Artikel ini bukan untuk memfitnah para kasir supermarket.
Pernahkah Anda belanja supermarket berinisial I, A, H, dan atau G maupun supermarket-supermarket lain serupa dan mendapati bahwa transaksi Anda mencapai angka yang tidak bulat? Misalnya Rp 19.800. Dan lalu karena keterburuan Anda, enggan menyimpan uang koin, atau malas mencari koin, Anda akhirnya merogohkan selembar hijau Anda bertuliskan 20.000 dan kemudian memberikannya ke kasir.
BING!
Di saat yang bersamaan si kasir menawarkan, "Bagaimana kalau 200 peraknya untuk disumbangkan saja, Pak/Bu?" Lalu karena Anda orang yang baik hati dan suka menolong (padahal malas menunggu dan tidak enak untuk mengatakan tidak), Anda mengiyakan permintaan si kasir. Dan 200 perak Anda pun Anda sumbangkan dengan perasaan dalam hati bahwa Anda baru saja mendapatkan pahala.
200 perak bukan nominal yang besar bagi Anda, tidak juga bagi si kasir. Namun, 200 perak adalah nominal yang besar untuk dikali satu juta pembeli selama tiga puluh hari.
Sebuah perusahaan besar seperti nama-nama yang saya sebutkan di atas memiliki program CSR berupa penyumbangan uang kepada mereka yang tidak mampu. Apakah menyumbangkan sebagian uang kepada mereka yang tidak mampu merupakan hal yang salah? Tentu saja tidak. Yang salah adalah, perusahaan seharusnya membiayai program CSR mereka dengan keuntungan bersih yang didapatkan oleh perusahaan, bukan ditarik dari konsumen.
Jadi, apabila Anda berbelanja dan mendapati si kasir meminta Anda untuk menyumbangkan barangkali satu dua perak dari uang kembalian Anda, jangan berikan. Biarkan si kasir melihat kepergian Anda sambil memasang muka dengan pesan, "Pelit."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H