Baru-baru ini terungkap skandal di mana asesor atau evaluator di beberapa universitas meloloskan profesor yang tidak memenuhi syarat, sehingga mengejutkan publik. Kejadian ini ibarat kegelapan yang menjadi terang benderang dalam sistem pendidikan di Indonesia, yang menurunkan kredibilitas profesi dosen dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pengangkatannya.
Asesor yang menilai kesesuaian guru besar memegang peranan penting dalam menjaga mutu pendidikan tinggi. Tindakan mereka yang mengizinkan calon yang tidak memenuhi syarat untuk lolos merupakan pelanggaran berat terhadap amanah dan sumpah mereka, dan tidak hanya dapat merusak nilai-nilai akademis tetapi juga menghambat kemajuan pendidikan sebuah negara.
Motivasi di balik perilaku asesor yang tidak bertanggung jawab ini perlu diselidiki secara menyeluruh. Apakah karena campur tangan politik, nepotisme, atau insentif finansial? Apa pun alasannya, perilaku ini tidak adil dan harus dituntut dengan tegas.
Kejadian ini menjadi pengingat bahwa masih ada celah dalam sistem pengangkatan guru besar yang bisa dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Perlu adanya penguatan terhadap sistem dengan langkah-langkah berikut:
- Memperketat seleksi asesor: Proses seleksi asesor harus lebih transparan dan akuntabel, memastikan hanya individu berintegritas tinggi dan berkompeten yang terpilih.
- Meningkatkan pengawasan: Perlu dilakukan pengawasan ketat terhadap proses penilaian calon guru besar, termasuk melalui audit berkala dan mekanisme pelaporan yang mudah diakses.
- Menerapkan sanksi tegas: Sanksi tegas harus dijatuhkan kepada asesor yang terbukti melakukan pelanggaran, termasuk pencabutan sertifikat dan sanksi hukum pidana jika diperlukan.
Jika kejadian seperti ini terabaikan, tentu mendatangkan dampak yang buruk. Kepercayaan dan marwah dari dunia akademik menjadi hilang, untuk itu perlu adanya inisiasi untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan tinggi yang merupakan tantangan bersama.
Hal ini bisa melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, universitas, dan akademisi, harus bekerja sama untuk memperbaiki sistem pengangkatan profesor dan memastikan bahwa hanya individu yang benar-benar layak dan berdedikasi tinggi yang menerima gelar bergengsi ini, jangan sampai individu atau orang yang menerima gelar profesor ini tanpa melalui persyaratan yang sebenarnya.
Adapun seperti beberapa kejadian baru-baru ini yakni banyak sekali politisi yang mendadak jadi profesor, gelar profesor seolah tidak ada harga dirinya, dan juga siapa saja mudah untuk mencapai gelar tersebut tanpa melalui tempaan, dan tuntutan sebagaimana menjadi dosen pada umumnya.
Gelar profesor tidak lagi menjadi hal istimewa jika praktik-praktik seperti ini dipertahankan. Siapapun yang punya koneksi, punya kepentingan maka mudah mendapatkannya. Hal ini berbanding terbalik dengan rekan-rekan dosen yang jujur, berproses, mengikuti aturan, justru dihadapkan dengan rintangan yang tiada habisnya. Apalagi dengan peraturan terbaru bahwa tidak ada akselerasi yang bisa mempercepat seorang dosen untuk mencapai gelar profesor seperti dahulu kala.
Hal ini tentu menyakiti hati para dosen yang secara normal ingin menjadi profesor atau guru besar. Seorang profesor atau guru besar seharusnya berasal dari seseorang yang memiliki kompetensi keilmuan tertentu, memiliki pengaruh dalam bidang keilmuannya, memiliki track record yang baik dalam menjadi akademisi, dan yang paling penting adalah buah pikiran dari seorang profesor seharusnya menjadi manfaat bagi banyak orang.
Mirisnya orang yang mencapai gelar profesor dengan cara curang dan instan ini tidak memiliki rekam jejak sebagai akademisi yang baik, dan patut dipertanyakan kompetensi pada bidang keilmuannya, tidak ada output dalam bidang keilmuannya yang bermanfaat. Jangan ditanya soal penelitian, pengabdian masyarakat, dan pengajaran, saya yakin semua itu tidak ada track record atau portofolio yang menunjang.