Akhir-akhir ini, perbincangan soal jilbab kembali mencuat di media sosial. Maraknya perbincangan tersebut sepertinya disebabkan karena adanya kasus pemaksaan memakai jilbab yang menimpa seorang siswi di salah satu SMA negeri di daerah Yogyakarta.
Kasus pemaksaan itu sendiri sampai saat ini masih belum menemukan titik terang, walaupun sudah diurus oleh kepolisian, pihak sekolah masih kekeuh membantah telah terjadi pemaksaan di sekolahnya.Guru-guru yang ada di sana juga kompak mengatakan demikian. Sehingga, banyak elemen yang akhirnya memberikan tanggapan atas sikap mereka itu, kalau benar tidak ada pemaksaan, mana mungkin siswi yang bersangkutan mengalami trauma atau konflik batin. Takut, dan tidak mau berangkat ke sekolah lagi. Kalau dipikir-pikir, tanggapan ini ada benarnya juga.
Tetapi, dalam kesempatan ini saya tidak ingin menyimpulkan lebih jauh. Saya hanya berharap, mudah-mudahan kasus ini bisa segera terselesaikan. Sebetulnya, kalau kita mau melihat ke belakang, kasus-kasus semacam ini sejatinya telah berulang kali terjadi. Lalu, apa yang menjadi penyebabnya? Merujuk pada tulisan Kang Mamang, penyebab dari maraknya kejadian semacam ini sepertinya disebabkan karena pengaruh sebagian muslim yang memiliki pemahaman fanatik soal penerapan ajaran keagamaan.
Sebagian muslim ini biasanya di kenal dengan nama muslim hijrah. Kalau boleh berkomentar, pengaruh dari muslim hijrah memang besar sekali sekarang. Di lingkungan tempat tinggal saya saja, pengaruhnya sudah merambah banyak kalangan. Mulai dari Ibu-ibu, Bapak-bapak, para remaja/pemuda dan lain-lain. Setidaknya, orang-orang yang sudah terpengaruh pemahamannya bisa dicirikan dengan beberapa hal.
Pakaiannya serba panjang, celananya cingkrang, berjenggot, jidatnya hitam, bercadar dan masih banyak lagi. Besarnya pengaruh muslim hijrah pun disebabkan oleh beberapa faktor, dan yang paling utama di sini adalah cara dakwahnya yang kontekstual, sesuai dengan kondisi zaman, tidak monoton dan seterusnya. Cara dakwahnya ini berbeda sekali dengan kalangan muslim kultural atau tradisional yang nota bene tidak seperti itu.
Sehingga, cara dakwah dari kalangan hijrah saat ini berada di atas angin, jauh sekali kemenarikannya dari cara dakwah kalangan lainnya. Namun memang (seperti yang sudah saya katakan sebelumnya), pemahaman sebagian muslim ini agak fanatik. Sehingga, dalam urusan syariat, baik yang berkaitan dengan ibadah ataupun muamalah, penerapan pemahaman keagamaan mereka biasanya bersifat tidak ada kompromi/tidak bisa di ganggu gugat.
Contohnya soal jilbab. Dalam pandangan mereka, jilbab merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan/wajib. Saya pribadi pernah mendapatkan informasi ini dari teman, yang kebetulan memiliki pemahaman demikian dan menjadi bagian dari muslim hijrah. Oleh karena itu, pemaksaan memakai jilbab ini kemungkinan berangkat dari pemahaman kalangan ini.
Apa pendapat saya soal ini? Sebelum masuk ke sana, pertama, saya ingin menyampaikan terlebih dahulu pandangan saya soal jilbab. Kalau diberikan pilihan, bagi perempuan, lebih baik di jilbab atau tidak, saya akan menjawab lebih baik di jilbab, karena, sejauh pemahaman saya tentang Islam, jilbab merupakan sesuatu yang masuk dalam kategori syariat.
Namun memang, pembahasan soal ini masih belum jelas. Pandangan ulama juga terbagi dua pendapat. Ada yang mengatakan masuk ke dalam kategori syariat dan ada juga yang mengatakan sebaliknya, tidak masuk. Perbedaan ini tentunya wajar, tetapi, perbedaan ini tidak boleh kita perdebatkan secara berlebihan. Sebab, memperdebatkannya hanya akan menimbulkan dampak yang buruk, misalnya berupa perpecahan dan sebagainya.
Ada baiknya, perbedaan ini kita sikapi dengan prinsip saling menghargai dan menjadikan hal tersebut sebagai arsip dari kekayaan khazanah intelektual umat Islam. Walaupun saya memiliki kecenderungan pendapat agar setiap muslim perempuan lebih baik memakai jilbab, tetapi, kencenderungan ini saya tempatkan hanya dalam wilayah-wilayah tertentu saja.
Seperti misalnya di wilayah penduduk yang mayoritas beragama Islam, atau lainnya. Di luar itu, anjuran ini harus dilonggarkan. Seperti contohnya di lingkungan SMA Negeri di daerah Yogyakarta tadi. Di wilayah atau lingkungan ini, anjuran memakai jilbab tentunya tidak boleh saklek atau semau sendiri. Namanya juga SMA Negeri, biasanya, di dalamnya ada saja siswa/siswi yang beragama selain Islam.
Jadi, anjuran tersebut mesti mendapatkan izin terlebih dahulu dari orang tua siswa/siswi. Sekalipun mayoritas siswa/siswinya beragama Islam, tetap saja, konsep toleransi dan menghargai perbedaan (keyakinan/pemahaman) mesti dikedepankan. Sebagaimana kita tahu, Indonesia merupakan negara yang majemuk. Dalam segi agama, budaya, ras dan sebagainya.