Lihat ke Halaman Asli

Renal Wijaya Kusuma

Author and connoisseur of literature

Devica Natasya Sakul, Perspektif Anak Muda Mengenai Hak Kebebasan Berpendapat

Diperbarui: 4 September 2020   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Devica Anastasia Sakul | dokpri

Dalam beberapa tahun terakhir, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mendapatkan sorotan sangat besar dari banyak kalangan masyarakat -akan pasal karet yang selalu digunakan untuk menjerat kebebasan hak berekspresi dan berpendapat. Dalam praktiknya, undang-undang ITE mengenai kebebasan berekspresi dan berpendapat, seakan menjadi suatu kepentingan politik semata dan cendrung menjadi lubang hukum untuk menjerat orang-orang yang kritis atas masalah yang bersifat konstitusional atau pribadi. 

Mengutip dari the conversation, Menurut data Amnesty International Indonesia yang belum dipublikasikan, ada 241 orang yang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas atau pemerintahan Jokowi selama periode Oktober 2014 hingga Juli 2019.

Tidak tanggung-tanggung, pemidanaan terbanyak adalah mereka-mereka yang dianggap "membenci" dan "menghina" Presiden Jokowi. Jumlahnya 82 dari total 0 kasus atau lebih dari sepertiganya.

Dari total 82 tersebut, mayoritas (65 orang) dipidana karena menghina Jokowi di media sosial. Sisanya terjadi lewat medium offline seperti orasi dan demonstrasi. Mayoritas pemidanaan ekspresi di media sosial tersebut berasal dari inisiatif kepolisian yang melakukan pemantauan media siber.

Hal ini tentu membuat kalangan masyarakat yang kritis menjadi was-was dan ragu untuk berekspresi dan berpendapat mengenai masalah-masalah yang terjadi di dalam pemerintahan, dikarenakan UU ITE yang seolah mengintimidasi kebebasan berekspresi.

Dalam hal ini, saya meminta pendapat anak muda mengenai hak kebebasan berekspresi di era digital saat ini.

Bagi Devica Natasya Sakul, kebebasan berekspresi, berpendapat, diluar konteks sara, fitnah dan hoaks, sangatlah penting di dalam masyarakat. Ia juga menambahkan, akan bijaksana bila itu telah dipertimbangkan dahulu secara matang.

"Menurut aku penting banget tapi harus lihat sikon (situasi dan kondisi) juga sih jadi bukan hanya kebebasan sebebas-bebasnya, tapi harus mikir dulu, terus dampaknya dari bersuara dan manfaatnya sama feedbacknya sih."

Wanita yang telah menempuh pendidikan Sarjana Ilmu Administrasi Negara di Universitas Negeri Manado ini, juga memberikan tanggapan atas serangkaian masalah-masalah UU ITE yang kerap-kali menjadi pondasi tertentu untuk menjerat orang-orang yang bersuara atas isu-isu yang bersifat sentimentil. Menurut Devica Natasya, hak kebebasan berekspresi, dan berpendapat dengan sebuah data dan fakta yang jelas seharusnya tidak boleh ditarik ke ranah UU ITE. 

"Kalo misalkan datanya sudah jelas sesuai fakta dan ada landasan peraturan yang mengatur mungkin tidak akan kena dalih UU ITE." Katanya.  

Melansir dari Medcom.id, Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar mengatakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait kebebasan berekspresi, tidak cocok di negara demokrasi. Karena setiap warga negara dijamin bebas berpendapat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline