Yang dimaksud dengan nomokrasi Islam ialah bahwa konsep dalam sebuah negara tersebut lebih berdasarkan kepada hukum-hukum yang mana berasal dari Allah, yakni berupa kitab-kitabnya, seperti dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah.
Jadi apabila dikaitkan antara makna dari nomokrasi diatas dengan Islam dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang dimiliki tersebut berlandaskan pada norma-norma atau hukum-hukum Islam atau yang dikenal dengan supremasi syariah.
Majid Khadduri mengutip sebuah rumusan daripada nomokrasi dari The Oxford Dictionary yang menyatakan bahwa: Nomokrasi itu merupakan sebuah sistem pemerintahan yang berdasarkan kepada kode-kode hukum: suatu rule of law dalam masyarakat. Jika dilihat rumusan tersebut masih bersifat umum, yang mana apabila rumusan dari Khadduri ini lebih disudutkan ke konsep negara Islam akan berubah menjadi berdasarkan kepada hukum-hukum Islam (Syariat) atau yang dikatakan rule of Islamic law.[1]
Teokrasi merupakan sebuah negara, yang diatur atau diperintah oleh tuhan-tuhan ataupun dewa-dewa yang menjadi raja dan penguasanya.[2] Maka daripada itu penyebutan teokrasi sebagai suatu konsep negara dalam Islam dikatakan salah atau tidak benar. Bahkan secara sejarah konsep teokrasi ini tidak dikenal dan juga tidak pernah digunakan dalam sistem pemerintahan Islam.
Menurut Ibnu Khaldun, dalam sebuah nomokrasi itu terdapat pembagian-pembagiannya sebagai berikut:
a. Siyasah diniyah yang diterjemahkan menjadi nomokrasi Islam
Kalau dalam nomokrasi Islam itu, hukum syariah ataupun hukum yang diciptakan oleh manusia, keduanya sama-sama bertujuan untuk negara.[3]
b. Siyasah 'aqliyah yang diterjemahkan menjadi nomokrasi sekuler
Kalau dalam nomokrasi sekuler manusia itu menggunakan hukum hanya sebagai hasil pemikiran dari mereka.
Kepala negara didalam nomokrasi Islam tersebut harus sesuai dengan aturan-aturan daripada yang diturunkan oleh Allah melalui Rasulullah SAW saat melaksanakan pemerintahannya yang tentunya tidak dibenarkan untuk melanggar perintah dari Allah SWT tersebut.[4] Dikatakan bahwa dalam nomokrasi Islam itu berlandaskan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tetapi, apabila ada suatu permasalahan yang tidak ada dijelaskan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sehingga tidak mendapatkan jawaban atau solusinya, maka diberikan kebebasan untuk melakukan ijtihad.
Yang terpenting dalam melakukan suatu ijtihad untuk menemukan solusi yang tidak ada pada Al-Qur'an dan As-Sunnah itu ialah diharuskan sejalan dan sesuai dengan prinsip-prinsip pada kemaslahatan manusia itu sendiri serta tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat yang sudah ada. Dengan diberinya kebebasan untuk melakukan ijtihad ini tentunya tidak mudah. Harus ada para ahli-ahli yang memiliki keilmuwan yang mana mampu mengarahkan proses ijtihad ini dapat berjalan dengan terarah sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat.[5]