Fahmi dihadang sekumpulan petugas satpol PP.Dia tidak bisa melawan atau memberontak. Jumlah mereka terlalu banyak. Jelas dia akan kalah. Dia berusaha tetap tenang dan bersikap kooperatif. Namun tidak dengan para petugas. Mereka bersikap kasar.
Siang itu mataharinya terik. Seperti biasa Fahmi mengamen di jalan. Berpindah dari satu angkutan umum ke angkutan umum lainnya. Berharap akan ada yang menghargai pekerjaannya. Menjual suara, begitu Fahmi menyebutnya.
Petugas menangkap Fahmi dan teman-temannya. Menyeretnya ke mobil, melemparkan gitar, alat musik satu-satunya yang dia miliki. Tidak murah harga gitar itu baginya. Perasaannya campur aduk. Petugas membawanya ke rumah binaan, di Rancacili Bandung.
Hari pertama Fahmi di sana tidak ada yang Istimewa. Para pengamen jalanan dan Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) disatukan dalam ruang yang sama. Itu tidak menyenangkan baginya. Petugas mendata mereka satu persatu, lalu mengecek kesehatan mereka.
Pendataan dan pengecekan kesehatan dilakukan hampir setiap hari. Tidak ada aktivitas atau kegiatan lainnya. Para petugas menjanjikan akan diadakan berbagai pelatihan, akan disediakan lapangan kerja. Fahmi menunggunya dengan semangat. Namun, janji hanyalah janji, lenyap begitu saja. Dua minggu berlalu, pelatihan dan lapangan kerja yang dijanjikan tak kunjung datang. Fahmi pulang dengan tangan kosong.
Kini Fahmi telah tumbuh menjadi musisi jalanan. Bertahun-tahun hidup di jalanan, bertahan dengan kerasnya dunia. Dia mengenal dunia musik sejak kecil. Kakak-adiknya hingga neneknya pecinta musik. Dia belajar memainkan alat musik secara autodidak, dengan mengamen.
Menurutnya, mengamen di jalan tidak bisa mencukupi kebutuhan ekonomi, namun bisa untuk bertahan hidup. Untuk itu, Fahmi kerap menerima tawaran jika ada pekerjaan lain.
"Mungkin kalau mencukupi kebutuhan, masih belum. Tapi untuk bertahan hidup, masih aman. Untuk mencukupi kebutuhan biasa aku doble job. Job kafe sama di proyek, jadi dua pekerjaan sekaligus"
Fahmi telah memiliki jadwal tetap, bergantian dengan temannya. Mangkal di lampu merah Jl Jamika, Bandung, berbatasan dengan Pagarsih dan Situ Aksan. Saat akhir pekan, Fahmi biasanya mendapat tawaran manggung di kafe, namun jika tidak ada Fahmi akan tetap mangkal di lampu merah.
"Kalau untuk weekend biasanya selalu ada job. Kalau untuk hari-hari biasa kan nggak ada job. Jadi aku standby di lampu merah sambil nunggu panggilan. Kalau nggak ada job, di weekend pun paling dihajar di lampu merah".
Untuk mengais rupiah, Fahmi selalu totalitas dan ikhlas. Dia selalu membawa seperangkat alat manggung, baik saat di kafe maupun di jalan. Dia membawa speaker dua, mic, mixer, dan sejumlah kabel. Dia selalu berusaha memperbaiki kualitas suara maupun musiknya.