Sepanjang dua minggu belakangan, pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono X (bertakhta, sejak 1989) dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) keenam pada bulan Februari 2015 mendapat perhatian kembali.
Cuplikan pidato singkat tersebut menjadi salah satu dasar yang digunakan untuk menyebut bahwa terdapat kaitan dua arah antara Kekaisaran Utsmaniyah dan Kesultanan Yogyakarta -juga pendahulunya, Kesultanan Demak.
Rekan-rekan yang berada di luar lingkaran keilmuan sejarah banyak mengirimkan pertanyaan kepada saya mengenai hal ini, mengenai bagaimana cara untuk memandang kebenaran fakta kesejarahan di dalam pidato tersebut. Membicarakan isi pidato tersebut dari segi bukan sejarah (non-historis) berada di luar otoritas akademik saya.
Oleh sebab itu, artikel singkat ini akan membahas aspek-aspek kesejarahan yang dapat digunakan untuk memandang pernyataan itu dan narasi serupa lainnya yang sering kita temui di dalam sumber-sumber lokal Asia Tenggara.
Memandang pernyataan Sri Sultan sebagai seorang sejarawan berarti mengingat kembali kelas-kelas dasar yang harus diambil oleh mahasiswa sejarah ketika memasuki dunia kampus, yaitu kelas-kelas yang mengajarkan kritik terhadap sumber sejarah. Kelas-kelas ini mengajarkan bagaimana suatu fenomena sejarah dapat dipandang sebagai fakta sejarah.
Pertama-tama, diterimanya kredibilitas suatu peristiwa atau fenomena di dalam ranah keilmuan sejarah ditentukan oleh jenis sumbernya. Sumber yang paling patut dipertimbangkan adalah sumber primer, yaitu sumber dokumentasi sezaman.
Sumber jenis ini pun dibagi lagi berdasarkan pembuatnya, terdapat sumber yang dibuat oleh pelaku sejarah---yang terlibat di dalam peristiwa sejarah tersebut, dan sumber yang dibuat oleh saksi sejarah -yang tidak terlibat langsung di dalam peristiwa sejarah.
Kedua macam sumber primer itu memiliki sisi subjektivitas yang beragam. Suatu sumber primer yang dibuat oleh pelaku sejarah tidak dapat serta merta dianggap sebagai kebenaran karena justru di dalamnya sarat akan subjektivitas.
Oleh sebab itu, seorang sejarawan harus mencari sumber pembanding untuk menilai secara objektif peran atau kebenaran yang disampaikan oleh seorang tokoh di dalam sejarah.
Sangat sering ditemukan di dalam sumber-sumber catatan primer bahwa tokoh yang menulis sumber primer tersebut menempatkan peran dirinya dengan porsi yang berlebih-lebihan dalam jalannya sejarah. Pada titik ini, sumber primer dari sisi lainnya harus dipertimbangkan.