Perhutanan sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilakukan didalam kawasan hutan negara atau hutan adat atau hutan hak yang dilaksanakan oleh masyarakat adat atau masyarakat setempat sebagai pelaku utama meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (Kuncoro, 2018). Ruang lingkup perhutanan sosial mencakup 5 jenis hutan, yaitu hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan dan hutan adat.
Perhutanan sosial sendiri memiliki dampak, salah satunya yaitu dampak secara tak langsung. Dampak secara tak langsung yang dapat dirasakan bagi daerah diseputar hutan yaitu akan mendapat manfaat dari penciptaan kerja
(menurunkan pengangguran), meningkatnya nilai tambah dan pertumbuhan
ekonomi, serta menurunkan ketimpangan. Perhutanan sosial sejatinya sudah dirintis sejak lama melalui berbagai bentuk kegiatan, baik berupa program tumpangsari di Perhutani, maupun PMDH oleh HPH/HTI.
Pemerintah pusat pada orde baru, mulai giat membuka ruang untuk hak yang lebih besar bagi masyarakat lokal melalui Undang-Undang tentang Kehutanan no. 41 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 JO Nomor 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Nah, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012, Wilayah Adat diakui dan bukan menjadi bagian dari Kawasan Hutan Negara. Sebagai tindak lanjut, pemerintah mengeluarkan kebijakan terbaru yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial sebagai revisi atas peraturan-peraturan program perhutanan sosial sebelumnya. Permen LHK ini dijelaskan secara rinci mengenai skema perhutanan sosial, mulai dari penyederhanaan mekanisme proses usulan sampai dengan terbitnya izin.
Melalui terbitnya peraturan tentang perhutanan sosial dan adanya beberapa perubahan dalam kebijakan diharapkan dapat merealisasikan target RPJMN Tahun 2015---2019 di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo terkait Pemberian Akses Kelola Kawasan Hutan oleh masyarakat seluas 12,7 juta ha. Mengingat bahwa program perhutanan sosial ini memiliki kontribusi terhadap perekonomian nasional melalui pengurangan kemiskinan tingkat rumah tangga kelompok tani pengelola perhutanan sosial. Kajian ini memiliki tujuan, yaitu ingin mengetahui dan menganalisis seberapa jauh dampak yang diberikan oleh perhutanan sosial terhadap pedapatan masyarakat atau petani pemegang Ijin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm).
Dampak Perhutanan Sosial Terhadap Pendapatan Masyarakat
Perhutanan sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilakukan didalam kawasan hutan negara atau hutan adat atau hutan hak yang dilaksanakan oleh masyarakat adat atau masyarakat setempat sebagai pelaku utama meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (Kuncoro, 2018). Ruang lingkup perhutanan sosial mencakup 5 jenis hutan, yaitu hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan dan hutan adat.
Perhutanan sosial sendiri memiliki dampak, salah satunya yaitu dampak secara tak langsung. Dampak secara tak langsung yang dapat dirasakan bagi daerah diseputar hutan yaitu akan mendapat manfaat dari penciptaan kerja
(menurunkan pengangguran), meningkatnya nilai tambah dan pertumbuhan
ekonomi, serta menurunkan ketimpangan. Perhutanan sosial sejatinya sudah dirintis sejak lama melalui berbagai bentuk kegiatan, baik berupa program tumpangsari di Perhutani, maupun PMDH oleh HPH/HTI.
Pemerintah pusat pada orde baru, mulai giat membuka ruang untuk hak yang lebih besar bagi masyarakat lokal melalui Undang-Undang tentang Kehutanan no. 41 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 JO Nomor 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Nah, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012, Wilayah Adat diakui dan bukan menjadi bagian dari Kawasan Hutan Negara. Sebagai tindak lanjut, pemerintah mengeluarkan kebijakan terbaru yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial sebagai revisi atas peraturan-peraturan program perhutanan sosial sebelumnya. Permen LHK ini dijelaskan secara rinci mengenai skema perhutanan sosial, mulai dari penyederhanaan mekanisme proses usulan sampai dengan terbitnya izin.
Melalui terbitnya peraturan tentang perhutanan sosial dan adanya beberapa perubahan dalam kebijakan diharapkan dapat merealisasikan target RPJMN Tahun 2015---2019 di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo terkait Pemberian Akses Kelola Kawasan Hutan oleh masyarakat seluas 12,7 juta ha. Mengingat bahwa program perhutanan sosial ini memiliki kontribusi terhadap perekonomian nasional melalui pengurangan kemiskinan tingkat rumah tangga kelompok tani pengelola perhutanan sosial. Kajian ini memiliki tujuan, yaitu ingin mengetahui dan menganalisis seberapa jauh dampak yang diberikan oleh perhutanan sosial terhadap pedapatan masyarakat atau petani pemegang Ijin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H