Kasus pemain sepak bola dari Sulawesi Tengah yang memukul wasit, ditambah dengan isu bahwa wasit dianggap lebih memihak ke tim Aceh, mencerminkan konflik dalam sepak bola Indonesia yang mencakup disiplin, integritas, dan kepercayaan terhadap penyelenggaraan kompetisi.
Insiden kekerasan dalam cabor sepak bola PON 2024 terjadi ketika kesebelasan Aceh bentrok dengan Sulawasi Tengah (Sulteng) pada babak perempat final di Stadion Dimurthala, Banda Aceh, Sabtu 14 September malam WIB. Sulteng memulai pertandingan dengan baik dan unggul 1-0 melalui gol Wahyu Alman di menit ke-24.
Namun, pada menit ke-38, suasana memanas ketika pelatih Sulteng terlibat perselisihan dengan staf pelatih Aceh. Suporter tuan rumah yang emosi pun melempar botol ke lapangan, memaksa pertandingan dihentikan sementara.
Laga semakin sengit ketika pada menit ke-74, Wahyu Alman, pemain Sulteng, diusir keluar lapangan setelah mengambil bola yang dianggap berbahaya. Keputusan ini memicu protes dari tim Sulteng yang merasa wasit, Eko Agus Sugiharto, bertindak tidak adil. Kondisi semakin parah saat Moh Akbar, pemain Sulteng lainnya, juga menerima kartu merah pada menit ke-85.
Puncak ketegangan terjadi pada menit ke-97 ketika wasit memberikan penalti kontroversial kepada Aceh. Pemain Aceh diduga melakukan diving, namun wasit tetap memberikan penalti.
Akibat keputusan ini, Rizki Saputra, pemain Sulteng bernomor punggung 15, terpancing emosi dan langsung memukul wasit di bagian kepala hingga KO. Tindakan ini tentu tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Wasit sempat mendapat perawatan medis sebelum akhirnya dibawa keluar lapangan dengan ambulans.
Jika benar ada keberpihakan wasit dalam pertandingan, itu jelas merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip fair play dan transparansi. Wasit seharusnya memimpin pertandingan dengan adil tanpa memihak satu tim pun, karena keputusan mereka sangat memengaruhi jalannya permainan dan hasil akhir.
Ketidakadilan dalam kepemimpinan wasit sering kali memicu kemarahan pemain, yang kadang-kadang meledak dalam bentuk kekerasan, seperti yang terjadi dalam insiden yang di beritakan.
Namun, tindakan kekerasan tidak pernah bisa dibenarkan, terlepas dari seberapa buruk keputusan wasit. Kekerasan hanya akan memperburuk situasi, menciptakan suasana tidak kondusif dalam kompetisi, dan merusak reputasi sepak bola di mata publik.
Seperti yang sudah tertulis dalam Pasal 50 Kode Disiplin PSSI yang mengatur tentang bertingkah laku buruk, yaitu pemain melakukan perkelahian, maka: a. setiap orang yang terlibat dalam perkelahian dihukum dengan sanksi larangan bermain dalam pertandingan selama 6 (enam) kali pertandingan; b. setiap orang yang telah berusaha mencegah terjadinya perkelahian, melindungi atau memisahkan para pihak yang terlibat dalam perkelahian tidak dijatuhi hukuman.
Terkait isu keberpihakan wasit, harus ada investigasi menyeluruh untuk memastikan apakah tuduhan tersebut benar atau tidak. Jika memang ada bukti yang mendukung klaim tersebut, tindakan tegas harus diambil terhadap wasit yang bersangkutan, termasuk sanksi disiplin hingga pencabutan lisensi. Transparansi dalam proses pengambilan keputusan juga penting untuk mengembalikan kepercayaan para pemain dan publik terhadap kompetisi.