Laut China Selatan merupakan salah satu wilayah maritim paling strategis dan diperebutkan di dunia. Dikenal dengan kekayaan dan sumber daya alamnya, terutama minyak dan gas, serta posisinya yang strategis bagi jalur perdagangan internasional, laut china Selatan menjadi titik panas bagi berbagai klaim kedaulatan oleh beberapa negara. Klaim-klaim ini sering kali tumpang tindih dan memicu ketegangan regional. Diantara negara-negara yang terlibat, China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia memiliki kepentingan yang signifikan. Laut china Selatan banyak sekali potensi besar sumber daya alam yang sangat penting termasuk minyak bumi, gas alam, ikan, dan jalur transportasi laut.
Konflik di laut china Selatan awal mula terjadinya diawali oleh klaim sepihak tiongkok (china) terhadap batas wilayah lautan mereka. Dengan menggunakan 9 garis putus-putus tradisional yang sering digunakan untuk melaut para nelayannya, kepulauan spratly yang terdiri dari lebih dari 600 pulau kecil dan karang, menjadi salah satu titik kotroversi dalam konflik ini. Tiongkok telah mengklaim wilayah ini sebagai bagian dari wilyahnya, sementara negara negara lain, termasuk Indonesia, menolak kliam tersebut dan menganggap wilayah ini sebagai wilayah perairan internasional. Faktor yang melatarbelakangi sengketa ini yaitu masuknya kapal asing dari negara china ke Kawasan perairan kepulauan natuna tanpa seizin dari pemerintah ataupun perubahan nama terkait laut china selatan yang berubah menjadi laut udara. Jika mengikuti klaim tiongkok, beberapa negara harus rela kehilangan wilayah lautnya, misalnya brunei harus rela kehilangan hampir keseluruhan laut karena di klaim tiongkok. Belum lagi filipina yang sangat berdekatan dengan tiongkok, harus rela kehilangan wilayah tangkapan ikan jika mengikuti klaim tersebut.
Posisi Indonesia dalam sengketa ini, menurut Guru besar Hubungan Internasional, Prof. Dr. Makarim Wibisono dalam acara diskusi Reboan rutin FISIP UNAIR menjelaskan bahwa posisi Indonesia adalah non-claimant states, atau negara tidak menuntut klaim atas laut cina Selatan.
Dalam pandangan hukum internaisonal, konflik di laut china Selatan dapat dilihat sebagai konflik yang terkait dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional. Konvensi hukum laut internasional 1982 (UNCLOS) menetapkan bahwa wilayah perairan internasional harus dihormati dan tidak boleh diserang oleh negara manapun. Selain itu prinsip-prinsip hukum laut internasional lainnya, seperti prinsip kebebasan navigasi dan prinsip kebebasan pelayaran, juga harus dihormati. Jika dilihat dari hasil konvensi Hukum Laut (UNCLOS) PBB 1982, batas batas wilayah di laut china Selatan sudah jelas dan disepakati secara sama sama. Bahkan, jika aturan ini digunakan, dipastikan ada tumpang tindih batas wilayah lautan pada setiap negara dan akan menimbulkan dampak yang besar terhadap batas batas wilayah laut setiap negara di dunia. Indonesia, sebagai negara yang memiliki posisi strategis di kawasan Asia Tenggara, memiliki kepentingan nasional yang terkait dengan wilayah perairan Laut China Selatan.
Indonesia telah menganggap wilayah ini sebagai wilayah perairan internasional dan telah menolak klaim Tiongkok atas wilayah ini. Menurut Pemerintah China, daerah perairan natuna, masuk pada nine dash line, klaim ini berdasarkan pada alasan historis yang secara hukum internasional, utamanya UNCLOS (Konvensi internasional tentang batas laut), tidak memiliki dasar. Sebab nine dash line itu tidak ada di UNCLOS. Nine dash line itu sendiri adalah Sembilan titik imaginer yang menjadi dasar bagi cina dengan dasar historis, untuk mengkklaim wilayah china Selatan. Titik titik ini dibuat oleh china tanpa melalui konvensi hukum laut internasional dibawah PBB atau UNCLOS 1982, Padahal china juga tercatat sebagai negara yang ikut menandatangani UNCLOS 1982.
