Lihat ke Halaman Asli

Seperti Helen Keller

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash



Riska tersenyum memandang anak-anak yang sedang bermain di halaman. Ia tahu kalau itu mungkin adalah senyuman terakhirnya di rumah singgah ini sebelum ia harus kembali ke Jakarta untuk berobat.

Sudah sejak 6 bulan yang lalu ia di diagnosis oleh dokter menderita kanker perut. Ia selalu merasa nyeri di perutnya. Parahnya lagi, menurut dokter, kanker itu sudah berdiam di tubuhnya sejak lama, dan sekarang sudah hampir mencapai stadium akhir.

Anak-anak itu sesekali melambaikan tangannya ke arah Riska, tahu bahwa Riska memperhatikan mereka sejak tadi. Sungguh berat tersenyum seperti ini sementara tubuh ini merasakan sakit yang amat sangat.

Sesaat Riska memandang ke arah tanah berbukit di dekat pohon rambutan. Ada seorang gadis kecil yang sedang duduk sendiri sambil memandang sebuah gambar di kertas. Riska kenal gadis itu. Namanya Kana. Umurnya 7 tahun. Sejak tinggal di sini sekitar 1 tahun yang lalu, ia tidak pernah bicara. Ia seorang gadis bisu yang suka menyendiri.

Diam-diam Riska mendekatinya. Ia jongkok agar tubuhnya bisa seukuran gadis itu.

“Apa kau tidak ingin bermain dengan yang lain?” tanya Riska. Kana menggeleng.digerakkannya tangannya, berusaha untuk bicara dengan menggunakan bahasa isyarat. Hanya dengan inilah Riska bisa mengerti perkataannya. “Aku lemah dan bisu” jawabnya dengan menggunakan bahasa isyarat.

“Memangnya kenapa? Apa mereka tidak mau berteman denganmu?” tanya Riska lagi. Kana kembali menggeleng. Ia memainkan tangannya lagi.

Aku malu bermain bersama mereka.”

“Kau malu karena kau bisu?” Riska lagi-lagi bertanya dengan Kana membuat Kana agak sedikit malas menjawab pertanyaan Riska. Ia hanya mengangguk. Riska menghela napasnya.

“Kana, kau tahu Helen Keller, tidak?” Kana memandang Riska. “Helen, siapa?”

“Helen Keller, dia adalah seorang wanita yang sejak umur 19 bulan juga sudah buta sepertimu. Bukan hanya itu saja, tapi ia juga buta dan tuli. Ia sudah hidup dalam kegelapan dan kesunyian seumur hidupnya. Tapi ia tidak pernah putus asa. Ia mencoba berteman dengan anak sebayanya. Teman-temannya tak ada yang meremehkannya hanya karena ia buta, tuli dan bisu. Ia juga belajar keras agar bisa bicara. Dan meskipun ia buta, tapi ia pandai membaca. Bahkan membaca buku asing dia sudah bisa.”

“Bagaimana ia membaca sedangkan ia buta?” tanya Kana penasaran.

“Tentu saja ia membaca dengan menggunakan huruf Braille. Kau tahu huruf Braille? Itu adalah huruf timbul yang digunakan tunanetra untuk membaca. “

“Jadi, Helen terkenal hanya karena ia pintar membaca huruf Braille?”tanya Kana lagi. Ia sepertinya mulai tertarik dengan cerita Riska.

“Hahaha…, yang membuat Helen terkenal tentu saja bukan karena ia pintar membaca. Ia dikenal karena perjuangannya dalam membantu orang yang juga cacat sepertinya. Cita-citanya yang paling utama adalah agar masyarakat mau menghargai orang-orang cacat. Ia berkeliling dunia, berceramah untuk meminta sumbangan bagi orang-orang cacat. Meskipun ia banyak menghadapi masalah dan kehilangan orang-orang yang dia cintai, dia tidak cepat menyerah.” Riska memandang Kana sebentar. Sepertinya anak itu ingin mendengarkan cerita itu berlanjut.

“Apa ia berhasil?”

“Tentu saja! Karena perjuangannya belajar dan membantu orang-orang yang cacat, ia menjadi orang yang diakui dunia. Ia adalah wanita cacat pertama yang berhasil lulus dari universitas terkenal Harvard, ia juga seorang pelopor dibuatnya undang-undang untuk orang cacat!”

Sehebat itukah Helen?” Riska mengangguk.

“Dia seorang wanita inspiratif yang benar-benar hebat” lanjut Riska. Kali ini Riska kembali duduk di depan Kana sambil melipat lututnya agar menahan badannya.

“Karena itu, kau harus meniru Helen. Jangan pernah malu bergaul, kau juga tidak boleh redah diri hanya karena kau bisu. Kita sebagai wanita, jangan pernah menyerah hanya karena keadaan. Ada saatnya kita rapuh, dan ada saatnya kita harus kuat! Kau mengerti?” ucap Riska. Kana memandangnya, dan ia mengangguk. Riska tersenyum diiringi dengan senyuman Kana. Ia meraih tangan anak itu agar mengikutinya untuk mendekat kepada anak-anak lain yang sedang bermain. Mereka berjalan berdampingan seperti kakak dan adik.

Tiba-tiba Riska tersentak. Perutnya terasa perih sekali. Ia hanya diam di tempat sambil memegangi perutnya. Rasa sakit itu benar-benar tidak bisa ia tahan, membuat matanya berkunang-kunang. Kana menggoyangkan tangan Riska yang menggenggamnya erat. Ia heran dengan wajah Riska yang tiba-tiba memucat.Riska terjatuh begitu saja di tanah. Setelah itu tak terdengar suara sedikit pun dari orang-orang di sekitarnya.

***

“Kakak, aku berlatih keras sejak hari di mana kakak menasehatiku. Kau benar, kita pasti bisa kalau kita berusaha. Aku pasti akan menjadi seperti orang yang kakak minta. Aku akan menjadi seperti Helen Keller.”

Ia berbicara sendiri di depan sebuah pembaringan abadi. Ditatapnya lekat-lekat nama yang tertulis di nisan itu. Kusam dan tidak jelas hurufnya. Namun ia mengerti seperti apa orang yang tertulis di nisan itu. Baik hati dan lemah lembut. Orang yang telah mengubah kehidupannya dari yang tidak punya harapan dan teman, menjadi orang yang berguna dan pintar. Kana memandang nisan Riska dengan tatapan sedih. Dicobanya bicara dengan orang yang berbaring di dalamnya. Tentu saja, kali ini bukan dengan bahasa isyarat.

“Kakak, kau lupa akan suatu hal yang belum kau ucapkan padaku. Wanita inspiratif tidak hanya harus lulus dari universitas terkenal, tidak hanya sebagai pelopor, tidak hanya seseorang yang harus diakui karena kehebatannya dan perjuangannya. Tapi, wanita inspiratif adalah wanita yang mampu mengubah seseorang menjadi lebih baik. Seperti kau yang telah mengubahku.” Air mata Kana menetes. Diingatnya hari itu.

Riska yang sekarat segera dibawa berobat ke Jakarta. Tapi sayangnya, seminggu setelah itu, ia tak berhasil diselamatkan. Ia meninggal pada operasinya yang ke-2. Seluruh orang yang mengenalnya merasa sedih. Terutama Kana.

Di hari setelah kematian Riska, Kana bertekad bulat untuk belajar bicara. Ia berhasil bicara di saat umurnya beranjak 10 tahun. Ia belajar keras agar bisa masuk universitas. Ia menjadi orang yang lebih baik sekarang. Itu semua, karena Riska. Bukan! Tapi karena Helen Keller yang diceritakan Riska.

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline