Lihat ke Halaman Asli

Charlie iPad Dan Misinterpretasi Hukum Oleh Kejagung

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah proses persidangan yang berlarut-larut, akhirnya Charlie diputuskan bebas dan bisa berjualan iPad lagi. Ternyata selama ini Kejagung "hanya" misinterpretasi dalam memandang peraturan-perundangan pada industri telekomunikasi.

Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (14/3), memvonis bebas terdakwa kasus perdagangan iPad Charlie Mangapul Sianipar. Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Yonisman menyatakan, terdakwa secara sah tidak terbukti bersalah sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU).

Majelis juga memerintahkan jaksa agar memulihkan nama baik terdakwa dan meminta 14 unit iPad yang disita dikembalikan kembali pada Charlie. Senyum Charlie pun semakin terbuka lebar. Saat berfoto bersama saksi ahli Dirgayuza Setiawan, Charlie yang mengenakan kemeja hitam itu membawa serta iPadnya.

"Ini contoh iPad yang saya jual. Lihat ini ada manual book, ada izin dari (Dirjen) Postel," terang Charlie yang memeluk istrinya setelah divonis bebas oleh hakim.


Dari awal kasus Charlie memang tidak jelas. Dia ditangkap atas tuduhan menjual barang secara ilegal (tanpa panduan manual & izin Dirjen Postel), tapi hanya dia seorang yang ditangkap sementara belasan pedagang lainnya masih bebas berjualan.

Kemudian tuduhan yang dikenakan pun bisa dipatahkan dengan segera oleh saksi Dirgayuza Setiawan: izin Dirjen Postel ternyata ada terdapat di setiap unit iPad, sementara panduan manualnya bisa didapatkan dengan cuma-cuma di website apple.

Semakin tidak jelas lagi ketika Charlie diputuskan tidak bersalah dengan bukti-bukti yang sangat kuat, jaksa justru mengajukan kasasi. Meski akhirnya Charlie (kembali) divonis bebas, wajar kalau semua orang jadi bertanya-tanya kepada Kejagung.

Apa Kejagung paham dengan kasusnya? Apa Kejagung mengerti soal industri telekomunikasi?

Jika soal sesederhana buku manual saja harus diperkarakan sekian lama (dalam dua babak pula), bagaimana dengan kasus lain yang lebih rumit?

Kasus pencurian pulsa misalnya, sampai sekarang makin tidak jelas saja arahnya. Juga kasus IM2 yang dianggap melanggar peraturan karena menggunakan ijin penyelenggaraan internet (layanan 3G) milik Indosat? Tentu masalahnya lebih pelik.

Kalau selama menunggu vonis hakim Charlie sampai tidak bisa berjualan selama berbulan-bulan, lalu bagaimana kalau sampai provider tersebut dijauhi pelanggan & investor karena citra buruk yang dipersepsikan kepada mereka? Berapa total kerugian materiil & immateriil yang mungkin ditanggung, hanya karena kasus yang seharunya bisa selesai tanpa perlu diperkarakan?

Semoga Kejagung tidak makan korban lagi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline