Belum lama ini kita diberitakan bahwa ada taruna STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) yang meninggal karena dipukul seniornya saat inisiasi unit kegiatan drum band. Tidak lama setelahnya, kita mendengar berita yang lebih menyedihkan lagi, bahwa tiga mahasiswa kampus UII (Universitas Islam Indonesia) juga meninggal secara tidak wajar setelah mengikuti acara Great Camping XXXVII yang diadakan oleh Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) UII dimana acara tersebut sepertinya juga merupakan kegiatan inisiasi anggota baru Mapala UII yang dikemas sebagai diksar (pendidikan dasar) Mapala.
Disini saya tidak akan banyak menyinggung kronologis kasus tersebut karena sudah banyak yang meliputnya.
The Stanford Prison Experiment Dan Hak Menyiksa
Pada tahun 1971 ada sebuah eksperimen di Universitas Stanford, Amerika Serikat yang lebih lanjut disebut sebagai Stanford Prison Experiment. Dalam eksperimen tersebut dibagi dua kelompok mahasiswa (semuanya pria). Yang satu berperan sebagai sipir, yang satunya berperan sebagai tahanan. Menariknya disini, meskipun semua partisipan eksperimen tersebut adalah mahasiswa, yang berperan sebagai penjaga pada akhirnya ‘tega’ untuk menyiksa para ‘tahanan’ secara fisik maupun psikologis. Hanya karena mereka diberikan hak untuk melakukan hal tersebut. Eksperimen ini mau tidak mau berakhir setelah enam hari dan meninggalkan trauma berat pada partisipan tahanan.
Jika dilihat dari sisi psikologis kelompok penyiksa, menurut saya ada persamaan yang bisa saya simpulkan dari eksperimen tersebut dengan kasus yang menimpa Mapala UII dan STIP.
Resiko Kehilangan Jiwa Pada Surat Bermaterai
Pada saat anggota baru Mapala UII mendaftar untuk mengikuti acara Great Camping XXXVII, mereka diwajibkan untuk menandatangani surat bermaterai yang pada intinya paham pada segala resiko yang terjadi pada acara tesebut. Dalam sebuah artikel malah ada yang mengatakan bahwa resiko kehilangan jiwa pun termasuk ada pada poin surat tersebut.
Hak Menyiksa Yang Dimiliki Para Senior Mapala UII
Dengan berbekal surat yang ditandatangani para anggota baru serta hak yang diberikan oleh birokrat kampus UII, para senior ini seakan lupa bahwa tindak penganiayaan adalah sebuah tindakan yang ilegal. Bahwa tindakan penganiayaan apalagi yang berujung pada kematian adalah tindakan melawan hukum yang memiliki sanksi sangat berat.
Disinilah saya melihat persamaan penyiksaan para senior ini dengan para sipir Stanford Prison Experiment. Semuanya berkacamata kuda, hanya fokus pada kekuasaan yang mereka miliki. Mungkin malah melepas semua stres dan depresi yang mereka miliki lalu melampiaskannya kepada para mahasiswa-mahasiswa tak berdaya ini. Mereka sama sekali tak terbersit dalam pikirannya bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi. Dalam kasus Mapala UII, kekuasaan senioritas ini menyebabkan tiga orang mahasiswa kehilangan nyawanya, serta kesedihan mendalam bagi keluarga mereka.
Kehilangan satu nyawa dalam sebuah kegiatan mahasiswa sudah terlalu banyak apalagi kehilangan tiga, sangatlah tidak wajar.