Belajar adalah kegiatan menyenangkan yang seharusnya ditanamkan sejak anak-anak masih kecil. Belajar tentang apa saja, mulai dari pengenalan akan tubuh si anak dan dirinya sendiri maupun belajar tentang lingkungan di sekitar si anak. Bermain bagi anak-anak bukanlah sesuatu yang membosankan apalagi bermain sambil belajar tentu sangat mengasyikkan.
Anak-anak kecil yang belajar menggunakan bahasa ibu (lebih familiar dengan istilah bunda) mudah memahami tentang pelajaran budi pekerti yang berkaitan dengan aturan, norma-norma, nilai hidup yang menjadi pegangan sang bunda. Hal ini berhubungan dengan erat dengan budaya dan adat istiadat yang diwariskan oleh keluarga sang bunda turun temurun. Seminar internasional yang diadakan oleh Southeast Asian Minister of Education Organization Regional Centre for Quality Improvement of Teachers and Education Personnel (SEAMEO QITEP) dan Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) membahas lebih mendalam tentang hal-hal tersebut. Tema yang dipilih adalah "Penggunaan Bahasa Daerah/Ibu Untuk Meningkatkan Kompetensi Siswa Sekolah Dasar".
Dalam pemaparan seminar tersebut di Jakarta, Rabu(24/09), Felicia Nuradi Utorodewo selaku direktur SEAMEO QITEP menjelaskan dengan penggunaan bahasa sang bunda, si anak cepat 'menangkap' hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman konsep dibandingkan si anak diajari dengan menggunakan bahasa asing. Belajar dengan bahasa yang bunda gunakan sehari-hari adalah cara yang terbaik. Tentunya yang dimaksud dengan bahasa sang bunda untuk ibu-ibu yang tinggal di kota besar adalah bahasa Indonesia, untuk para bunda yang tinggal di desa dan kampung pastinya menggunakan bahasa lokal setempat atau bahasa daerah.
Di kawasan ASEAN, program Pendidikan Multibahasa Berbasis Bahasa Ibu (Mother Tongue Based Multilingual Education) yang dimiliki oleh SEAMEO QITEP sudah diterapkan sejak tahun pertama pendidikan dasar di beberapa negara seperti Kamboja, Filipina dan Thailand. Penggunaan bahasa nasional sebagai bahasa pengantar baru dilakukan di tahun keempat. Mengapa demkian? Mantan direktur UNESCO Bangkok, Sheldon Shaeffer mengungkapkan sebanyak tiga ribu dari enam ribu bahasa di dunia hampir punah khususnya bahasa suku milik etnis minoritas. Di Asia Tenggara, dari 1253 bahasa, sebanyak 527 bahasa terancam punah. "Data ini rinciannya dapat di akses di Etnologue Languages of the world", kata Sheldon dalam seminar SEAMEO QITEP tersebut.
Di Indonesia sendiri, khususnya Papua juga mengalami ancaman punahnya bahasa ibu. Pemerintah, dalam hal ini dinas pendidikan di provinsi bagian ujung timur bumi Nusantara tercinta ini telah berusaha melestarikan bahasa lokal dengan menerbitkan lima kamus bahasa, yakni Dani-Indonesia, Marid-Indonesia, Biak-Indonesia, Waropen-Indonesia dan Sentani-Indonesia. "Masyarakat Papua sudah tidak menggunakan bahasa itu di kota-kota bahkan juga di daerah pedalaman", kata Jeremias Koridama, Kepala Seksi Pembinaan Kesenian Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Dengan semangat revolusi mental di era kepemimpinan Presiden terpilih Joko Widodo, menurut Felicia, ada pertimbangan mendasar untuk pengembangan program pendidikan multibahasa berbasis bahasa ibu bagi siswa-siswi pendidikan dasar khususnya di sekolah desa atau daerah terpencil. Namun demikian, hendaklah berimbang penggunaan bahasa Indonesia, bahasa ibu dan bahasa asing di sekolah. "Anak jangan menjadi korban ambisi orang tua, biarkan anak tetap menjadi anak", kata Bambang Indriyanto, manager program ACDP. Menurut beliau, dengan belajar menggunakan bahasa asing, seorang anak cenderung didominasi oleh faktor persaingan atau alasan ekonomi sedangkan anak kecil yang belajar menggunakan bahasa ibu cenderung didominasi oleh faktor sosial budaya dan pemahaman ideologi yang berkembang dalam kelompok masyarakat di suatu daerah terpencil.
Kalau Anda, pilih yang mana?
sumber ilustrasi : disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H