Dalam dunia perfilman, tentu memiliki regulasi tersendiri dalam proses produksi hingga penayangannya. Regulasi atau etik perfilman yang telah terlampir di Undang Undang seharusnya ditaati oleh production house yang membawahi film film baik Indonesia maupun luar negri. Dari sekian banyak film yang telah diproduksi, tak sedikit film yang tidak dapat ditayangkan di masyarakat karena beberapa faktor. Salah satu contohnya seperti film dokumenter yang berjudul The Look of Silence (2014).
Regulasi Perfilman
Regulasi merupakan hukum formal yang berupa peraturan perundang-undangan yang wujudnya berupa keputusan tertulis serta mengikat secara umum (Astuti, 2022, h. 49). Kemudian terkait adanya pengawasan film yang ada di Indonesia mulai diberlakukan pada tahun 1948 lalu. Pada tahun 2019, Peraturan Kemendikbud menyatakan terkait kebijakan perfilman bahwa film boleh dipublikasikan jika memiliki Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). Jika terdapat film yang melanggar serta terbukti membuat keresahan, gangguan keamanan, ketertiban, serta ketentraman masyarakat, film tersebut akan ditarik dari edaran.
LSF atau Lembaga Lulus Sensor telah menetaplan empat elemen yang menjadi kelayakan tayang sebuah film melalui isinya, seperti:
- Penilaian sisi keagamaan
- Penilaian sisi ideologi dan politik
- Penilaian sisi sosial budaya masyarakat
- Penilaian dari sisi ketertiban umum
The Look of Silence (2014)
Film The Look of Silence atau Senyap (2014) mengambil tentang sejarah kelam pada peristiwa kejam G30S PKI. Film ini menceritakan tentang sebuah keluarga yang mengetahui bahwa salah satu anggota keluarganya menjadi korban pembunuhan G30S PKI. Dikarenakan rasa tidak terima kakaknya menjadi korban dari peristiwa tersebut, adik korban yang bernama Adi mencari tahu siapa yang menjadi dalang pembunuhan tersebut melalui orang-orang yang terlibat dalam peristiwa G30SPKI.
Film yang sempat didaftarkan sebagai nominasi Academy Award pada tahun 2016 lalu dalam kategori film dokumenter panjang terbaik ini, ternyata memiliki beberapa hal yang menjadikan film tersebut sebagai film yang kontroversial di masyarakat.
Film The Look of Silence (2014) ini menjadi salah satu contoh film yang mengalami penolakan untuk dipertontonkan pada khalayak umum karena melanggar Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman pasal 6 serta Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Lembaga Sensor Film pasal 29 terkait pedoman penyensoran.
Film ini ternyata disutradarai oleh sutradara asing yang proses produksinya tidak sesuai dengan asas, tujuan hingga fungsi dari perfilman yang telah ada dalam UU Film. Kemudian, film bergenre dokumenter ini juga diragukan keaslian dari aspek jurnalistiknya karena tidak adanya informasi terkait latar belakang dan konteks sosialnya. Komunikasi yang ada dalam film The Looks of Silence ini juga cenderung membuat masyarakat memihak PKI serta terdapat unsur komunisme di dalamnya.
Adanya hal tersebut tentunya membuat ketegangan dalam relasi masyarakat serta meruntuhkan ketahanan nasional Indonesia. Selain itu, di beberapa adegan dalam film ini juga mengandung anakronisme yang membuat film tersebut tak dapat menjadi konsumsi publik. Terakhir, film ini banyak mengandung adegan kejahatan dan berdarah yang menyebabkan Kementerian Pendidikan tidak setuju jika film ini ditayangkan di publik karena cenderung memberikan contoh-contoh tidak baik dalam kehidupan.
Dengan adanya sekian banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk kelangsungan penayangan film The Look of Silence (2014) ini, Lembaga Sensor Film (LSF) memutuskan beri surat penolakan terkait penayangan film secara umum dibioskop, namun film ini masih dapat ditonton pada kalangan saja.
Dilansir dari suara.com, film ini mendapatkan rating 96% dari 136 reviewers dan mendapatkan rating 8.3/10 dari total 11.520 voters di situs IMDb. Kemudian, film ini juga berhasil meraih penghargaan di sejumlah ajang penghargaan film, seperti Robert Award, FIPRESCI Award, dan Satellite Award.