Sejarah singkat OXFAM bermula dari sebagian kecil masyarakat sipil Inggris yang merasa sangat prihatin terhadap korban perang, kebanyakan dari wanita dan anak-anak. Disamping itu, sekelompok kecil tersebut tentu turut mengalami bagaimana masa-masa sulit saat Perang Dunia ke 2. Orang-orang yang dimaksud tersebut ialah Canon Theodore Richard Milford, Profesor Gilbit Murray, Lady Mary, Cecil-Jackson Cole, dan Sir Alan Pinn. Mereka inilah yang mengawali pembentukan OXFAM.
OXFAM berarti Oxford Committee for Famine Relief atau komite Oxford untuk Penaganan Kelaparan. Tujuan awalnya ialah membantu masyarakat sipil yang sangat rentan terhadap dampak mematikan dan merugikan selama masa perang berlangsung. Komite mengadakan perkumpulan untuk pertama kalinya di Library of University of Church of. St. Mary the Virgin, Oxford pada tahun 1942. Fokus utama mereka saat itu ialah membantu nonkombatan di Yunani, terutama perempuan dan anak-anak. Mereka kesulitan mendapatkan suplai logistik akibat wilayah yang terblokade oleh keberadaan sekutu dalam radius tersebut.
Setelah Perang Dunia berakhir, bukan berarti perjuangan Oxfam juga berakhir, Kini Oxfam telah mengalami revolusi hingga melahirkan Oxfam baru yang memiliki tekad untuk merealisasikan gerakan global orang-orang yang memerangi ketimpangan untuk mengalahkan kemiskinan bersama. Lingkup perjuangan Oxfam yang awalnya hanya di seantero daratan Eropa kini bergeser ke negara-negara berkembang karena negara-negara Eropa dinilai sudah mapan untuk menghadapi krisis, setidaknya masyarakat Eropa sudah terbebas dari ancaman kelaparan dan kemiskinan ekstrim.
Dasar pergerakan Oxfam ialah mengatasi ketidaksetaraan yang menjadikan orang-orang tetap miskin. Menyelamatkan dan melindungi kehidupan di saat krisis, bekerja dengan orang-orang untuk membangun ketahanan dan membangun kembali mata pencaharian mereka. Dunia yang penuh dengan konflik disana-sini dan senantiasa muncul di belahan dunia Barat dan Timur mengharuskan organisasi non-pemerintahan seperti Oxfam untuk berlomba-lomba dalam kompetisi kemanusiaan menemukan solusi nyata dan permanen, untuk itu Oxfam memproyeksikan kegiatan kampanye kemanusiaan untuk menciptakan perubahan yang tulus dan tahan lama.
Cita-Cita Oxfam menginginkan sebuah dunia di mana setiap orang dapat berbicara untuk berkuasa, mengklaim hak asasi mereka, dan membangun masa depan yang lebih baik untuk masing-masing kehidupan individu di dunia. Kaitannya, maka tidak heran jika Oxfam juga turut serta dalam menangani masalah-masalah seperti perubahan iklim, hak atas tanah, dan keadilan gender: karena manusia dipersatukan oleh keyakinan yang berbunyi bahwa kehidupan yang bermartabat dan tersedianya kesempatan bukanlah hak istimewa bagi sebagian orang, tetapi hak bagi semua orang. Dalam usianya yang ke 72, Oxfam bekerja di lebih dari 90 negara, dengan ribuan mitra, sekutu, dan komunitas untuk menyelamatkan dan melindungi kehidupan dalam keadaan darurat, membantu orang-orang membangun kembali mata pencaharian mereka, berkampanye untuk perubahan yang tulus dan anadi, dan menjaga hak-hak perempuan sebagai jantung dari segala pergerakan. Ada 19 organisasi anggota dari konfederasi Internasional Oxfam. Mereka berbasis di Australia, Belgia, Brasil, Kanada, Denmark, Prancis, Jerman, Inggris, Hong Kong, Irlandia, India, Italia, Meksiko, Belanda, Selandia Baru, Quebec, Afrika Selatan, Spanyol, dan Amerika Serikat (OXFAM, 2020). Oxfam juga memiliki dua kantor keterlibatan publik - Oxfam di Korea Selatan dan Oxfam di Swedia - yang fokus pada penggalangan dana dan kesadaran tentang pekerjaan dan misi Oxfam.
Salah satu negara yang saat ini menjadi perhatian khusus dari organisasi independen Oxfam adalah negara di Timur-Tengah yang masih mengalami kecamuk perang saudara antara kelompok oposisi dan rezim penguasa. Negara tersebut ialah Suriah yang mana perang dalam negerinya tidak kunjung selesai hingga saat ini. Oxfam mulai masuk ke wilayah Suriah terhitung sejak krisis di Suriah tahun 2011 meletus. Krisis kemanusiaan parah yang pernah ada di abad 21, yang mana mencatatkan lebih dari 11 juta orang atau separuh dari populasi rakyat Suriah kini tergantung dari bantuan humaniter. Sekitar 7,6 juta menjadi korban kekerasan dan mengungsi di negaranya sendiri. Sekitar 3,7 juta warga Suriah mengungsi ke luar negeri. Statistik tahun 2013 memaparkan tiga perempat populasi yang bertahan di Suriah sudah jatuh ke lembah kemiskinan (Berning, 2015). Bahkan lebih 200.000 orang di kota-kota yang dikepung perang menderita kelaparan dan tak punya akses ke sumber air bersih.
Sebagai salah satu NGO kontributor aktif membantu krisis kemanusiaan di Suiriah, Oxfam tidak berat untuk rajin mengkritik kebijakan serta reaksi pemimpin dari negara- negara yang sebenarnya ada campur tangan dalam konflik di Suriah. Beberapa negara Eropa yang maju seperti Jerman tidak luput pula dari sasaran komentar Oxfam. Kebalikannya, Oxfam mengapresiasi negara yang relatif kecil tapi rela membuka pintu kemanusiaan untuk ribuan pengungsi Suriah, yakni negara Libanon dan Irak yang berada tidak jauh dari teritori Suriah. Beberapa negara besar lainnya cenderung masih enggan untuk membuka pintu bagi masyarakat sipil Suriah yang rentan terdampak konflik bersenjata.
Robert Linder yang menjabat sebagai kepala bagian krisis humaniter Oxfam Jerman bersama NGO kemanusiaan lainnya menuntut agar Uni Eropa yang kaya menambah kuota pengungsi Suriah dengan alasan kemanusiaan. Hendaknya politik luar negeri gugusan negara di Benua biru itu mengalokasikan program kemanusiaan dengan salah satunya mengakomodir refugees negara Suriah. Berdasarkan laporan LSM "Kesetiakawanan untuk Suriah", dari 28 negara yang diharapkan besar untuk memberi kesempatan tinggal bagi masyarakat Suriah yang terdampak, hanya segelintir yang benar-benar mewujudkan bantuan tersebut.
Negara seluas Rusia hanya memberikan satu persen bantuan dari iuran bantuan bersama dam Prancis hanya bersedia memberikan 22% porsi bantuan (Retnaningrum, 2015). Andy Baker yang memimpin Oxfam dengan jelas berbicara bahwa kebanyakan negara-negara besar tidak ingin membantu bukan karena ketiadaan rasa kemanusiaan, melainkan ketiadaan politic will untuk membantu orang-orang rentan tersebut mendapat kesempatan hidup yang lebih layak.