8 November 2019, saya kembali berkesempatan menyaksikan pentas Teater Koma yang berjudul J.J Sampah-Sampah Kota di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki. Malam ini adalah pentas perdana Produksi ke-159, 2019 yang akan berlangsung sampai dengan tanggal 17 November 2019.
Naskah karya N. Riantiarno dan disutradarai oleh Rangga Riantiarno ini dikerjakan dan ditampilkan dengan sangat baik oleh setiap mereka yang terlibat di dalamnya, baik yang terlihat di panggung atau yang ada di balik layar. Bangga dan apresiasi yang tulus untuk Teater Koma.
Salam pembukaan disampaikan oleh Ibu Ratna Riantiarno dan gong pembukaan bergema, kemudian music memulai dimainkan untuk mengiringi kata dan lirik selama pentas.
Obrolan pasangan Jian dan Juhro, kebahagiaan menantikan kelahiran sang buah hati yang masih berada di dalam perut. Kerja, keseharian, dan tidur sebagai pelepas lelah.
Mimpi buruk yang dialami Jian membuat para tetangga lingkungan rumah bawah kolong jembatan keluar dan membuat panggung sandiwara ini menjadi heboh.
Jian dan Juhro mewakili rakyat lemah yang hidup dengan bekerja keras demi harapan kelak hidup mereka akan menjadi lebih baik. Walaupun hasil tidak selalu secerah harapan dan cita-cita. Seperti mimpi yang bisa saja indah, sedih atau malah buruk dan menyeramkan.
Manusia sebagai individu hidup dan berjuang untuk diri sendiri, namun manusia juga sekaligus sebagai mahluk sosial yang mau tidak mau harus hidup bersama dan diantara orang lain. Seperti Jian sebagai suami, hidup dengan Juhro istrinya. Pasangan suami istri ini hidup berdampingan dengan para tetangga.
Sekelompok orang dilingkungan yang sama ini juga harus berhadapan dengan orang-orang lain di luar lingkungan mereka; para mandor, rekan kerja, orang yang hanya lewat dan bertemu sebentar, sampai orang-orang yang tidak secara langsung berinteraksi dengan mereka namun mempunyai pengaruh atas kehidupan mereka.
Teater koma mengangkat kehidupan yang pada kenyataannya sering dan banyak dialami oleh orang-orang seperti Jian dan Juhro ke atas panggung pentas. Orang-orang sederhana yang dianggap bodoh dan tidak berdaya, diperdaya dan dimanfaatkan untuk keuntungan pihak lain yang merasa lebih kuat atau merasa diri pantas untuk menginjak sesama manusia lainnya.
Pentas dengan durasi sekitar 3,5 jam ini sukses menggugah pikiran, emosi dan perasaan. Jeda selama 15 menit terasa singkat karena bergegas untuk menyaksikan kelanjutan kisah Jian dan Juhro sampai akhir. Menebak-nebak apa yang akan terjadi dengan mereka selanjutnya.
Berkat dan harapan dari kelahiran bayi mereka yang mestinya menjadi kebaikan, kebahagiaan dan semangat untuk Jian dan Juhro harus dilewati dengan ujian hidup dan banyak pengorbanan lain yang harus mereka hadapi.