Lihat ke Halaman Asli

Relly Jehato

Senang Menulis

Kritik untuk Jokowi

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jokowi sebagai presiden tampaknya sudah akrab dengan berbagai kritik. Kecaman tajam mulai mengalir sejak pemilihan menteri-menteri yang dinilai "masih" berbau politik dagang sapi/balas budi.

Salah satu yang paling disorot adalah pemilihan pemimpin lembaga penegak hukum yang dinilai tidak pro-pemberantasan korupsi, seperti pemilihan Jaksa Agung yang berasal dari partai dan pemilihan Kapolri yang kontroversinya masih berlanjut sampai saat ini.

Sebetulnya kritik untuk Jokowi itu adalah menu wajib yang harus kita berikan kepada seorang presiden. Betapa tidak, salah satu jantung dari proses demokratisasi itu adalah kritik. Biasanya kritik selalu dilihat se bagai langkah awal sebuah perubahan dan perbaikan ke arah yang lebih baik.

Dalam konteks pemikiran seperti itu, masyarakat atau kita memang dituntut untuk tetap dan terus "berteriak dan mengkritisi" kinerja presiden.

Melihat manfaat dari kritik ini, maka pendukung Jokowi sebaiknya jangan membela Jokowi secara membabi buta seolah-olah Jokowi seorang "dewa" yang tak pernah salah atau luput dari sikap keliru.

Hanya saja, saat mengkritik Jokowi, ada tiga hal yang barangkali perlu dan penting kita perhatikan.

Pertama, kritik itu mesti bisa dipertanggungjawabkan. Bukan asal kritik atau asal bunyi (asbun). Minimal, kritik  itu punya basis argumentasi yang masuk akal dan tahan terhadap gugatan yang berasal dari argumentasi/perspektif lain.

Kedua, kritik sebaiknya disampaikan secara santun. Mengapa ini penting? Kesantunan dalam menyampaikan kritik menunjukan kita yang memberi kritik adalah manusia yang beradab, bukan bar- bar. Dari kecil kita sudah dididik untuk berbicara santun, bukan?

Tiga, jangan mengkritik dengan rasa benci dan dendam. Kalau kita mengkritisi Jokowi dengan rasa benci dan dendam, maka yang akan keluar dari mulut kita atau yang tertuang dalam tulisan atau komentar kita hanya "umpatan dan caci" maki. Jelas, umpatan dan caci maki adalah bentuk primitif dari laku adat kita sebagai manusia.

Patut diingat, rasa benci dan dendam akan membuat kita melihat Jokowi selalu dari sisi negatif. Adilkah itu? Jelas tidak. Sikap seperti itu justru menelanjangi kekerdilan nurani kita. Hati-hati juga, rasa benci dan dendam yang akut bisa menjadi salah satu indikasi bahwa kita punya masalah psikologis.

Yang harus kita mahfum adalah saat ini presiden masih harus menghadapi para predator politis yaitu aparat birokrasi, peradilan, kepolisian, partai politik dan parlemen, serta dunia bisnis, yang masih sarat praktek KKN.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline