Lihat ke Halaman Asli

Mereka Resah Kalau Ada yang Takut Dosa

Diperbarui: 19 Februari 2018   02:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suara-suara sumbang yang seakan-akan menyindir, merendahkan, bahkan mengecam terhadap opini atau sikap yang mematuhi perintah agama akhir-akhir ini sangat banyak di dunia maya. Apa mematuhi perintah agama itu salah menurut mereka? Saya yakin jika orang-orang yang bersuara sumbang tersebut disuntikkan serum kejujuran, maka mereka akan berkata "benar, patuh pada perintah agama itu salah". Barangkali pernyataan tersebut lebih baik daripada berputar-putar dalam kata-kata yang penuh retorika.

Anehnya suara-suara sumbang itu menuduh orang-orang yang patuh pada perintah agama adalah orang yang "merasa paling benar", padahal itu hanya gaya bahasa yang bersifat pasif dari sikap menyalahkan. Dengan kata lain orang yang "merasa paling benar" adalah suatu "kesalahan". Benarkah demikian?

Sepintas logika tersebut dapat diterima, khususnya jika ada orang yang bertindak bebas sesuka hati tanpa dilandasi tuntunan apapun baik itu agama maupun peraturan-peraturan negara. Jika orang tersebut mengambil hak orang lain, menganiaya orang lain, menghina orang lain yang semuanya tanpa alasan dia tidak merasa bersalah. Namun sebaliknya jika ada orang lain yang melakukan hal-hal tersebut pada dirinya maka dia akan menyalahkan orang lain tersebut. Apakah orang tersebut "merasa paling benar"? Ya. Dan bukan hanya itu, orang tersebut juga "merasa selalu benar" karena dia menganggap kebenaran itu relatif, selama dia diuntungkan maka itulah kebenaran.

Apakah orang-orang yang patuh terhadap perintah agama dan peraturan negara termasuk orang yang menganggap kebenaran itu relatif? Jawabannya tidak, karena mereka tidak mendefinisikan kebenaran menurut hawa nafsunya. Kebenaran menurut mereka terletak pada ketaatan terhadap aturan agama dan aturan negara, dimana kedua aturan tersebut saling mengakui eksistensinya, saling terkait, dan saling mendukung. Mereka akan merasa berada diatas kebenaran selama mematuhi aturan-aturan agama dan negara, dan memang sudah seharusnya jika agama dan negara membela dan melindungi mereka jika hak mereka dilanggar.

Dalam hal ini pihak yang menganggap kebenaran itu relatif sebenarnya adalah orang-orang yang ingin selalu dibenarkan dengan menyalahkan pihak lain yang berseberangan. Atau mungkin juga mereka adalah pribadi-pribadi yang masih bimbang akan jati diri sehingga belum mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Kalau golongan yang pertama, mereka inilah orang-orang yang pandai (lebih tepat licik) atau merasa pandai (tetap saja licik) karena opini yang mereka bangun. Sangat berlawanan dengan golongan pertama, golongan kedua adalah orang-orang yang bodoh (lebih tepat dungu) karena termakan opini yang dibangun oleh golongan pertama. Seandainya ada dari golongan kedua ini yang tidak benar-benar termakan opini golongan pertama, mereka akan tetap "merasa benar" karena sedang mencari nafkah dan tidak mempunyai sumber penghasilan lain selain mendukung teori kebenaran relatif tersebut.

Seandainya saja suara-suara sumbang tersebut mampu menjanjikan seperti yang dijanjikan Tuhan pada hamba-hamba-Nya yang taat, tentunya banyak orang yang akan terpengaruh. Namun apalah daya, mau mencoba pun pasti orang-orang tidak akan percaya. Sehingga cara yang dianggap paling potensial adalah dengan kritik-kritik yang merendahkan, menyindir, melecehkan, dan bahkan memfitnah keyakinan orang.

Mereka menganggap bahwa aturan agama menghambat pertumbuhan dalam era globalisasi, serupa dengan paham komunis yang beranggapan bahwa agama adalah racun. Bukannya bercermin dan menilai diri sendiri, mereka malah menyalahkan Tuhan. Seharusnya mereka bertanya pada diri sendiri, apakah pemahaman mereka tentang agama yang keliru? Siapa mereka dan apa kontribusi mereka terhadap bangsa ini? Otak kanan mereka digunakan untuk apa, berkreasi dalam merubah/memelintir aturan ataukah berkreasi dalam membangun bangsa? Membuat desertasi, atau hanya sekedar membuat puisi? Tidak usah kita berbicara tentang otak kiri, karena tujuannya memang bukan untuk menyakiti hati seperti yang telah mereka lakukan, namun sekedar mengajak untuk berpikir lagi.

Mungkin mereka lupa atau tidak tahu bahwa awal masa renaisance di eropa dipengaruhi oleh peradaban Islam. Aljabar, alchemy (berkembang menjadi chemistry atau ilmu kimia), bahkan astronomi yang berkembang saat eropa masih dalam masa kegelapan. Sekarang mereka mengeluarkan isu penganut bumi datar, salah satu cara yang mungkin dianggap ampuh oleh mereka. Metode pengulangan sejarah mengenai penentangan gereja ketika itu terhadap teori Nicolaus Copernicus yang menyatakan bahwa bumi bulat dan bahwa bumi bergerak mengelilingi matahari (heliosentris).

Upaya pemburaman agar orang meragukan keyakinannya. Untungnya Al-Quran hingga kini masih menggunakan bahasa asli, sehingga dengan jelas dapat dilihat bahwa tidak ada satu pun ayat yang menyatakan bahwa bumi datar. Bagaimana mungkin peradaban yang merintis ilmu astronomi kemudian menganggap bahwa bumi datar?

Dengan segala cara mereka berusaha menyesatkan umat, dengan cara memburamkan atau mencocok cocokkan, meski logika dan pemikirannya sangat dipaksakan. Kalau telah ketahuan busuknya, maka mulai bermain dalam retorika kutu loncat. Orang bodoh jadi manggut-manggut, tapi yang paham pasti hanya tersenyum.

Dunia ini memang cenderung abu-abu, manusia pun cenderung abu-abu, karena tidak ada manusia yang bersih dari dosa. Namun bukan berarti tidak ada hitam dan putih. Abu-abu dari manusia yang memiliki tuntunan paling tidak akan lebih terang dibanding yang tidak punya tuntunan. Demikian pula halnya pada negara yang memiliki aturan yang maksimal, kerusakan moral akan lebih kecil dibanding dengan negara yang aturannya minimal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline