Lihat ke Halaman Asli

Memahami Sosiologi Lingkungan Demi Kelestarian Alam

Diperbarui: 13 Maret 2016   21:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pixabay.com"][/caption]Bila kita definisikan lingkungan hidup mengacu pada Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah disahkan pada tanggal 19 September 1997 merupakan revisi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1982. Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan,

“Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”

Lingkungan hidup sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tersebut merupakan suatu sistem yang meliputi lingkungan alam hayati, lingkungan alam nonhayati, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial. Semua komponen-komponen lingkungan hidup seperti benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup berhimpun dalam satu wadah yang menjadi tempat berkumpulnya komponen itu disebut ruang.

Dalam kajian ilmu sosial sosiologi lingkungan merupakan cabang ilmu sosiologi yang termasuk baru. Dimana bukan lagi mengkaji tentang hubungan antarmanusia atau kehidupan sosial melainkan mengkaji tentang hubungan manusia dengan lingkungan. Rachmad K. Dwi Susilo dalam bukunya “Sosiologi Lingkungan” merunutkan rentang tahun munculnya kajian tentang lingkungan. Yaitu tahun 1970, para filosof hanya mengkaji pada wilayah etika. Kemudian di akhir 1970, ilmuan politik menyelidiki tentang proses pemerintah dan pembangunan kapasitas institusional. Pertengahan awal tahun 1980, psikologi masuk pada kajian tentang kesadaran ekologis dan perilaku personal terhadap persoalan lingkungan.

Berdasarkan perkembangannya konsep sosiologi lingkungan yang dibangun oleh Dunlap, Catton dan Schnaiberg memiliki beberapa kondisi umum. Mengutip analisa Rachmad mengenai konsep dua perspektif tersebut sebagai berikut.

  1. Kedua perspektif meliputi ontology realis yang dinamis dimana secara tidak langsung ctor manusia memainkan peranan sentral.
  2. Kedua-duanya memiliki konsepsi yang relative tunggal tentang lingkungan seperti: lingkungan dapat dicirikan dalam cara yang terkumpul seperti sebuah tingkatan yang lebih banyak atau lebih sedikit dari kelangkaan, degradasi, keterbatasan, penipisan, dsb.
  3. Kedua konsep merupakan varian konsep kesatuan kelangkaan lingkungan.
  4. Teori keduanya menjelaskan bahwa dinamika penting masyarakat kapitalis industrial telah menuju kea rah degradasi lingkungan.
  5. Kedua gaya analisis ini sesuai dengan pemahaman substruktur material pada masyarakat, di atas kepercayaan dan perilaku.

Dari penjelasan di atas sosiologi lingkungan dapat dipahami sebagai asas mutualisme, dimana manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain. Atau mungkin asas parasitisme, dimana antara keduanya menguntungkan yang satu dan merugikan yang lainnya. Istilah ini mungkin tidak asing kita dengar dalam wilayah ilmu biologi. Yang menjadi keprihatinan kita adalah ketika hubungan parasitisme menjadi hal yang biasa. Orang menebang pohon tidak merasa berdosa, orang membuang sampah sembarangan sudah biasa, bahkan orang yang mengeksploitasi alam demi harta tidak masuk penjara. Dimana pemahaman kita terhadap lingkungan kawan?

Walhi mencatat, meningkatnya bencana ekologis pada 2013 baik frekwensi, intensitas dan sebaran telah menunjukan kolapnya ekosistem. Daerah-daerah yang masif melakukan eksploitasi hutan untuk tambang dan perkebunan skala besar, terbukti paling banyak dilanda bencana ekologis. Di Sumatera, Aceh merupakan propinsi tertinggi yang mengalami bencana. Dari 23 kabupaten/kota tidak satupun yang luput dari bencana, dan bencana terbesar hadir pada wilayah yang mengalami deforestasi seperti di Aceh Barat dan Aceh Timur. Demikian pula yang terjadi di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Sementara daerah dengan tingkat eksploitasi kecil dan kondisi alam masih terjaga, seperti di Maluku Utara. Daerah ini terbukti merupakan propinsi dengan kejadian dan risiko bencana terkecil secara nasional.

[caption caption="walhi"]

[/caption]

Kawan, saatnya kita memberikan pemahaman sosiologi lingkungan kepada seluruh manusia. Baik itu rakyat kecil, pengusaha, bahkan pemerintah. Mereka harus paham sosiologi lingkungan. Bahwa, kita hidup didunia ini bersosial, bersosial dengan manusia dan bersosial dengan lingkungan (alam). Tentu kita ingin hidup sehat karena lingkungan yang baik akan menghasilkan jiwa yang baik, tubuh yang baik, watak yang baik, pemikiran yang baik, dan hati yang baik. Tetapi sebaliknya, lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia-manusia busuk. 

Referensi:

Rachmad K. Dwi Susilo. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline