Disaat hatiku hancur, kau begitu berjasa dalam kisahku. Menguatkanku dari kehancuran-kehancuran. Kisahmu tentang kesucian cinta telah kuanut. Namun aku tak setangguh dirimu. Tak sekuat dirimu guruku. Aku begitu hancur melihat kekasih berlabuh bersama orang lain. Dan aku menyesal aku gagal menjadi muridmu. Menenungi kisahmu. Wahai kekasih.
Kisah penghianatan, kisah kegagalan dan kesisah kepergian telah menghiasi hdupku. Jejak langkahmu yang kuanut. Dan kini terasa berat wahai sang guru. Ketika kepergian demi kepergian itu. Aku selalu berguru padamu. Namun, secepat ini ragamu pergi. Dan aku mulai kehilangan kendali.
Meskipun gelombang bisa saja mengisi hati. Namun aku tak tahu tanpa ragamu akankah gelombang itu akan sekuat seperti, ketika raga dan jiwamu menyatu. Wahai kekasih. Aku sedih bukan karena kepulangan, tapi aku sedih atas diriku sendiri yang tak bisa menampik kemelekatan.
Hari dini disaat sehancur-hancurnya kepergian seorang kekasih. Kau juga pergi. Akankah ini menjadi titik terlemahku ? Mendapati dua orang yang kucintai menapak jalan sendiri. Tuhan. Ku tahu, aku tak bisa sekuat guruku. Tapi aku ingin engkau membantu menguatkan aku. Atas izinmu, jadilah jadilah jadilah.
Selamat jalan dua kekasih hati yang setiap kali mengisi perjalanan hidupku. Selamat menempuh perjalanan baru. Aku tetap mencintai kalian dalam keheingan ku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H