Pemerintah di seluruh dunia sudah saatnya merumuskan arti perdamaian dunia dan cara yang tepat didalam mencapai perdamaian yang sebenarnya. Perdamaian yang selama ini ingin dicapai, tidak pernah berujung karena dicapai dengan cara-cara yang salah. Ratusan juta dolar yang dikeluarkan untuk pembiayaan militer setiap tahunnya oleh setiap negara di dunia, hanya sebuah pemborosan dan tidak mencapai subtansi yang ada. Serangan atau invasi yang dengan alibi perdamian, hanya melahirkan kebencian baru dan mempersubur terorisme didalam melahirkan permusuhan baru. Amerika Serikat telah membuktikannya di Irak maupun Afganistan. Seperti pepatah orang bijak, bahwa perdamaian tidak bisa diciptakan melalui darah.
Kerapuhan pangan dunia yang disebabkan gagal panen diseluruh duniamaupun meningkatnya permintaan berdampak pada meroketnya harga pangan dunia. Untuk saat ini dan masa depan, perdamian dunia akan bermuara pada penyediaan pangan dan stabilitas harga pangan. Diperkirakan akan bertumbangan pemerintahan dunia, yang disebabkan pemerintah tersebut tidak mampu memberikan keamanan pangan maupun harga yang stabil. Lebih jauh lagi, bisa saja akibat akut dari masalah pangan menyebabkan suatu negara melakukan invasike negara lain guna mencukupi pangan.
Jatuhnya rezim Ben Ali di Tunisia, tuntutan mundurnya Hosni Mubarak di Mesir maupun gelagat yang mengarah tuntutan kepada negara seperti Yaman dan Alzajair merupakan salah satu bentuk kegagalan tirani negara tersebut didalam menyediakan pangan bagi masyarakatnya. Memang faktor politik lainnya seperti kebebasan berpendapat dan korupsi yang terjadi pun merupakan alasan terjadinya gejolak. Akan tetapi, alasan utama yang mengakar adalah harga pangan yang meroket, sehingga mencekik seluruh masyarakat. Mesir yang sedang bergejolak, tidak mampu menahan inflasi 13,4 persen yang disebabkan oleh melonjaknya pangan. Hal serupa dirasakan di negara-negara Jazirah lainya, sehingga beberapa ahli memprediksikan krisis politik akan menyebar kenegara lain di jazirah arab.
Pendapat bahwa perdamaian yang bermuara pada kondisi pangan dunia tidaklah mengada-ada.Ilustrasi yang menarik disampaikan oleh Lestern Brown (presiden dari Earth Policy Institut) dalam artikel yang berjudul The Great Food Crisis Of 2011, bahwa dunia mendapatkan beban yang berat didalam memenuhi pangan dunia. Sejak tahun 1970, setiap tahunnya dunia menambah jumlah penduduk sebesar 80 juta penduduk atau setiap malamnya akan bertambah 219.000 perut yang harus diberi makan. Coba kita bayangkan apabila dunia kesulitan memenuhi permintaan tersebut. Kerusuhan dan aksi masyarakat sulit dihindari. Akibatnya adalah perdamaian dunia yang akan semakin sulit tercapai.
Indonesia dan revitalisasi pertanian
Indonesia merupakan negara yang memiliki pengalaman panjang yang berhubungan dengan pangan. Telah tercatat dua rezim yang tumbang akibat pangan. Soekarno yang pernah menyampaikan bahwa pertanian (pangan) merupakan hidup matinya bangsa, tumbang akibat inflasi hingga 300 persen yang disebabkan oleh kelangkaan pangan. Rezim selanjutnya pun tumbang pada tahun 1998, saat pemerintahan Soeharto kewalahan menghadapi inflasi yang dicirikan oleh harga pangan yang melambung. Belajar dari pengalaman, sering kali pemerintah yang dipimpin oleh SBY pun melakukan rapat terbatas beserta kabinetnya hanya disebabkan harga kedelai yang melambung.
Revitaslisasi pertanian merupakan salah satu program pemerintah didalam menghadapi isu global tersebut. Revitalisasi pertanian diartikan menempatkan kembali pertanian dalam arti luas sebagai objek vital pembangunan. Kebijakan diarahkan kepada peningkatan pendapatan petani, nilai tambah, daya saing, ketahanan pangan, diversifikasi pangan dan penguatan kelembagaan penunjang. Apabila kebijakan tersebut mampu dilaksanakan secara konsisten, maka niscaya bahwa ketahanan pangan mampu dicapai.
Pemerintah kadang selalu “masuk angin” pada pelaksanaan revitalisasi pertanian, karena godaan sesaat dan kepanikan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang kadang kontradiktif dengan revitalisasi pertanian. Terlalu banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Termasuk pangan yang dianggap sebagai komoditas politik.
Salah satu contoh kebijakan yang kontardiktif adalah pelaksanaan Bea Masuk nol Rupiah terhadap Beras,tepung dan kedelai. Kebijakan tersebut terlalu terburu-buru, hal tersebut terbukti dari dampak yang ada. Dampak tersebut adalah harga yang merosot pada GKP (Gabah kering Panen) dari Rp 3.200/kg menjadi Rp 2.800/kg dan tentunya memukul para petani sedangkan harga ditingkat konsumen tidak terlalu berpengaruh. Tentunnya hal tersebut kontadiktif dengan kebijakan revitalisasi pertanian yang salah satu sasarannya adalah meningkatkan pendapatan petani.
Sudah saatnya Pemerintah merumuskan kebijakan pertanian jangka panjang yang konsisten agar tercapainya ketahanan pangan. Ketergantungan pada satu komoditas akan menjadi boomerang, dan solusi dengan kebijakan impor bagaikan memnum racun secara perlahan. Diversifikasi pangan harga mati didalam mencapai ketahanan pangan, mengingat kearifan lokal memiliki potensi luar biasa. Singkong, ubi jalar, garut, dan sagu mungkin mampu menjawab perdamaian di Indonesia. Pemerintah hanya perlu memberi perhatian yang lebih pada penelitian pangan alternatif, edukasi pada masyarakat, dan akses agar mudah pangan alternatif diperoleh masyarakat. Bila pemerintah tidak mampu memenuhi pangan dalam jangka panjang, kerusuhan dan rusaknya perdamaian di Indonesia tinggal menunggu waktu saja.
Rendi Seftian
Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H