Lihat ke Halaman Asli

helen_s.maria

#exploreIndonesia #exploretheworld ... Bersyukur untuk kesempatan, waktu, kesehatan dan rezeki yang Tuhan berikan

Kehidupan Bersahaja Suku Baduy

Diperbarui: 29 September 2017   20:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jembatan Bambu pertama. Difoto oleh Baim

Dari rencana dan terus rencana, sekarang  sudah terlaksana, bukan lagi sekedar wacana. Dari  beberapa kali diminta  untuk mengurus perjalanan sampai ingin ikut open trip.  Tekad sudah bulat dan harus terlaksana. Kebetulan melihat  Instagram Noni di Baduy. Noni adalah teman perjalanan saya saat trip Tanjung Puting. 

Ternyata Noni adalah pemilik Nastari Adventure dan membuat open trip ke Baduy tanggal 22 -- 23 Juli 2017. Pas mantab deh karena saya ingin menikmati perjalanan sebagai peserta, tinggal ikut, duduk manis dan pasti tidak rewel hehehe. Seperti biasa saya mengajak beberapa teman lain, beberapa teman ingin ikut tetapi hanya Aida yang akhirnya bisa ikut. 

SABTU, 22 JULI 2017  

Perjalanan dimulai, menuju perkampungan Suku Baduy di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, Indonesia. 

Meeting point di stasiun Tanah Abang menuju stasiun Rangkas Bitung. Karena  tinggal di Tangerang, saya ijin bertemu langsung di stasiun Rangkas. Berangkat dari Stasiun Serpong, dan janjian duduk bareng dengan Aida yang yang terpisah gerbong dari teman yang lain.

Di stasiun Rangkas Bitung saya dan Aida bertemu dan  berkenalan dengan teman-teman trip Baduy kali ini, ada Ochela dari Nastari Adventure, Fadhilah yang jadi peserta paling ganteng, Deka dan Phinta yang celotehnya seru  bikin ngakak hahaha.

Suasana di depan Stasiun Rangkas Bitung

Kami memulai kekompakkan dengan  membeli bubur ayam  untuk sarapan di depan Stasiun. Lalu beriringan menyeberangi rel kereta. Baim pemuda Baduy yang sekarang tinggal di Jakarta sudah menunggu kami. Bersama kami naik mobil angkot menuju Desa Cijahe. Lama perjalanan sekitar 3,5 jam diisi dengan kegiatan sarapan bubur, ngobrol, mendengarkan musik dan melanjutkan tidur.

Sampai di Cijahe, bertemu dengan para saudara dari Suku Baduy. Semuanya laki-laki dan banyak yang masih remaja. Disini mereka menunggu dan menyambut tamunya masing-masing, dan menjadi pemandu jalan sampai ke rumah mereka yang akan ditumpangi oleh tamu. Kami bertemu dengan Pak Juli Arni, kami menumpang semalam di rumahnya.

Cijahe. Foto oleh Ochela - Nastari Adv

Setelah makan siang, kami mulai berjalan. Medan yang dilalui mulai dari jalan tanah yang biasa saja  sampai tanah yang licin berlumut. Di awal perjalanan HP masih boleh digunakan untuk foto-foto. Tetapi ada aturan penting yang harus ditaati yaitu  tidak boleh mengambil gambar di batas wilayah Suku Baduy Dalam yang sudah ditentukan. Karena saya  suka mengambil gambar, wanti-wanti saya minta diingatkan kalau sudah sampai di batas itu.

Dokumen pribadi

Menuju Desa Cibeo

Perjalanan

baduy-7-59cde1f04fc4aa719b6a4a22.jpg

Batas tidak boleh mengambil gambar adalah setelah jembatan bambu. Kalau tidak salah ini adalah jembatan bambu ketiga sejak trekking dimulai. Saya masih mengambil gambar teman-teman saat di jembatan sebelum masuk wilayah Baduy Dalam dan aturan tidak boleh mengambil gambar di mulai. Kemudian saya memilih untuk mematikan HP sampai besok, karena takut lupa dan reflex saat melihat objek foto hehehe. Daripada  melanggar aturan di wilayah orang, lebih baik menikmati perjalanan tanpa HP.

Foto terakhir sebelum masuk wilayah Baduy Dalam

Jalan bertambah licin karena siraman hujan rintik-rintik.  Fadhilah jatuh pertama kali, kami malah tertawa hahaha maaf ya Dhil.  Tidak lama Deka menyusul jatuh hahaha. Eeh,  kemudian saya jatuh juga, dan Fadhil yang melihat saya malah ikut jatuh juga hahaha solidaritasnya tinggi. Nah, keuntungan tidak boleh mengambil gambar dirasakan saat seperti ini, jadi tidak ada bukti foto "aib" waktu jatuh hahaha.

RUMAH BADUY

Bangunan yang pertama kali kami lihat saat berada di Suku Baduy Dalam adalah lumbung padi. Saya kira sudah sampai, ternyata masih harus terus berjalan. Lumbung padi memang diletakkan terpisah dari kampung pemukiman. Salah satu alasannya adalah bila terjadi musibah di kampung, misalnya ada kebakaran, warga   masih punya cadangan beras.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline