Lihat ke Halaman Asli

Reliska WinkaIssafila

Penyuka aksara

Belajar dari Kisah A Eril: Di Manakah Panggung Utama Kita Terletak?

Diperbarui: 15 Juni 2022   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://nasional.tempo.co/read/1597190/emmeril-kahn-mumtadz-hilang-mui-jawa-barat-minta-masyarakat-salat-gaib

Pernah enggak sih kamu berpikir bahwa dunia yang kita lihat saat ini, terutama di sosial media, adalah dunia yang gemerlapan seperti panggung sebuah pentas seni atau pertunjukan? Belakangan, saya sedang sering memikirkan hal itu. Bukan hanya memikirkan, tapi juga resah. Hehe. Gimana memangnya?

Coba deh perhatikan, saat ini sepertinya kita mudah sekali ya untuk berdiri di "panggung" dan menjadi pusat perhatian. Dengan mengunggah sesuatu yang sedang ramai dilakukan atau dibicarakan orang lain, maka kita bisa mendapatkan perhatian dari banyak orang, bahkan dari yang tidak kita kenal. Tidak hanya itu, menjadi "seseorang" pun nampak lebih mudah di hari ini, hingga label sebagai founder, CEO, bahkan influencer sekali pun menjadi bisa dijangkau oleh siapapun. Tak peduli bagaimana kualitas diri yang sebenarnya, label tersebut mudah sekali untuk disematkan, setidaknya di bio Instagram atau di poster-poster kegiatan. Oleh karenanya, menjadi sosok yang tampil, dikenal, dan juga mem-branding diri dengan label tertentu semakin lama semakin terasa biasa saja. "Panggungnya" sudah terlalu gemerlap, hingga lama-lama kita pun menjadi silau, astaghfirullah!

Tidak bisa kita pungkiri, banyak orang mengejar untuk bisa berdiri di "panggung" itu. Alhasil, entah dari mana datangnya, semacam ada keyakinan di dalam diri bahwa "Saya harus tampil, saya harus bisa mendapatkan perhatian, saya harus terkenal" dan seterusnya. Tanpa sadar, banyak orang kemudian berlomba-lomba untuk menjadi yang paling sering tampil, paling banyak mendapatkan perhatian, dan juga paling terkenal.

Hmm, apa hanya saya yang resah mengenai hal ini? Tapi, entah mengapa, melihat hal ini (pun juga karena saya menjadi pengguna aktif sosial media), saya jadi ingin bertanya kepada diri sendiri, "Dimanakah panggung utamamu sebenarnya berada?"

Sebagai Manusia, kita tentu meyakini bahwa kita adalah seorang hamba. Maka, dalam setiap peran apapun yang saat ini kita emban, ujung mulanya selalu berada pada peran kita sebagai seorang hamba. Saat kita masih menjadi anak, kita adalah hamba. Saat sudah menjadi istri, kita adalah hamba. Saat sudah menjadi ibu, kita juga hamba. Lalu apa kaitannya dengan panggung dan sosial media tadi? Well, siapapun dan dengan cara apapun kita melabel diri, pada hakikatnya kita adalah hamba, yang harus tunduk patuh pada segala amanah dan peran apapun yang Allah sematkan atas diri kita.

Saya teringat dengan kejadian yang menimpa keluarga pak Ridwan Kamil. Putranya yakni Emmeril Kahn Mumtadz yang akrab di sapa A Eril dinyatakan terbawa arus sungai Bern ketika berenang besama adik dan temannya. Waktu demi waktu berlalu, pencarian masih berlanjut. Hingga saya yang belum mengenalnya pun tergerak untuk mencari tahu, sungguh pemuda yang luar biasa. Aktivis muda yang memiliki jiwa kemanusiaan sangat tinggi. Kebaikan yang ia tutupi, semuanya terbuka dengan sangat memotivasi. Padahal jauh sebelum ini, ia bisa saja menampilkan ke publik. Tentang kebaikannya, aktivitasnya, statusnya yang merupakan anak gubernur. Yang terjadi justru sebaliknya, ia menutup rapat dari 'perhatian dunia'. Namun, hingga akhir perjuangannya di dunia, ia tetap memilih mengutamakan yang lain, yaitu menolong adik dan temannya sebelum terseret oleh arus sungai Bern. 

Ini baru secuplik cerita tentangnya, sedang diluar sana banyak artikel yang mengulik kebaikannya. Kesehariannya yang dekat dengan keluarga, menyayangi keluarga, dan memuliakan orang tua seharusnya membuat kita sadar bahwa peran terdekat yang kita miliki hari ini barangkali adalah peran sebagai seorang anak. Kita punya amanah dari Allah untuk berbuat baik dan memuliakan orangtua kita. Bahkan, pada kaki ibunda kitalah syurga kita terletak. Maka, sebelum apapun yang kita lakukan di luar rumah, penting bagi kita untuk bertanya kepada diri, "Apakah saya sudah menunaikan amanah dari Allah sebagai anak kepada orangtuanya?" Jika peran ini tidak tunai, maka apalah artinya kita terkenal, punya banyak followers, menjabat sebagai ini dan itu, mendapatkan banyak tepuk tangan, dll? Tunainya amanah utama adalah kunci baiknya peran pada amanah-amanah yang lain.

Sayangnya, kebanyakan manusia hari ini (dan barangkali kita pun masih termasuk di dalamnya), kencang berlari mengejar panggung-panggung kiasan yang kita kira akan menjadi sumber kebahagiaan dan kebanggaan. Padahal, amanah prioritas di panggung-panggung utama belum tertunaikan dengan baik. Sekali lagi, ini bukan berarti kita tidak boleh mengembangkan diri, tetapi justru energi dan kebaikan yang kita dapatkan untuk mengembangkan diri itu terletak pada tunainya terlebih dahulu tugas utama. Tak masalah jika mungkin kita tidak terlihat sebagai yang paling ini dan paling itu di luar, jika tugas utama telah kita tunaikan, maka insyaAllah kita telah menang di hadapan Allah.


Wallahu'alam bishawab. Tulisan ini sejujurnya adalah refleksi penting, nasehat, sekaligus catatan perjalanan bagi diri saya sendiri. Semoga kita dimampukan oleh Allah untuk menyadari peran dan panggung utama yang kita miliki, agar kita tidak melompati sesuatu yang sebenarnya harus kita jejaki. Jika pun kita menjadi sosok yang atas seizin-Nya banyak maju ke panggung-panggung lain di luar peran utama, semoga kita sebelumnya telah menunaikan amanah utama kita terlebih dahulu.

Barakallahu Fiik!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline