Topik paling mutakhir yang sedang hangat diperbincangkan beberapa hari ini adalah sidang sengketa hasil Pemilihan Umum 2019. Sejak pengumuman hasil Pemilu pada 21 Mei 2019, kedua koalisi yang bertanding pada pemungutan suara telah mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk saling berhadapan lagi di muka pengadilan. Dengan demikian, sidang sengketa tadi dapat kita pandang sebagai episode kedua penentuan pemimpin negeri. Hal ini menyebabkan topik pemilihan umum menjadi relevan kembali.
Untuk menyambut episode kedua itu, terdapat satu topik sejarah yang menarik untuk diperbincangkan, yaitu pemilihan umum sebelum masa modern.
Para sejarawan sepakat bahwa pemilihan umum pertama yang diadakan di Indonesia terjadi pada tahun 1955, di bawah arahan atau naungan dari kabinet Burhanuddin Harahap. Namun demikian, bila kita melihat susunan kata yang membentuk frasa "pemilihan umum", dapat pula dipandang bahwa pemilihan umum tahun 1955 bukan merupakan pemilihan umum pertama.
Bila diartikan secara bebas, pemilihan umum mengandung dua pokok, yaitu tindakan memilih dalam kata "pemilihan" dan melibatkan masyarakat secara kolektif dalam kata "umum". Pemilihan umum tahun 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan model pemungutan suara yang serupa dengan pemungutan suara di dunia modern --baik di Eropa, Amerika, atau belahan dunia lain. Namun demikian, sejak masa klasik, kepulauan Nusantara telah memiliki model pemilihan umumnya sendiri.
Secara garis besar, tradisi kekuasaan di Nusantara dibagi menjadi dua macam, yaitu tradisi maritim dan tradisi agraris. Pada tradisi maritim, kekuasaan negara lebih lemah dibandingkan pada tradisi agraris. Kekuasaan seorang raja dipagari oleh kehadiran golongan aristokrat yang umumnya merupakan para pedagang kaya.
Dengan kenyataan itu, raja tidak memiliki kekuatan absolut. Tentu hal ini dapat dikecualikan pada beberapa raja, seperti Sultan Iskandar Muda yang menekan kekuasaan aristokrasi para orangkaya dan memusatkan komando pada lembaga kerajaan. Namun, kasus seperti ini sangat jarang terjadi dan umumnya hanya bertahan pada satu generasi raja saja.
Bertolak belakang dengan model kekuasaan pada tradisi maritim, tradisi agraris menghadirkan kekuasaan absolut kepada raja. Faktor yang paling memengaruhi hal ini adalah interaksi. Pada masyarakat maritim, interaksi antara golongan bukan kerajaan dengan kelompok dari luar wilayahnya terjadi dengan sangat intens.
Bentang alam pesisir pantai juga memungkinkan seseorang untuk pergi bersama dengan harta bendanya ketika seorang raja menunjukkan kebijakan yang tidak menguntungkan. Dengan demikian, raja memiliki kewajiban untuk bersikap lebih penuh pertimbangan dan tidak absolut.
Pada masyarakat agraris, interaksi dan bentang alam itu sangat berkebalikan. Masyarakat berada pada wilayah geografis yang dikelilingi hutan belantara. Persentuhan mereka dengan dunia di luar masyarakat juga sangat terbatas. Hal ini menyebabkan kekuasaan raja menjadi absolut.
Raja agraris tidak perlu mengkhawatirkan ide-ide revolusioner yang dibawa oleh orang asing kepada masyarakatnya seperti raja-raja pesisiran. Jelasnya, raja agraris berada pada kondisi-kondisi pendukung yang menyangga kekuasaan absolutnya.