Lihat ke Halaman Asli

Christopher Reinhart

TERVERIFIKASI

Sejarawan

Mahasiswa Menghancurkan Struktur dan Mengulang Peristiwa 1945

Diperbarui: 29 September 2019   11:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Massa Mahasiswa Universitas Indonesia di GBK setelah Dikejar Asap Gas Air Mata, 24 September 2019 (Dokumentasi Gracia Wynne Sutedja, 2019)

Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia telah mengadakan aksi protes yang memuncak pada tanggal 24 September 2019. Secara sekilas, aksi-aksi ini mirip dengan gerakan kaum muda yang turun pada tahun 1966 dan 1998. Namun demikian, gerakan kali ini sesungguhnya memiliki pola reaksi yang sangat mirip dengan episode-episode sejarah di tahun 1945.

Peristiwa proklamasi yang dibacakan Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945 memang merupakan peristiwa yang sangat khas dalam sejarah kita. Tidak mungkin ada peristiwa lain yang dapat dimiripkan dengan episode tersebut. Namun demikian, sejarah tidak saja berbicara mengenai peristiwa.

Sebelum Terjadi Tembakan Water Canon Pertama (Dokumentasi Eksklusif Dita P. Ramadhani, 2019)

Di samping membicarakan peristiwa, sejarah juga membaca rangkaian peristiwa sebagai sebuah pola yang sangat mungkin terulang pada masa-masa kemudian. Bila melihat suatu fenomena sejarah dari sisi pandang ini, gerakan mahasiswa tahun 2019 dapat disandingkan dengan peristiwa 1945. 

Argumen ini pada satu sisi akan memunculkan banyak pertanyaan. Kedua peristiwa bersifat sangat berbeda secara substansi dan menunjukkan keberbedaan lebih besar dalam hal agensi atau aktor yang terlibat. Untuk menjawab hal tersebut, tulisan ini akan membahas kemiripan-kemiripan itu.

Gerakan mahasiswa pada tanggal 24 September 2019 sesungguhnya bukan merupakan aksi pertama yang dilancarkan mahasiswa. Mahasiswa sudah melakukan banyak penelitian dan aksi-aksi permulaan bahkan sejak bulan Agustus atau sebelumnya. 

Peristiwa 24 September sendiri sesungguhnya berkedudukan sebagai puncak dari aksi protes berkelanjutan yang telah dilakukan selama sekitar satu minggu. 

Pokok dari setiap aksi memang berbeda-beda, yaitu mengenai isu lingkungan, revisi undang-undang, hak asasi manusia, dan banyak hal lain. Namun demikian, satu hal yang sangat jelas dari suara mahasiswa adalah tuntutan untuk mengubah pola pikiran dan struktur kepentingan yang memengaruhi pengambilan keputusan di Indonesia.

Manik (Ketua BEM UI) memantau aksi yang sedang berlangsung di depan gedung DPR (Dok. Dita P. Ramadhani, 2019)

Mahasiswa tidak ingin mengganti aktor atau agensi. Tidak ada satu pun tuntutan yang ingin mengganti personalia Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau jajaran pemerintah eksekutif. Dengan demikian, jelaslah bahwa aksi mahasiswa itu tidak dapat ditunggangi kepentingan politik. 

Pergantian personalia administrator negara tanpa perubahan pola pikir dan struktur kepentingan tidak akan mengubah luaran kebijakan yang dihasilkan oleh mereka. Seperti aksi mahasiswa, aktor sejarah peristiwa 1945 melakukan penolakan terhadap struktur kepentingan yang mengendalikan kebijakan kolonial Hindia Belanda dan Jepang. 

Dengan demikian, tentangan yang mewujud di dalam proklamasi kemerdekaan bukan saja penolakan terhadap personalia administrator kolonial Hindia Belanda dan Jepang. Tokoh pergerakan kebangsaan tidak saja menginginkan kemerdekaan secara dangkal, namun perubahan struktural yang sangat mendasar. Pada aksi kali ini, perubahan struktural itulah yang dituju oleh mahasiswa.

Selain mengenai substansi, kemiripan gerakan mahasiswa dengan peristiwa 1945 terletak pada pola reaksi yang ditimbulkan. Peristiwa proklamasi dirumuskan dan direncanakan secara terstruktur dan terkomando. Namun demikian, reaksi yang didapatkan oleh peristiwa proklamasi tidak bersifat terstruktur. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline