Lihat ke Halaman Asli

Segelas Susu Cokelat atau Kopi Hitam Pekat 1?

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini, secara tidak sengaja, saya tidak di berikan keberuntungan momentum meminum kopi. Tapi, tak apalah, saya memilih minuman yang satu gen dalam hal aroma. Susu panas rasa coklat. Sedikit menggelikan bagi diri saya sendiri, karena jadi ingat ketika sekolah dasar dulu, saya dulu sangat tidak menyukai meminum susu instant. Ada kebiasaan unik sekaligus mungkin aneh bagi kebanyakan orang, saya selalu punya “ritual” khas ketika sebelum meminum sesuatu. Menyeruput kopi, tidak akan istimewa sebelum saya menikmati hirupan aromanya terlebih dahulu. Dan saking bablasnya ritual saya ini, makanan juga sangat sering saya perlakukan persis seperti ritual kopi tersebut. Saya jadi sering bertanya-tanya sendiri dalam semesta pikiran dan khayalan saya, jangan-jangan saya “kelainan jiwa” kasus penyakit khusus: aroma. Tapi, dongan, jangan protes atau ikutan setuju bahwa itu gejala “kelainan jiwa” yang memang belum parah, tapi patut di kritisi. Mari kita bersama ingat, bayangkan, telusuri, ejawantahkan dalam fisik dunia ini, apakah ada kejadian yang mirip dengan tingkah polah “unik” saya itu ? coba mulai detik ini bersama kita lakukan “meditasi” sederhana daya ungkit “imajinasi”… ingat, ingat, dan ingat terus. ( kok seperti tokoh terkenal hipnotis ya? ). Taraaaaa…! Mari kita sama-sama menyamakan ingatan yang mirip dengan ritual saya tadi. Pernahkah anda melihat ketika orang di sumpah di pengadilan, sebuah kitab suci di naikkan di atas kepalanya ? atau ini yang sangat familiar mungkin. Coba anda ingat, kebiasaan orang ketika menikah, sebuah cincin akan di sematkan di jari manis ? atau yang lebih sangat biasa lagi. Ketika kita makan sesuatu, apalagi itu makan siang, makan malam, kecendrungan kita pasti berdoa ? sebenarnya sangat menggelikan juga bagi saya, melihat kitab suci di jadikan sebuah pedoman untuk “mengikat” kebenaran dari orang yang di sumpah agar berucap jujur. Sungguh menggemaskan juga, saya tuturkan, sebuah cincin di jadikan pertanda yang katanya “ kesetiaan”. Dan yang terakhir, agak sedikit terharu juga kita berdoa sebelum menikmati makanan yang kita ingin makan, padahal mungkin kalau tidak enak, akan kita buang atau jadi makanan kucing. Atau yang sering jadi pengamatan saya, orang makan sangat sering menyisakan makanan, apalagi itu di restoran ternama dan bersama gawean. Semua itu menurut saya adalah sebuah ritual. Apakah ritual itu berfungsi mengikat yang katanya batin bagi pemamfaatnya ? saya tidak tahu. Apakah itu juga bisa melegakan perasaan hati ? kalau anda mengatakan ritual hirupan aroma saya, jawabannya : YA.

Saya sedikit tersenyum ketika seorang pejabat publik kita yang berjenis kelamin wanita, yang akhir-akhir ini menjadi sorotan karena kesaksian kebohongannya. Menurut pengamatan beberapa komentator, dan karena memang dia telah berstatus tersangka dan bukti yang telah nyata, patutlah, mungkin ia di tuturkan pembohong. Tapi apa iya, ia sebodoh itu ? saya kira, dan lagi-lagi gara-gara saya memperhatikan yang memberikan statement adalah dosen pembimbing tesis, ia di tuturkan : Cerdas. Apakah mungkin karena kecerdasan seseorang, tekhnik jujurnya pun di cerdaskan ? karena memang, kesaksiannya tidak ada berdampak langsung dengan kasus, yang di mana ia menjadi tersangka. Banyak orang berspekulasi ia mengamankan posisi seseorang. Benarkah demikian ? Mari kita berspekulasi tentang perihal mengamankan posisi tersebut. Karena kecerdasan sangat mudah di tangkap esensinya daripada sebuah hal di namakan jujur. Kita lulus dengan cumlaude biasanya di identikkan dengan cerdas.  Jangan-jangan ia punya aib yang disembunyikan? Jangan-jangan perihal meninggalnya suaminya yang dadakan, di ketahui oleh seseorang, karena memang agak sedikit mencurigakan?. Atau jangan-jangan ia ingin menyembunyikan sesuatu hal yang lebih besar, dan menganggap itu hal yang lebih mengamankan citranya atau bisa jadi juga masa tahanannya. Sekali lagi kejujuran itu seperti hal yang gaib—misterius, padahal sesederhana 5 hurufnya. Hanya saja memang cara si jujur mengajarkan kitapun kecendrungannya pastilah unik. Mengendap-endap seperti bayangan malam. Dan  sebenarnya ingin menunjukkan kepada kita, jujur itu lebih baik daripada berdusta, walaupun terkesan sikap terakhir terkesan lihai dan cerdas. Saya jadi bertanya-tanya, mungkinkah ia akan mengajarkan kejujuran kepada anaknya, kalau ternyata nantinya ia terbukti berbohong dan bersalah ? Apalagi yang ia pikul, permasalahan besar yang menghebohkan satu pemerintahan. Padahal yang menurut saya esensi, bukan kasusnya, tapi uang hasil korupsi tersebut bisa di salurkan kepada pembangunan yang berhubungan dengan sosial masyarakat yang lagi susah. Ah, terlalu sedih untuk di ungkapkan. Sudah banyak contoh nyata dalam sejarah Negara kita, pejabat yang melakukannya pasti merasakan akibat yang tidak senonoh lagi. Jadi kembali ke Ritual saya tadi, memang hanya sebagai tanda bahwa menyukai minuman tersebut. Ibaratnya ketika ingin mengenal seorang sahabat, kita mencoba meng”aromai” caranya bersikap dan bertutur.

Minuman yang hangat dan nikmat biasanya beraroma sedap. Dan yang pastinya 30 meter dari area kopi susu coklat atau kopi akan terkena dampak efek aroma minuman tersebut. Rasanya, kok mirip dengan perbuatan baik pastinya akan berakibat baik ya ?. Aroma perbuatannya pastilah mengilhami orang lain, paling tidak akan terlihat dari sikap sopan dan jujur secara pribadi. Nah, begitu pula dengan perbuatan sembrono, yang mungkin lupa, bahwa hidupnya telah di karunia anugerah anak dan keluarga. Memberi contoh, itu baik, tapi menjadi contoh itu lebih bijak lagi. Kalau sudah begini, sangat susah tidak menyukai kopi susu hangat dan kopi panas hitam pekat, berwarna berbeda, tapi punya tujuan ritual yang sama : Melegakan rasa. Nah, kalau dalam kisah pejabat tadi, mungkin pekatnya kopi kejujuran kurang di maknai sebagai kenikmatan yang akan di tiru anaknya, keluarganya, bahkan mungkin koleganya. Entahlah… Kopinya setengah, neng ?!

Gawean= pacar

Dongan (bah: batak)= kawan

Tidak senonoh yang tertulis diatas mempunyai makna = tidak dihormati lagi atau di turunkan posisi jabatannya dengan tidak hormat.

Kopinya setengah, neng ? = ini biasanya kopi setengah gelas besar. Kecendrungan yang meminta ini di kedai atau kantin adalah pelajar atau mahasiswa yang kekurangan uang alias uang pas-pasan. ^_^

Malam ini, secara tidak sengaja, saya tidak di berikan keberuntungan momentum meminum kopi. Tapi, tak apalah, saya memilih minuman yang satu gen dalam hal aroma. Susu panas rasa coklat. Sedikit menggelikan bagi diri saya sendiri, karena jadi ingat ketika sekolah dasar dulu, saya dulu sangat tidak menyukai meminum susu instant. Ada kebiasaan unik sekaligus mungkin aneh bagi kebanyakan orang, saya selalu punya “ritual” khas ketika sebelum meminum sesuatu. Menyeruput kopi, tidak akan istimewa sebelum saya menikmati hirupan aromanya terlebih dahulu. Dan saking bablasnya ritual saya ini, makanan juga sangat sering saya perlakukan persis seperti ritual kopi tersebut. Saya jadi sering bertanya-tanya sendiri dalam semesta pikiran dan khayalan saya, jangan-jangan saya “kelainan jiwa” kasus penyakit khusus: aroma. Tapi, dongan, jangan protes atau ikutan setuju bahwa itu gejala “kelainan jiwa” yang memang belum parah, tapi patut di kritisi. Mari kita bersama ingat, bayangkan, telusuri, ejawantahkan dalam fisik dunia ini, apakah ada kejadian yang mirip dengan tingkah polah “unik” saya itu ? coba mulai detik ini bersama kita lakukan “meditasi” sederhana daya ungkit “imajinasi”… ingat, ingat, dan ingat terus. ( kok seperti tokoh terkenal hipnotis ya? ). Taraaaaa…! Mari kita sama-sama menyamakan ingatan yang mirip dengan ritual saya tadi. Pernahkah anda melihat ketika orang di sumpah di pengadilan, sebuah kitab suci di naikkan di atas kepalanya ? atau ini yang sangat familiar mungkin. Coba anda ingat, kebiasaan orang ketika menikah, sebuah cincin akan di sematkan di jari manis ? atau yang lebih sangat biasa lagi. Ketika kita makan sesuatu, apalagi itu makan siang, makan malam, kecendrungan kita pasti berdoa ? sebenarnya sangat menggelikan juga bagi saya, melihat kitab suci di jadikan sebuah pedoman untuk “mengikat” kebenaran dari orang yang di sumpah agar berucap jujur. Sungguh menggemaskan juga, saya tuturkan, sebuah cincin di jadikan pertanda yang katanya “ kesetiaan”. Dan yang terakhir, agak sedikit terharu juga kita berdoa sebelum menikmati makanan yang kita ingin makan, padahal mungkin kalau tidak enak, akan kita buang atau jadi makanan kucing. Atau yang sering jadi pengamatan saya, orang makan sangat sering menyisakan makanan, apalagi itu di restoran ternama dan bersama gawean. Semua itu menurut saya adalah sebuah ritual. Apakah ritual itu berfungsi mengikat yang katanya batin bagi pemamfaatnya ? saya tidak tahu. Apakah itu juga bisa melegakan perasaan hati ? kalau anda mengatakan ritual hirupan aroma saya, jawabannya : YA. Saya sedikit tersenyum ketika seorang pejabat publik kita yang berjenis kelamin wanita, yang akhir-akhir ini menjadi sorotan karena kesaksian kebohongannya. Menurut pengamatan beberapa komentator, dan karena memang dia telah berstatus tersangka dan bukti yang telah nyata, patutlah, mungkin ia di tuturkan pembohong. Tapi apa iya, ia sebodoh itu ? saya kira, dan lagi-lagi gara-gara saya memperhatikan yang memberikan statement adalah dosen pembimbing tesis, ia di tuturkan : Cerdas. Apakah mungkin karena kecerdasan seseorang, tekhnik jujurnya pun di cerdaskan ? karena memang, kesaksiannya tidak ada berdampak langsung dengan kasus, yang di mana ia menjadi tersangka. Banyak orang berspekulasi ia mengamankan posisi seseorang. Benarkah demikian ? Mari kita berspekulasi tentang perihal mengamankan posisi tersebut. Karena kecerdasan sangat mudah di tangkap esensinya daripada sebuah hal di namakan jujur. Kita lulus dengan cumlaude biasanya di identikkan dengan cerdas.  Jangan-jangan ia punya aib yang disembunyikan? Jangan-jangan perihal meninggalnya suaminya yang dadakan, di ketahui oleh seseorang, karena memang agak sedikit mencurigakan?. Atau jangan-jangan ia ingin menyembunyikan sesuatu hal yang lebih besar, dan menganggap itu hal yang lebih mengamankan citranya atau bisa jadi juga masa tahanannya. Sekali lagi kejujuran itu seperti hal yang gaib—misterius, padahal sesederhana 5 hurufnya. Hanya saja memang cara si jujur mengajarkan kitapun kecendrungannya pastilah unik. Mengendap-endap seperti bayangan malam. Dan  sebenarnya ingin menunjukkan kepada kita, jujur itu lebih baik daripada berdusta, walaupun terkesan sikap terakhir terkesan lihai dan cerdas. Saya jadi bertanya-tanya, mungkinkah ia akan mengajarkan kejujuran kepada anaknya, kalau ternyata nantinya ia terbukti berbohong dan bersalah ? Apalagi yang ia pikul, permasalahan besar yang menghebohkan satu pemerintahan. Padahal yang menurut saya esensi, bukan kasusnya, tapi uang hasil korupsi tersebut bisa di salurkan kepada pembangunan yang berhubungan dengan sosial masyarakat yang lagi susah. Ah, terlalu sedih untuk di ungkapkan. Sudah banyak contoh nyata dalam sejarah Negara kita, pejabat yang melakukannya pasti merasakan akibat yang tidak senonoh lagi. Jadi kembali ke Ritual saya tadi, memang hanya sebagai tanda bahwa menyukai minuman tersebut. Ibaratnya ketika ingin mengenal seorang sahabat, kita mencoba meng”aromai” caranya bersikap dan bertutur. Minuman yang hangat dan nikmat biasanya beraroma sedap. Dan yang pastinya 30 meter dari area kopi susu coklat atau kopi akan terkena dampak efek aroma minuman tersebut. Rasanya, kok mirip dengan perbuatan baik pastinya akan berakibat baik ya ?. Aroma perbuatannya pastilah mengilhami orang lain, paling tidak akan terlihat dari sikap sopan dan jujur secara pribadi. Nah, begitu pula dengan perbuatan sembrono, yang mungkin lupa, bahwa hidupnya telah di karunia anugerah anak dan keluarga. Memberi contoh, itu baik, tapi menjadi contoh itu lebih bijak lagi. Kalau sudah begini, sangat susah tidak menyukai kopi susu hangat dan kopi panas hitam pekat, berwarna berbeda, tapi punya tujuan ritual yang sama : Melegakan rasa. Nah, kalau dalam kisah pejabat tadi, mungkin pekatnya kopi kejujuran kurang di maknai sebagai kenikmatan yang akan di tiru anaknya, keluarganya, bahkan mungkin koleganya. Entahlah… Kopinya setengah, neng ?!

Gawean= pacar

Dongan (bah: batak)= kawan

Tidak senonoh yang tertulis diatas mempunyai makna = tidak dihormati lagi atau di turunkan posisi jabatannya dengan tidak hormat.

Kopinya setengah, neng ? = ini biasanya kopi setengah gelas besar. Kecendrungan yang meminta ini di kedai atau kantin adalah pelajar atau mahasiswa yang kekurangan uang alias uang pas-pasan. ^_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline