Pendengung atau buzzer sepertinya sudah menyatu dengan dinamika politik tanah air. Sejalan dengan penetrasi dan penggunaan media sosial yang semakin masif. Saat ini, buzzer tampaknya sudah menjalankan peran yang signifikan dalam diskursus publik, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Termasuk dalam konteks ajang pesta demokrasi pilpres 2024.
Pendengung mungkin kita bisa pilah dalam dua kelompok. Pertama, pendengung yang rasional. Kelompok ini adalah mereka yang mendengungkan dan menyebarkan sebuah informasi berdasarkan fakta dan data yang jelas. Di sana tidak ada manipulasi informasi. Konten yang diviralkan tidak mengada-ada.
Konten yang didengungkan itu bisa berupa prestasi dan kesuksesan, maupun kelemahan atau kegagalan seseorang. Dalam konteks kontestasi pilpres, informasi mengenai rekam jejak calon sangat pas untuk diviralkan. Baik itu kinerja calon yang dianggap sukses atau bagus, maupun kegagalan dan rekam jejaknya yang buruk.
Sebuah tindakan rasional, misalnya, ketika pendukung Ganjar Pranowo menyebarluaskan informasi mengengenai prestasi gubernur Jawa Tengah itu. Dan rasional pula ketika para buzzer ini mendiamkan kegagalan atau kelemahan Ganjar Pranowo. Alur nalar yang sama berlaku untuk pendengung Prabowo Subianto dan Anis Baswedan.
Tindakan rasional juga berlaku untuk upaya penyingkapan kelemahan dan kegagalan lawan politik. Misalnya, pendukung Anis Baswedan berhak untuk "menyerang" dengan mendengungkan kinerja buruk dan kekurangan Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto. Buzzer Prabowo dan Ganjar bisa melakukan hal yang sama pula.
Saling serang berdasarkan data dan fakta antara buzzer dari para calon presiden itu akan jadi sumber informasi yang berharga bagi masyarakan. Itu jadi rujukan untuk menentukan pilihan saat pencoblosan di pilpres 2024 tahun depan.
Kedua, pendengung yang irasional. Buzzer jenis ini manipulatif. Mereka menyebarkan informasi hoaks. Kepalsuan disajikan seolah-olah sebagai fakta atau berita yang sebenarnya. Demi memenangkan pasangan sosok yang didukung, buzzer secara sengaja memproduksi isu dan data manipulatif untuk mendiskreditkan sosok calon lain.
Lalu, pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengetahui informasi itu sesuai dengan fakta dan data? Bagaimana mengenal sebuah informasi itu hoaks dan manipulatif?
Pilihan sikap yang paling sederhana adalah "mengambil jarak". Artinya, informasi yang kita dapatkan dari para buzzer jangan langsung diterima dan dipercaya begitu saja. Setiap data perlu dicurigai dengan pertanyaan-pertanyaan kritis. Apakah informasi itu masuk akal sehat atau tidak.
Sikap kritis itu harus dibarengi dengan kemauan dan kerelaan untuk periksa silang semua data-data dan informasi yang ada. Ini sangat mudah dilakukan dengan berselancar via mesin pencari seperti google dan bing. Bisa juga menggunakan data-data dari media arus utama. Atau informasi dari situs otoritatif seperti Badan Pusat Statistik atau situs-situs yang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H