Lihat ke Halaman Asli

Perempuan Bekerja (Sebuah Dilema Perubahan Zaman)

Diperbarui: 20 Maret 2023   09:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 Dunia kerja merupakan dunia yang dinamis. Perubahan terus terjadi demi kemajuan perusahaan. Tren yang berkembang saat ini adalah peningkatan jumlah pekerja perempuan. Dahulu tugas wanita hanya mengurus anak, suami dan rumah tangga, maka saat ini peran tersebut sudah bergeser. Telah banyak wanita yang bekerja di perusahaan maupun organisasi.

 Tren wanita bekerja di perusahaan tak luput dari sekelumit permasalahan. Fenomena ini memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif dikemukakan oleh Lim (1997) mengungkapkan wanita yang memprioritaskan bekerja untuk keluarga akan meningkatkan kepercayaan diri, kompetensi, dan rasa kebanggaan pada perannya sebagai pekerja. Selanjutnya, Pratiwi Sudamona (www.kompasiana.com) mengatakan bahwa wanita tidak lagi dianggap sebagai mahluk yang semata-mata tergantung pada penghasilan suaminya, melainkan ikut membantu berperan dalam meningkatkan penghasilan keluarga untuk satu pemenuhan kebutuhan keluarga yang semakin bervariasi.

 Konsekuensi negatif yang terjadi akibat dari ibu rumah tangga yang bekerja yaitu (1) pada anak-anak, yaitu meningkatkan risiko terjerumusnya anak-anak kepada hal yang negatif, seperti tindak kriminal yang dilakukan sebagai akibat dari kurangnya kasih sayang yang diberikan orangtua, khususnya Ibu terhadap anak-anaknya, (2) pada suami, yaitu memiliki perasaan tersaingi dan tidak terpenuhi hak-haknya sebagai suami, (3) pada rumah tangga, memiliki risiko kegagalan rumah tangga terkait ketidakmampuan istri mengurus rumah tangga atau sibuk berkarir, (4) pada masyarakat, yaitu bertambahnya pengangguran untuk pria dikarenakan wanita mengambil alih pekerjaannya. Hal ini juga terkait dengan permintaan perusahaan dimana lebih memilih wanita ketimbang pria karena upah yang murah dan anggapan wanita tidak terlalu banyak menuntut dan mudah diatur (Talita, 2010 dalam www.kompasiana.com). Pernyataan tersebut diperkuat Tjaja (2000) yang mengungkapkan bahwa kecenderungan untuk bekerja di luar rumah jelas akan membawa konsekuensi sekaligus berbagai dampak sosial, antara lain meningkatnya kenakalan remaja akibat kurangnya perhatian orang tua, makin longgarnya nilai-nilai ikatan perkawinan/keluarga dan lain-lain.

 

 Wanita karier di Indonesia mempunyai masalah yang kompleks. Dalam sebuah komunikasi personal dengan ibu bekerja, A (26 tahun) seorang ibu bekerja ,yang memiliki anak usia 5 tahun, menyatakan kesulitannya untuk membagi waktunya antara pekerjaan dengan keluarga. A (26) menuturkan bahwa anaknya yang baru masuk Taman Kanak-kanak sangat membutuhkan perhatian darinya. Seringkali sang buah hati enggan untuk makan kalau tidak disuapi oleh ibunya. Tak jarang A (26) rela untuk meninggalkan pekerjaannya sejenak hanya untuk menyuapi anaknya dan setelah itu kembali bekerja. Namun, ada kalanya ia tidak bisa keluar dari kantor. Ketika hal tersebut terjadi, A(26) seringkali merasa bersalah. A (26) mengatakan bahwa anaknya itu lebih dekat dengan dirinya, selain itu ia memberikan pernyataan

"Sebagai seorang ibu, saya kan berkewajiban untuk mengurusi anak-anak saya. Lagi pula ayahnya sibuk sekali bekerja dan letak kantornya jauh dari rumah. Untuk itu biar saya yang berkorban”.


Ketika ditanya mengenai apakah ada keinginan untuk berhenti bekerja, A(26) menyatakan bahwa dirinya tetap ingin bekerja karena alasan kebutuhan materil dan keinginannya untuk memanfaatkan hasil belajarnya sewaktu di bangku kuliah.

 Kesulitan yang dialami oleh A (26) terjadi ketika perannya sebagai ibu bertentangan dengan perannya sebagai pekerja. Hal ini disebut dengan konflik peran. Khan dkk (1964) menjelaskan konflik peran terjadi karena adanya dua atau lebih tekanan yang membuat pemenuhan salah satunya dapat menyulitkan pemenuhan pada tekanan lainnya. Sejalan dengan definisi tersebut, Greenhaus & Beutell (1985) mendefinisikan konflik kerja-keluarga sebagai sebuah bentuk konflik antar peran dimana tekanan dari peran di pekerjaan dan peran di keluarga saling menuntut pemenuhan pada saat yang bersamaan, sehingga berakibat menjalankan peran dalam pekerjaan menjadi lebih sulit karena keharusan untuk menjalankan peran dalam keluarga juga, dan sebaliknya menjalankan peran dalam keluarga lebih sulit karena keharusan untuk menjalankan peran dalan pekerjaan juga.  Konsep dari konflik kerja keluarga yang diungkapkan Greenhaus & Beutell (1985) memiliki dimensi-dimensi dan konsep yang bidirectional. Yang dimaksud bidirectional adalah pekerjaan dapat “mengganggu” keluarga dan keluarga dapat “mengganggu” pekerjaan.

Fenomena inilah yang menjadi dasar, saya Renaldi Wicaksono mengambil skripsi mengenai 

"Konflik Kerja Keluarga pada etnis Tionghoa, Minangkabau, dan Jawa". 

Pemilihan etnis-etnis tersebut, berdasarkan sistem kekerabatan yang mereka anut, yaitu :

Sistem patrilineal dianut oleh etnis Tionghoa dimana turunan ditelusuri melalui garis laki-laki. Sidharta (1984) menyebutkan bahwa dalam kebudayaan Cina, terutama di kalangan masyarakat yang miskin, wanita memiliki kedudukan yang rendah. Peranan utama dari wanita hanya untuk mengatur rumah tangga dan untuk menjamin garis keturunan laki-laki. Disamping itu, Sidharta (1984) juga mengungkapkan bahwa wanita-wanita Cina merupakan pekerja keras yang harus mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk memenuhi hasrat suaminya menjadi kaya.

Pandangan berbeda terhadap wanita ditemui pada budaya Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Wanita suku Minangkabau memiliki posisi yang sentral dan memiliki peran dalam prakarsa dan pelaksanaan keputusan. Berbagai aktivitas dalam keluarga, membutuhkan persetujuan dan kerjasama antar wanita dengan pria. Sistim matrilineal yang dianut budaya Minangkabau, juga menempatkan wanita bukan hanya dalam hal menyangkut garis keturunan, namun juga dalam aspek mencari nafkah.

Etnis Jawa menganut Sistem Bilateral dimana sistem kekerabatan berdasarkan garis ayah dan ibu. Dalam sistem ini, anak laki-laki dan wanita tidak dibedakan dalam sistem pewarisan. Walaupun masyarakat Jawa menggunakan sistem bilateral dalam melihat garis keturunan, tetapi hubungan antara laki-laki dan perempuan masih cenderung patriarkhat ( Nauly, 2002). Menurut Kartodirdjo (1984), dalam lingkungan keluarga di suku Jawa, pria berperan sebagai kepala keluarga, mempunyai kekuasaan sebagai pemberi keputusan, menjadi pencari nafkah, menentukan status keluarga, dan memimpin kerabat. Sedangkan, peranan wanita terbatas sebagai ibu terutama pendidikan anak-anak dan pengaturan rumah tangga, sehingga ada istilah kanca wingking (teman belakang) yang dipakai suami terhadap istri.

 

*Artikel ini diterbitkan pertama kali pada tahun 2011 di Kompasiana. Hasil skripsi juga diterbitkan pada tahun yang sama dimana hasilnya adalah Tidak adanya perbedaan yang signifikan konflik kerja keluarga (work family conflict) dari ketiga etnis yang mewakili Sistem Kekerabatan tersebut. Penelitian ini juga menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh pendidikan dan modernisasi dimana kedudukan perempuan menjadi setara dalam hal pendidikan dan pekerjaan serta kehidupan berumah tangga.

**Penulis berterima kasih terhadap pembaca yang selama kurun waktu dari tahun 2011 sampai saat ini telah menjadikan tulisan ini sebagai referensi dalam banyak penelitian (Skripsi, Tesis, Jurnal).




Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline