Lihat ke Halaman Asli

08.08.08 08:08 Gerbong 8

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku berdiri diantara para komuter kereta penuh sesak.  Didalam gerbong delapan, bersama dengan laju para manusia-manusia yang mempunyai kepentingan duniawi masing-masing, menuju arah Jakarta-Kota. Pemberhentian di stasiun Cikini masih harus melewati kira-kira delapan stasiun lagi. Air conditioner di dalam kereta yang ku tumpangi tidak begitu terasa karena sudah bercampur baur dengan hawa panas manusia dan kumpulan gas CO2 di dalam kereta. Ketika berhenti di stasiun ketiga, aku terpana dengan seseorang yang berada di depanku. Tak ada yang menghalangi pandanganku melihat dia. Aku perhatikan dia dengan seksama dari jarak pandang kurang lebih 50 centimeter. Jarak yang lumayan dekat, tetapi ia tidak sadar akan keberadaanku. Ingin sekali aku berkenalan dan menyapa dirinya, wahai gadis cantik di seberang mata.

Aku bertekad bulat, bagaimanapun caranya harus berkenalan dengan dia. Gadis cantik yang sangat mempesona, dengan mata yang indah, bibir tipis dan hidung yang sempurna. Lebih dari itu, ia sepertinya mempunyai kelebihan lebih dari fisiknya yang hampir sempurna, walaupun saat ini yang kulihat ia hanya berpakaian biasa saja. Hanya memakai rok terusan bermotif bunga, dipadankan dengan kardigan berwarna coklat muda. Rambutnya yang hitam digerai seadanya. Dengan membawa tas jinjing berwarna coklat muda, yang ia sisipkan dengan MP3 player dan headset di telinganya. Sesekali ia ikut bergumam kecil mendendangkan lagu yang ia dengarkan.

Sebelum sampai di stasiun Cikini, aku harus berkenalan dan jangan sampai ia turun di stasiun sebelum Cikini. Aku ingin berkenalan, tetapi aku bingung untuk membuka pembicaraan. Aku memakai jam tangan, jadi tidak mungkin aku menanyakan waktu kepada dirinya. Cara pendekatan konservatif sepertinya. Pura-pura bertanya ini sudah sampai stasiun mana, tepat di depanku berdiri seorang penjaga kereta. Tidak mungkin rasanya untuk menanyakan hal yang tidak logis. Aku terus memutar otak untuk berusaha berkenalan dengannya.

Kereta sebentar lagi memasuki stasiun Tebet. Gadis cantik itu mulai bersiap-siap untuk keluar dari kereta. Aku masih saja mencari cara untuk berkenalan dengannya. Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, apakah langsung berkenalan saja? Pagi hari sudah melakukan hal nekad. Biarlah. Tetapi, malu juga rasanya kalau ia memandangku dengan skeptis. Nanti ia akan mengira aku seorang tukang tipu yang suka menghipnotis korbannya di kendaraan umum. Lalu bagaimana? Aku harus berkenalan dengannya. Karena aku merasa, dia gadis yang sangat berbeda. Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?

Sampailah di stasiun Tebet. Oke, kali ini aku benar-benar putus asa. Yasudahlah, mungkin aku tidak berjodoh untuk berkenalan dengan dirinya. Tetapi entah kenapa, ia menjatuhkan sesuatu di lantai kereta. Itu terjadi ketika ia tergesa-gesa memasukkan MP3 player dan headset ke dalam tasnya. Sebuah buku. Buku novel sepertinya yang ia jatuhkan. Novel itu tidak begitu tebal memang, jadi mungkin ia tidak begitu merasakan jatuhnya novel itu. Novel karya seorang novelis yang lumayan terkenal. Aku segera mengambil novel itu, kemudian membuka lembaran yang pertama. Tertera nama dan nomor handphone pemilik buku ini. Wajahku sumringah, akhirnya mendapatkan cara untuk berkenalan dengannya.

--bersambung--




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline