Dalam era globalisasi yang semakin pesat, interaksi antarbudaya menjadi hal yang tak terelakkan. Media sosial, perantauan, dan migrasi membawa kita bertemu dengan berbagai macam individu dari latar belakang yang berbeda. Namun, dibalik indahnya perbedaan tersebut, terkadang muncul gesekan yang dapat memicu toxic friendship atau persahabatan racun. Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Indonesia yang terkenal dengan kebhinekaannya.
Benturan Budaya : Kesalahpahaman Kultural
Perbedaan kultur seringkali menjadi akar dari kesalahpahaman dalam persahabatan. Apa yang dianggap suatu hal yang normal dalam satu budaya mungkin justru ofensif bagi budaya lain. Misalnya, yang sering saya hadapi adalah saat diajak menelusuri kuliner Surabaya oleh beberapa teman saya. Bagi mereka, makanan yang disajikan adalah makanan lezat yang wajib dicoba. Namun bagi saya yang terbiasa dengan kuliner Sunda, tampilan dan aromanya cukup mengejutkan. Ketika saya ragu-ragu untuk mencicipi, salah satu teman saya berkomentar. "Idih, masa nggak suka?". Komentar yang mungkin dimaksudkan sebagai candaan itu terasa menusuk. Hanya karena memiliki preferensi kuliner yang berbeda saya dikomentari. Ini adalah salah satu bentuk microaggression yang saya alami.
Ini merupakan kesalahpahaman kultural yang sering terjadi karena kurangnya pengetahuan dan empati terhadap budaya lain hingga berujung pada judgement yang tidak adil dan akhirnya menciptakan toxic relationship. Sikap ini dapat merusak hubungan, sebab ketika satu pihak merasa dinilai berdasarkan stereotip negatif, rasa saling percaya dan keterbukaan menjadi sulit untuk terjalin. Komentar-komentar seperti diatas bisa membuat seseorang harus mengubah kepribadiannya hanya untuk diterima. Hal-hal tersebut, jika dibiarkan bisa merusak fondasi persahabatan dan menciptakan lingkungan yang tidak nyaman.
Mencari Harmoni dalam Keberagaman Menuju Lintas Budaya yang Sehat
Meski ada tantangan, persahabatan lintas budaya yang harmonis bukanlah hal yang tidak mungkin. Beberapa langkah proaktif bisa dilakukan untuk menghindari gesekan-gesekan seperti:
1. Komunikasi
Berani mengungkapkan perasaan kepada orang ketika mereka membuat komentar yang menyinggung budaya lain.
2. Empati dan toleransi
Alih-alih mencoba mengubah satu sama lain, marilah kita berusaha untuk menghargai setiap perbedaan dan kultur karena masing-masing memiliki nilai dan tradisi yang unik. Dengan menghargai perbedaan tersebut seharusnya kitab isa membangun hubungan yang harmonis dan saling mendukung.
3. Refleksi diri
Pentingnya menyadari bahwa perbedaan kultur dalam pertemanan bisa menjadi sumber ketegangan, tetapi juga bisa menjadi peluang untuk belajar dan tumbuh. Toxic friendship akibat perbedaan budaya bukan berarti akhir dari sebuah hubungan, asalkan ada keinginan dari kedua belah pihak untuk saling memahami.
Kesimpulan
Perbedaan kultur memang bisa memicu toxic friendship, namun dengan kesadaran diri, komunikasi yang baik, dan rasa saling menghargai, keberagaman justru bisa menjadi sebuah kekuatan. Persahabatan lintas budaya yang sehat tidak hanya memperluas wawasan tetapi juga membangun masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.
Dalam konteks Indonesia dengan berbagai suku, ras, budaya, etnis, dan agama, kemampuan mengatur keberagaman ini menjadi kunci penting dalam menjaga persatuan. Sebagaimana semboyan yang telah diciptakan oleh leluhur yaitu Bhineka Tunggal Ika "Berbeda-beda tetapi tetap satu jua", perbedaan seharusnya tidak memecah-belah tapi justru menyatukan dalam harmoni keberagaman yang indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H