Kondisi gawat darurat menerjang Hindia Belanda setelah Kekaisaran Jepang memulai operasi militernya dengan mendaratkan Angkatan Darat di Indocina dan menghantam Pearl Harbor di Kepulauan Hawaii.
Hindia Belanda yang sejak 1940 telah goyah oleh pengasingan keluarga Kerajaan Belanda ke Inggris kini harus bersiap mengalami teror yang segera menyapa negeri koloni besar itu. Tak pernah terbesit di dalam pikiran Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer bahwa janji yang telah diucapkannya tahun 1936 kini menjadi beban yang amat berat di atas pundaknya.
Janji serah terima jabatan itu berisi pernyataan bahwa Hindia Belanda tidak akan berkurang tanahnya selama ia menjadi gubernur jenderal. Angin berita yang menghembuskan ketegangan pada mulanya terasa pada Desember 1940, Ratu Wilhelmina, melalui radio Belanda di Inggris, menyerukan apa yang disebut sebagai Vlammend Protest atau "protes yang berapi-api" terhadap pendudukan Jerman atas Negeri-negeri Rendah yang bersikap netral --Belanda, Belgia, dan Luxemburg.
Gubernur Jenderal Tjarda yang pada masa itu masih dapat berhubungan dengan Menteri Urusan Seberang Lautan, Welter, terkecoh Jepang yang masih menjaga hubungan dagang yang amat baik dengan Hindia Belanda sehingga tak memberikan peringatan bahaya. Rupanya, pada 8 Desember 1941, pasukan Jepang mendarat di Sinkra, Pattani, dan Kotabaru di Semenanjung Malaya.
Sasaran selanjutnya tak dapat dimungkiri lagi adalah Hindia Belanda. Mengetahui hal ini, Gubernur Jenderal sejatinya ingin menarik Hindia Belanda dari pusaran perang yang akan terjadi, namun dengan meletusnya serangan Pearl Harbor, perang tak lagi dapat dihindari.
Pagi hari setelah penyerangan, demi menyatakan dukungan pada Amerika Serikat, diserukanlah oleh Tjarda melalui pidato radio bahwa Hindia Belanda mengutuk tindakan Jepang dan mulai detik itu pula menyatakan perang terhadap kekaisaran itu.
Pertahanan Hindia Belanda yang dibangun dengan sangat lambat baru dipercepat pada tahun 1936 di bawah pemerintahan Tjarda. Celah-celah pertahanan terpampang jelas di seluruh kepulauan Hindia Belanda sehingga pasukan Jepang yang pada mulanya mendarat di Tarakan dan Sumatra dapat menguasai kepulauan dan bahkan berhasil mengepung Jawa dalam beberapa hari saja. Pertempuran hebat terakhir Koninklijk Marine (Angkatan Laut) terjadi di Laut Jawa dengan hasil kekalahan Belanda. Praktis, Jepang berhasil memasuki Jawa lewat Teluk Banten.
Para laksamana yang masih tersisa diperintahkan oleh Tjarda untuk mengasingkan diri ke Colombo. Dalam episode inilah Gubernur Jenderal mengirim mereka pergi dengan ucapan "... ini adalah akhir yang menyedihkan bagi perjuangan yang gigih, Laksamana. Hal ini amat menggerakkan hati saya. Saya tetap di sini dan memberikan doa restu pada Tuan!" Tidak hanya para laksamana, Tjarda juga mengirim Letnan Gubernur Jenderal H. J. van Mook ke Australia untuk mengamankan kontinuitas kekuasaan. Dengan demikian, strata puncak kekuasaan Hindia Belanda hanya tinggal dirinya seorang.
Ketika pada akhir Februari 1942, Bandung --pusat kekuasaan Hindia Belanda masa perang, diancam dengan bom oleh Jepang, gubernur jenderal bersama dengan Panglima Angkatan Perang Ter Poorten segera bertolak ke Kalijati untuk memenuhi permintaan Jenderal Imamura dari pihak militer Jepang. Tindakan ini tidak lain adalah bentuk kegelisahan hati karena Bandung pada masa itu penuh dengan pengungsi perempuan, orang tua, dan anak-anak yang tidak menjadi subjek perang.