Ancaman konflik Laut China Selatan terhadap kedaulatan Indonesia dapat dilihat sebagai ancaman yang terkait dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional. Indonesia harus terus berupaya untuk menjaga kepentingan nasional dan mengeliminir dampak konflik di kawasan Laut China Selatan, serta berupaya untuk menjadi pihak netral dalam konflik ini. Dengan demikian, Indonesia dapat terus menjaga stabilitas regional dan global serta mempertahankan kepentingan nasionalnya. Indonesia sendiri tidak mengklaim kepemilikan atas Laut China Selatan secara keseluruhan, namun Natuna Utara, yang masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, sering kali menjadi objek sengketa. Pemerintah Indonesia telah secara konsisten menolak klaim China yang memasukkan bagian dari ZEE Indonesia ke dalam sembilan garis putus-putus mereka.
Ancaman terhadap Kedaulatan Indonesia dapat dilihat dari beberapa aspek :
1. Aspek keamanan
Secara keamanan, kehadiran kapal-kapal militer China di dekat perairan Natuna Utara meningkatkan risiko konfrontasi militer. Indonesia telah beberapa kali mengerahkan kapal perang dan pesawat patroli untuk menegakkan kedaulatan di wilayah tersebut. Potensi konflik terbuka tidak bisa diabaikan, terutama jika terjadi insiden antara kapal-kapal patroli kedua negara. Ketegangan ini juga dapat mempengaruhi stabilitas regional dan menambah beban bagi TNI Angkatan Laut dalam menjaga wilayah perairan yang luas.
2. Aspek Ekonomi
Secara ekonomi, ketidakstabilan di Laut China Selatan dapat mengganggu eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Natuna dikenal dengan cadangan gas alam yang signifikan, dan setiap gangguan dapat merugikan pendapatan negara serta mengurangi daya tarik investasi asing di sektor energi. Selain itu, Laut China Selatan merupakan salah satu jalur perdagangan tersibuk di dunia; ketidakstabilan di kawasan ini dapat berdampak pada biaya pengiriman dan asuransi, serta mengganggu rantai pasokan global yang penting bagi ekonomi Indonesia
Kerugian yang bisa dirasakan dan akan dialami oleh Indonesia terhadap konflik yang terjadi di perairan laut China Selatan yaitu apabila perang pecah di lautt China Selatan, maka Indonesia berpotensi mengalami dampak langsung yaitu terjadinya kerusakan dan kehancuran di natuna akibat salah sasaran, ekplorasi dan ekploitasi sumber daya alam menjadi terhenti.
Solusi terhadap konflik Laut China Selatan melibatkan upaya penyelesaian damai melalui negosiasi antara ASEAN dan China. ASEAN dan China telah menunjukkan iktikad baik untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai melalui negosiasi. Pihak-pihak yang berkepentingan di Laut China Selatan, seperti Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia, berlomba-lomba memperkuat pertahanan mereka dengan menempatkan Tentara Filipina dan AS menggelar latihan militer gabungan. Untuk itu, ASEAN dan China harus berkomitmen untuk mewujudkan Code of Conduct (CoC) yang memajukan paradigma inklusivitas dan menghormati hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982, serta mendorong tradisi dialog dan kolaborasi. Indonesia harus kembali menjadi pemimpin yang dominan dalam ASEAN dan memimpin ASEAN dalam menyelesaikan isu Laut China Selatan. Selain itu, pihak-pihak yang terkait harus menahan diri dan tidak melakukan kegiatan yang dapat merusak trust dan confidence building di Laut China Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H