Dari rencana dan terus rencana, sekarang sudah terlaksana, bukan lagi sekedar wacana. Dari beberapa kali diminta untuk mengurus perjalanan sampai ingin ikut open trip. Tekad sudah bulat dan harus terlaksana. Kebetulan melihat Instagram Noni di Baduy. Noni adalah teman perjalanan saya saat trip Tanjung Puting.
Ternyata Noni adalah pemilik Nastari Adventure dan membuat open trip ke Baduy tanggal 22 -- 23 Juli 2017. Pas mantab deh karena saya ingin menikmati perjalanan sebagai peserta, tinggal ikut, duduk manis dan pasti tidak rewel hehehe. Seperti biasa saya mengajak beberapa teman lain, beberapa teman ingin ikut tetapi hanya Aida yang akhirnya bisa ikut.
SABTU, 22 JULI 2017
Perjalanan dimulai, menuju perkampungan Suku Baduy di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, Indonesia.
Meeting point di stasiun Tanah Abang menuju stasiun Rangkas Bitung. Karena tinggal di Tangerang, saya ijin bertemu langsung di stasiun Rangkas. Berangkat dari Stasiun Serpong, dan janjian duduk bareng dengan Aida yang yang terpisah gerbong dari teman yang lain.
Di stasiun Rangkas Bitung saya dan Aida bertemu dan berkenalan dengan teman-teman trip Baduy kali ini, ada Ochela dari Nastari Adventure, Fadhilah yang jadi peserta paling ganteng, Deka dan Phinta yang celotehnya seru bikin ngakak hahaha.
Kami memulai kekompakkan dengan membeli bubur ayam untuk sarapan di depan Stasiun. Lalu beriringan menyeberangi rel kereta. Baim pemuda Baduy yang sekarang tinggal di Jakarta sudah menunggu kami. Bersama kami naik mobil angkot menuju Desa Cijahe. Lama perjalanan sekitar 3,5 jam diisi dengan kegiatan sarapan bubur, ngobrol, mendengarkan musik dan melanjutkan tidur.
Sampai di Cijahe, bertemu dengan para saudara dari Suku Baduy. Semuanya laki-laki dan banyak yang masih remaja. Disini mereka menunggu dan menyambut tamunya masing-masing, dan menjadi pemandu jalan sampai ke rumah mereka yang akan ditumpangi oleh tamu. Kami bertemu dengan Pak Juli Arni, kami menumpang semalam di rumahnya.
Setelah makan siang, kami mulai berjalan. Medan yang dilalui mulai dari jalan tanah yang biasa saja sampai tanah yang licin berlumut. Di awal perjalanan HP masih boleh digunakan untuk foto-foto. Tetapi ada aturan penting yang harus ditaati yaitu tidak boleh mengambil gambar di batas wilayah Suku Baduy Dalam yang sudah ditentukan. Karena saya suka mengambil gambar, wanti-wanti saya minta diingatkan kalau sudah sampai di batas itu.
Batas tidak boleh mengambil gambar adalah setelah jembatan bambu. Kalau tidak salah ini adalah jembatan bambu ketiga sejak trekking dimulai. Saya masih mengambil gambar teman-teman saat di jembatan sebelum masuk wilayah Baduy Dalam dan aturan tidak boleh mengambil gambar di mulai. Kemudian saya memilih untuk mematikan HP sampai besok, karena takut lupa dan reflex saat melihat objek foto hehehe. Daripada melanggar aturan di wilayah orang, lebih baik menikmati perjalanan tanpa HP.
Jalan bertambah licin karena siraman hujan rintik-rintik. Fadhilah jatuh pertama kali, kami malah tertawa hahaha maaf ya Dhil. Tidak lama Deka menyusul jatuh hahaha. Eeh, kemudian saya jatuh juga, dan Fadhil yang melihat saya malah ikut jatuh juga hahaha solidaritasnya tinggi. Nah, keuntungan tidak boleh mengambil gambar dirasakan saat seperti ini, jadi tidak ada bukti foto "aib" waktu jatuh hahaha.
RUMAH BADUY
Bangunan yang pertama kali kami lihat saat berada di Suku Baduy Dalam adalah lumbung padi. Saya kira sudah sampai, ternyata masih harus terus berjalan. Lumbung padi memang diletakkan terpisah dari kampung pemukiman. Salah satu alasannya adalah bila terjadi musibah di kampung, misalnya ada kebakaran, warga masih punya cadangan beras.