Lihat ke Halaman Asli

Christopher Reinhart

TERVERIFIKASI

Sejarawan

Surat Sejarah kepada Administrator Kolonial Indonesia

Diperbarui: 26 September 2019   21:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dalam Aksi Massa 24 September 2019 (Dokumentasi Gracia Wynne Sutedja, 2019)

Sejak beberapa hari belakangan, mahasiswa dari sebagian besar universitas di Indonesia menyatakan sikap protes terhadap rancangan peraturan-peraturan baru yang hendak disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah. Tulisan ini tidak akan membahas satu demi satu pokok protes itu. 

Namun, secara garis besar, protes mahasiswa berkaitan dengan tiga rencana aturan yang ingin diwujudkan sebagai undang-undang, yaitu mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan Lembaga Pemasyarakatan. Ketiga kebijakan itu, sedikitnya, dinilai tidak memihak kepentingan masyarakat umum dan akan menguntungkan pihak-pihak yang melawan hukum akal sehat.

Untuk menyambut aksi mahasiswa tersebut, saya perlu menyampaikan sudut pandang sejarah dalam kasus ini. Semakin diperhatikan, golongan penguasa di Indonesia sesungguhnya sama sekali tidak ingin menyelam ke dalam sejarah untuk mencari jawaban atas permasalahan kekinian. 

Dengan bercermin dari kenyataan masa kolonial Hindia Belanda, seseorang seharusnya sudah memahami bahwa rancangan undang-undang KUHP merupakan keputusan yang lebih ketinggalan zaman dibandingkan kebijakan kolonial tahun 1931. 

Pada akhir tahun 1931, Hindia Belanda masuk ke dalam suatu episode sejarah yang menunjukkan pola pemerintahan konservatif. Gubernur Jenderal Jhr. B. C. de Jonge diangkat untuk menggantikan era para gubernur jenderal sebelumnya yang merupakan kaum etis.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge, Hindia Belanda meningkatkan fungsi Politieke Inlichtingen Dienst atau Dinas Intelejen Politik untuk membungkam, bila bukan membabat habis, pergerakan nasional. 

Dekade awal 1930 juga diwarnai dengan kontrol ketat di segala bidang. Siapa saja yang menghina simbol-simbol kolonial Belanda akan berakhir di Boven Digoel. Namun demikian, kebijakan ini bahkan lebih humanis dibandingkan rancangan undang-undang KUHP. Kebijakan hukuman pembuangan tetap lebih manusiawi dibandingkan hukuman mati.

Selain itu, pelajaran lain yang sangat penting untuk dipandang pada masa akhir kolonial ini adalah fungsi dewan perwakilan yang lebih baik dibandingkan masa kini, setidaknya secara moral. 

"Bercermin dari kenyataan masa kolonial Hindia Belanda, seseorang seharusnya sudah memahami bahwa rancangan undang-undang KUHP merupakan keputusan yang lebih ketinggalan zaman dibandingkan kebijakan kolonial tahun 1931."

Dewan representatif Volksraad yang difungsikan pada 1918 memang tidak berfungsi secara penuh sebagai dewan perwakilan. Fungsinya sebagai dewan baru ditingkatkan pada tahun 1925 sebagai dewan yang didengar nasihatnya oleh gubernur jenderal Hindia Belanda. 

Namun demikian, gagasan yang diajukan para wakil rakyat di dalam Volksraad tidak mengkhianati kepentingan masyarakat bumiputra. Berbeda dengan itu, DPR yang kini berfungsi penuh sebagai lembaga legislatif justru melenceng dari kaidah hukum akal sehat yang dijunjung oleh rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline