Lihat ke Halaman Asli

Dampak Whistleblowing System dalam Reformasi Pajak di Masa Pandemi Covid-19

Diperbarui: 13 Agustus 2021   08:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sidang Terbuka Promosi Doktor Agustine Dwianika, Selasa (27/07/2021). Dokpri

Bicara mengenai reformasi pajak, tentu lekat dengan upaya pemulihan ekonomi dan penguatan kepatuhan pajak. Banyak hal yang dilakukan pemerintah pada agenda satu ini. Terlebih adanya beberapa kasus penyelewengan pajak yang juga melibatkan pegawai pajak, tentu hal ini mendorong kementrian keuangan untuk melakukan pencegahan lebih serius. Salah satunya membuat saluran pelaporan indikasi kejahatan pajak yang mungkin dilakukan baik oleh pejabat pajak maupun oleh Wajib Pajak (WP) yaitu pada wise.kemenkeu.go.id.

Bicara terkait Whistleblowing System  pada aspek perpajakan di Indonesia, maka saluaran wise ini merupakan pengejawantahan dari  Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2011 tanggal 19 Agustus 2011 tentang Kewajiban Melaporkan Pelanggaran dan Penanganan Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing) di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (Perdirjen Nomor PER22/PJ/2011). Sistem ini dibangun agar mencegah dan mengurangi pelanggaran yang terjadi, tentu melibatkan masyarakat dalam fungsi kontrol yang lebih optimal.  Isu  mengenai optimalisasi kebijakan ini diteliti lebih lanjut oleh Agustine Dwianika dan berhasil dipertahankan dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Ekonomi Konsentrasi Akuntansi pada Selasa, 27 Juli 2021 lalu.

Doktor Agustine dengan topik materi  Optimalisasi Sistem Kepatuhan Pajak, Selasa (27/07/2021).

Dalam penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa hasil survei pada 216 manajer perusahaan manufaktur, bahwa aspek sistem berupa pemahaman  saluran Wise.go.id berpengaruh kepada tingkat kepatuhan pajak perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa aspek 5W 1H dalam saluran tersebut sangat perlu dipahami dan kemudian WP mengetahui jaminan kerahasiaan dan perlindungan hukum yang diberikan negara, apabila mereka berkontribusi sebagai whistleblower. Disamping itu, aspek normatif dan strategis juga sangat berperan dalam satu kesatuan pengukuran efektifitas agenda Reformasi Pajak ini, dalam upaya meningkatkan kepatuhan pajak perusahaan manufaktur di Indonesia.  Hal ini sangat penting bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan strategi reformasi pajak  yang lebih relevan di masa pandemi covid-19 ini. Dan kemudian bagi manajer perusahaan manufaktur, dapat berkontribusi menekan praktik kejahatan pajak dengan menjadi whistleblower dengan optimalisasi saluran ini.

Hal yang memotivasi seseorang untuk menjadi seorang yang dijuluki sebagai "Whistleblower"  tidak dapat dipastikan secara pasti. Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa dengan telah adanya edukasi pembelajaran perpajakan sejak dini, hal ini akan meningkatkan kesadaran masyarakat akan "kebenaran" dalam dunia perpajakan seperti melalui edukasi di sekolah, pelatihan-pelatihan pajak  antara lain Brevet, serta seminar-seminar perpajakan. Dengan adanya peran aktif pemerintah dalam mempublikasi fasilitas seperti ini, maka pemahaman masyarakat terhadap pelanggaran dalam dunia perpajakan juga akan meningkat sehingga fasilitas yang disediakan pemerintah sebagai "Whistleblower" akan membuat tingkat ketaatan pajak di Indonesia menuju tingkat  level yang baru.

Penulis :

  • Christophorus Raymond  -Mahasiswa Universitas Pembangunan Jaya 
  • Doktor Agustine Dwianika -Dosen Pembimbing Universitas Pembangunan Jaya 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline