Berbicara merupakan aktivitas yang memang menjadi tugas lidah untuk melakukannya, lidah mempunyai kosa kata ynag bnyak dan kaya, punya diksi ynag lengkap, serta mempunyai estetika yang tidak dimiliki oleh organ tubuh lain. Maka, lidah dapat menjadi penghias bagi manusia sehingga banyak orang bertekuk lutut akibat pembicaraan yang luar biasa seseorang. Banyak orang jatuh dalam pelukan seseorang akibat sang lidah ini mengeluarkan panah pembius yang cukup jitu yang dapat melelhkan orang yang keras nalurinya. Sang lidah tadi juga dapat menjadi bisa berbahaya dan penuh racun yang mematikan siapa saja.
Dari sisi estetika, tentu semua orang tahu bahwa wilayah estetika atau keindahan merupakan wilayah yang seharusnya merdeka dari berbagai sekat moral apa pun. Dalam lokasi estetika, tentu tidak ada batasan yang bersifat yuridis apakah hal itu halal atau tidak, tetapi wilayah estetika sebenarnya melampaui etika dan norma. Demikian halnya dengan lidah manusia, ia tidak sekedar sebagai alat indra ynag mempunyai tugas sebagai penghubung agar orang lain tahu tentang apa yang ada dalam hatinya dengan bantuan kosa kata yang tersedia. Tetapi, karena wilayah estetika terlalu luas maka kadang kala sesuatu yang bernialai estetik itu melampaui ranah etika sehingga ia terkesan bertentangan dengan ajaran yang benar.
Dengan kata lain, sering kita menemukan keruwetan tentang batas etika seseorang dalammenggunakan lidahnya. Wilayah estetika mempunyai kedudukan yang tinggi dalam struktur pengetahuan kita, sementara wilayah etika adalah wilayah yang mengatur dataran operasionalnya yang sifatnya standar menurut kepatutan dan kepantasan sosial. Mari kita menyederhanakan pembahasan ini pada ranah pergerakan lidah, baik yang berfungsi normatif seperti berkomunikasi dan fungsi spiritual untuk melakukan dzikir dan membaca mantra dan doa, sekaligus lidah dalam konteks seni atau estetika.
Sekalipun tradisi berbicara, sebagaimana sejarah berbicara atau ngomong dalam bahasa yanag populer, orang memaknai berbicara sama dengan retorika, yang pada intinya adalah seni bagimana orang berbicara. Dalam pemahaman yang lazim, retorika yang makna aslinya adalah seni berbicara disederhanakan menjadi seni berpidato. Makna retorika mengalami penyempitan sehingga retorika seakan sama dengan ilmu bagaimana seseorang bisa berpidato di depan orang banyak.
Untuk itulah, dalam memahami setiapaktivitas menggerakkan lisan atau lidah, sebenarnya kita ditunjukkan kepada tiga penampilan sekaligus: Lidah melakukan aktivitas komunikasi yang bersifat normatif. Lidah melakukan kegiatan spiritual dalam bentuk yang beragam, seperti membaca kitab suci, berdzikir, dan membaca mantra. Lidah melakukan aktivitas ektetis, dimana ia mengungkapkan berbagai hal dan pihak lain merasakan adanya keindahan dari apa yang diucapkannya itu.
Sekarang mari kita lihat, apakah dalam keseharian kita menggerakkan lidah hanya sebatas aktivitas normatif, spiritual, dan estetik?. Mana yang paling dominan dalam penggunaan lidah itu?. Jika kita telusuri sebenarnya aktivitas komunikasi juga bagian dari aktivitas estetik yang mengandung nilai seni. Karena, dalam setiap pembicaraan atau bercakap-cakap pasti ada unsur mengajak atau diajak, menjebak atau dijebak, dirayu atau merayu, menjadi pendengar atau pembicara, dan menerima pembicaraan atau menolak?.
Oleh sebab itu, gerakan lidah yang mengucapkan berbagai argument dengan berbagai kata-kata dan bahasa, sebenarnya menunjukkan cara kerja ketiga aktivitas lidah secara bersamaan, baik estetik, normatif, maupun spiritual sehingga yang dituliskan dalam buku “misteri lidah manusia” karangan Nurul Mubin berkesimpulan bahwatidak selamanya setiap sesuatu yang berdimensi estetik itu bertentangan dengan syariat sebagaimana seni diharamkan karena dianggap bertentangan dengan syariat islam.
Maka dari itu, yang perlu diuraikan disini adalah bagaimana seseorang mampu menyinergikan kemampuan lidah itu untuk bergerak secara indah, tetapi juga tidak melampaui kerangka yang bersifat syar’i. Berikut ini uraian tentang bagaimana semestinya lidah itu digunakan.
Berbicara lah seperlunya menurut kebutuhan. Jangan biarkan lidah anda mempunyai hobi untuk terus berbicara. Karena, tidak semua ppembicaraan lidah itu mengandung hikmah, tetapi sesekali juga mengandung fitnah. Maka, sebaiknya berbicaralah menurut kebutuhan bukan menurut selera. Mungkin kita sesekali pernah melihat orang yang mempunyai hobi berbicara, perhatikan dan amatilah pasti apa yang dibicarakannya itu tidak mengandung hikmah, akan tetapi sesekali juga mengandung ghibah, menggunjing dan bahkan sesekali menfitnah. Kita juga perlu memperhatikan orang yang tidak suka berbicara, kadang apa yang dibicarakan banyak mengandung hikmah.
Orang yang banyak bicara akan mudah terlihat ketololannya, sebaiknya orang yang sedikit bicaratentu akan tertutup aib dan kebodohannya. Untuk itu, jika anda ingin terlihat sebagai seorang yang tolol maka banyak-banyaklah berbicara. Karena, hobi bicara menuntut seseorang untuk melakukan apa yang ia bicarakan. Selain itu, orang banyak berbicara dan suka bicara tanpa mengetahui secara pasti kebenarannya maka akan mendatangkan dosa bagi dirinya sendiri. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya jika seseorang hamba berbicara dengan kalimat yang belum jelas baginya (jelas benar dan salahnya) maka ia akan tergelincir ke dalam neraka sejauh jarak antara timur dan barat.”(H.R. Bukhari).