Lihat ke Halaman Asli

Christopher Reinhart

TERVERIFIKASI

Sejarawan

Srivijaya, Uyghur, dan Penegakan Buddhisme Tibet

Diperbarui: 15 Juli 2019   16:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The Dalai Lama (dalailama.com, Tanpa Tahun)

Senyampang penelitian sejarah yang dilakukan di Indonesia, pembahasan mengenai pengaruh kebudayaan luar dalam pembentukan identitas masyarakat sangat umum ditemui. Kita telah menyadari bahwa kebudayaan India adalah elemen pembentuk kebudayaan masyarakat di masa klasik.

Beralih pada masa yang selanjutnya, kebudayaan Islam yang dibawa para saudagar Asia Tengah dan Asia Barat menyebabkan timbulnya berbagai kekuasaan maritim dan agraris di Nusantara. Dalam masa yang lebih dekat, kolonialisme Eropa juga turut memberikan corak pada ciri kebahasaan, pakaian, dan lainnya.

Mempertimbangkan kenyataan di atas, sesungguhnya penelitian kesejarahan juga dapat dilakukan pada arah yang sebaliknya. Kita dapat melakukan penelusuran terhadap unsur kebudayaan Nusantara yang pada akhirnya dapat memengaruhi perkembangan peradaban lain. Dalam kasus ini, terdapat sebuah pertalian menarik yang terjadi antara kebudayaan Nusantara, migrasi Uyghur, dan perkembangan Buddhisme di Plato Tibet. Dengan demikian, sejarah Nusantara dapat dikatakan terintegrasi dengan sejarah kewilayahan Asia yang lebih luas.

Perkembangan Buddhisme Tibet sesungguhnya akarnya dapat ditarik sejak masa awal Masehi. Namun, pergolakan sepanjang zaman membuatnya beberapa kali mengalami kemunduran dan pembaharuan kembali. Perkembangannya yang stabil untuk pertama kalinya baru terjadi pada masa pemerintahan Kaisar Songtsan Gampo pada abad ketujuh.

Pada masa ini, teks-teks Buddhis dari India yang berbahasa Sanskerta diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet. Sekalipun demikian, penerjemahan teks-teks Buddhis itu tidak dibarengi dengan pernyataan resmi bahwa Kekaisaran Tibet telah menganut Buddhisme sebagai agama negara. Buddhisme memerlukan waktu satu abad untuk kemudian dapat mengamankan posisinya sebagai agama negara.

Pada abad kedelapan, Kaisar Trisong Detsen mengundang seorang sarjana Buddhis yang sangat tersohor, yaitu Padmasambhava dari India. Ajaran Padmasambhava tersebar secara luas dengan didirikannya aliran Nyingma, yaitu salah satu aliran dari empat aliran utama Buddhisme Tibet. Kejayaan Buddhisme di dalam kekaisaran hanya bertahan dalam waktu yang singkat. Bersamaan dengan menguatnya kembali ajaran asli Tibet yang disebut Bon, Buddhisme mengalami kemunduran yang sangat hebat.

Beberapa sarjana studi Himalaya berpendapat bahwa puncak kemunduran Buddhisme Tibet terjadi pada masa Kaisar Langdarma. Seperti narasi yang disematkan pada Raja Kertajaya dari Kediri, Kaisar Langdarma dianggap menekan para pemuka agama dan melakukan persekusi pada mereka. Sekalipun hal ini tercatat dalam beberapa teks kesejarahan, terdapat beberapa argumen dari para peneliti yang menyatakan bahwa penggambaran Kaisar Langdarma yang buruk itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.

Hal ini dapat dimengerti bila kita mempertimbangkan bahwa historiografi yang ditinggalkan pada masa Kaisar Langdarma tentu bersifat historiografi tradisional. Terdapat penyampaian yang berkaitan dengan aspek-aspek adikodrati dan sifat penulisannya penuh kesamaran. Namun demikian, sangat jelas bahwa baik Kekaisaran Tibet maupun Buddhisme Tibet mencapai akhir masa keemasannya pada abad kesembilan. Kaisar Langdarma menjadi pemimpin negara terakhir yang mampu mempertahankan struktur monarki di dataran tinggi itu.

Sekalipun mencapai kemunduran bersamaan dengan hancurnya kekaisaran, Buddhisme Tibet dapat bangkit kembali dan justru memperoleh keuntungan dari hilangnya penguasa monarki. Pada titik ini, terdapat peran dari migran Uyghur. Kekaisaran Uyghur yang semula menempati wilayah barat Cina merupakan kekuatan Buddhis yang cukup berpengaruh hingga abad kesembilan.

Kelompok masyarakat Uyghur merupakan masyarakat padang rumput yang serupa dengan masyarakat Mongol. Mereka memiliki sistem pemerintahan model Khan yang semakin membuat mereka mendekati ciri masyarakat Mongol. Pada paruh pertama abad kesembilan, Kaisar Hu dari Uyghur dipaksa untuk melaksanakan bunuh diri oleh seorang menterinya yang berpengaruh. 

Menteri yang bernama Kurebir itu kemudian mengambil takhta dan menjadikan diri sebagai kaisar. Pemerintahan Kurebir mengundang ketidakpuasan dari berbagai pihak dan menyebabkan kelompok pasukan kekaisaran yang berada di daerah selatan menyerang ibukota. Pemimpin dari pasukan penyerang ini adalah orang yang nantinya menjadi Kaisar Oge.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline