkan memberi kesempatan kepada warganya untuk berstatus dwi-kewarganegaraan. Kadang-kadang hal ini terjadi, antara lain, karena asas kewarganegaraan yang dianut bersifat campuran.
Misalnya, India dapat dikatakan mengatur asas ius soli, tetapi pada saat yang sama juga mengakui asas ius sanguinis. Oleh karena itu, India menerapkan ketentuan perolehan status kewarganegaraan berdasarkan tanah kelahiran (citizenship by birth) dan sekaligus menurut garis keturunan (citizenship by descent).
- Seperti halnya undang-undang, menurut Djokosoetono, kon-
- stitusi yang menjadi objek kajian hukum tata negara materiil dan
- formal juga mempunyai tiga arti, yaitu dalam arti materiil, dalam arti
- formal, dan dalam arti naskah yang terdokumentasi. Menurutnya,
- undang-undang dapat dilihat:"
- a. dalam arti materiil, algemene verbindende voorschriften;
- b. dalam arti formal, yaitu bahwa undang-undang itu telah mendapat persetujuan (wilsovereen-stemming) bersama antara Pemerintah dan DPR; dan
- c. dalam arti naskah hukum yang harus terdokumentasi (gedocu- menteerd) dalam Lembaran Negara supaya bersifat bewijsbaar atau dapat menjadi alat bukti dan stabil sebagai satu kesatuan rujukan.
- Demikian pula konstitusi yang menjadi objek kajian hukum tata negara juga mempunyai tiga pengertian, yaitu:
- a. Constitutie in materiele zin dikualifikasikan karena isinya (gequa- lificerd naar de inhoud), misalnya berisi jaminan hak asasi, benruk negara, dan fungsi-fungsi pemerintahan, dan sebagainya;
- b. Constitutie in formele zin, dikualifikasikan karena pembuatnya (gequalificerd naar de maker), misalnya oleh MPR;
- c. Naskah Grondwet, sebagai geschreven document, misalnya harus diterbitkan dalam Lembaran Negara, voor de bewijsbaarheid en voor
- Warga Negara dan Kewarganegaraan
- Warga Negara dan Penduduk Seperti dikemukakan oleh para ahli, sudah menjadi kenyataan yang berlaku umum bahwa untuk berdirinya negara yang merdeka harus dipenuhi sekurang-kurangnya tiga syarat, yaitu adanya wilayah, adanya rakyat yang tetap, dan pemerintahan yang berdaula wilayah syarat ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpi berdaulat. Ketiga Jain. Tanpa adanya wilayah yang pasti, tidak mungkin suatu sama dapat berdiri, dan begitu pula adalah mustahil untuk meu, negara adanya negara tanpa rakyat yang tetap. Di samping itu, meskipun kedua syarat wilayah (territory) dan rakyat telah dipenuhi, apabila pemerintahannya bukan pemerintahan yang berdaulat yang bersifat nasional, belumlah dapat dinamakan negara tersebut suatu negara yang merdeka. Hindia Belanda dahulu memenuhi syarat yang pertama, yaitu wilayah dan rakyat, tetapi pemerintahannya adalah pemerintahan jajahan yang tunduk kepada Pemerintah Kerajaan Belanda, maka Hindia Belanda tidak dapat dikatakan sebagai satu negara yang merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H