Lihat ke Halaman Asli

Tentang Tetanggaku Yang Suka Buah Beracun

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Julak Acut itu nama tetangga samping rumah kami ketika waktu di desa dulu. Umurnya sekitar 55 tahun badannya masih tegap, energik meski agak kurusan. Dia orangnya pendiam tak banyak bicara tapi murah senyum dan dia hidup sederhana apa adanya.

Dia pandai membuat perangkap ikan, burung dan pandai berburu binatang hutan. Kala itu saya sering memain-mainkan peralatan berburunya seperti tombak, golok, alat sumpit dan pisau kecil. Kebetulan desa kami berdekatan dengan hutan.

Berkat dia, saya dapat membuat perangkap ikan dan burung dan mengenali tumbuhan dan buah hutan yang mana beracun dan buah mana yang aman untuk dimakan. Ada buah hutan yang bentuknya persis seperti buah rambutan, warnanya merah tua agak kegelapan tapi kulitnya agak keras seperti durian dan daging buahnya berwarna putih samap seperti rambutan tapi agak padat kekenyalaannya dan sedikit mengandung air.

Baru makan lima biji kepala saya sudah pusing tapi anehnya tetangga saya sudah menghabiskan dua tangkai rambutan hutan mungkin lebih dua puluh bijian tapi tidak ada reaksi apapun dia tidak pusing mungkin dia sudah biasa makan buah beracun tersebut.

Setiap Julak acut dapat buruan dari hutan, dia pasti memberikan sebagian daging hasil buruannya ke para tetangga sebelah rumahnya termasuk kami. Setiap kali ada acara hajatan tetangga maka dia yang terlihat selalu sibuk membantu. Seingat saya dia tak pernah menolak apabila ada orang yang mau minta tolong kepadanya.

Pernah suatu hari saat dia asyik membuat perangkap ikan dari bambu biasanya saya ikut melihat duduk disampingnya, lalu ada tetangga yang minta tolong minta ditemanin untuk mencari pohon bambu untuk membuat rangka pondok di sawah. Saat itu juga dia meninggalkan pekerjaannya dan langsung pergi membantu dengan senang hati mencarikan bambu.

Suatu saat ketika saya ikut dia pergi ke hutan untuk pertama kali diajarin praktek cara membuat perangkap burung. Saat itu dia memberi nasehat yang sampai hari ini saya ingat dan tak kan pernah lupa. “Nak, sering-seringlah untuk berbuat baik, satu hari satu kebaikan”. Karena saat itu saya masih kecil jadi belum terlalu tahu kedalaman makna nasehat dari beliau itu.

Ketika lulus SD, keluarga kami pun pindah ke kota, karena di desa kami tidak ada SMP. Masih segar diingatan saya, Julak acut banyak memberi kami bekal beras, buah, sayur dan ikan. Betapa mulianya hati beliau dan betapa sedihnya hati kami ketika harus berpisah dengan tetangga kami yang budiman.

Pada saat SMA, saya pernah ikut kemah bakti pramuka di taman hutan rakyat, ketika itu regu kami tersesat dari rute yang ditetapkan. Tersesat di hutan sedikit membuat kami panik karena kehabisan bekal. Untung saya mengenali tumbuhan dan buah hutan akhirnya kami pun terselamatkan. Saat itu juga saya jadi teringat dengan tetangga saya dulu.

Sekarang saya sudah bekerja dan begitu banyak yang sudah saya lalui dalam kehidupan ini dan saya baru mengerti kedalaman makna dari nasehat Julak Acut tentang betapa indahnya berbagi kebaikan kepada sesama. Bahkan ajaran dia untuk berbuat satu hari satu kebaikan ada di sebuah buku motivasi.

Sekarang beliau sudah tiada namun kebaikan beliau selalu kan diingat setiap orang. Semoga arwah beliau diberi tempat yang sebaik-baiknya disisi Tuhan Yang Maha Esa. Amin (*)

Salam Kompasiana

…………………………..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline