Lihat ke Halaman Asli

Rehal Alaur Rahman

Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gerakan Mahasiswa: Politik atau Moral?

Diperbarui: 23 Desember 2022   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pandangan aktivis mahasiswa tentang gerakan dan organisasi mahasiswa sedikitnya terbelah kedalam dua pandangan. Pandangan pertama lebih bernuansa moral, dalam arti energi politik mahasiswa seharusnya diletakkan sebagai kekuatan penggerak perubahan ketika institusi birokrasi dan institusi politik tidak mampu melakukan peran sesuai dengan tuntutan sektor publik. Dengan kata lain energi itu digerakkan untuk meletakkan dan meluruskan kembali fungsi-fungsi mereka, karena apabila kondisi carut-marut politik tidak dihentikan, rakyat terus tertindas dan menderita. Dengan demikian dalam pandangan ini posisi mahasiswa berada di luar institusi birokrasi dan di luar institusi politik (partai politik), namun tetap melakukan fungsi kontrol politik. 

Peran politik semacam itu seharusnya bukan karena pilihannya, tetapi karena tugas utama mahasiswa adalah kuliah, menimba ilmu dan menjadi sarjana yang paripurna. Status dan peran mahasiswa sangat berbeda dengan politisi profesional, karena kelompok yang disebutkan terakhir ini memang mengabdikan hidupnya untuk kepentingan politik. Lalu bagaimana kalau ada mahasiswa yang ingin menjadi politisi profesional? Jawabannya adalah orang tersebut harus meletakkan atribut mahasiswanya, kemudian mengembangkan perilaku politik dan etika politik sebagaimana biasa dilakukan oleh politisi profesional.

Pandangan kedua lebih bernuansa politik. Berbeda dengan pandangan pertama yang meletakkan energi mahasiswa hanya sebagai kekuatan pendobrak ketika institusi birokrasi dan institusi politik tidak bisa memainkan peran sesuai dengan tuntutan sektor publik, pada pandangan kedua ini energi mahasiswa harus ditempatkan sebagai kekuatan riil dalam percaturan politik. Karena itu ketika pada awal rezim Soeharto berkuasa ada tawaran untuk mahasiswa agar duduk di lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, maka menjadi sangat wajar apabila tawaran itu diterima. 

Kesediaan memenuhi tawaran semacam itu, akan membuat mahasiswa lebih bisa meneruskan perjuangan menegakkan kebenaran dan mencegah penindasan rakyat, khususnya dengan cara mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang diambil oleh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Dalam konteks ini, posisi dan peran yang diambil oleh mahasiswa adalah tidak jauh berbeda dengan posisi dan peran politisi profesional. Posisi dan peran semacam inilah sebenarnya yang diragukan oleh banyak orang pada saat itu, karena boleh jadi mereka terjebak oleh vested interest rezim yang sedang berkuasa.

Tidak mudah menjawab apakah gerakan mahasiswa itu perlu dikerangkai gerakan moral ataukah gerakan politik. Secara pragmatis, pilihan itu tergantung situasi politik yang berkembang dan kemauan serta 'pilihan' mahasiswa sendiri. Mahasiswalah yang lebih tahu lapangan, dan mereka pulalah yang lebih mampu mempertimbangkan gerakan mana yang lebih efektif dan efisien dalam merealisasikan komitmennya.

Apapun strategi yang kelak dipilih, masing-masing pilihan secara sosiologis memiliki konsekuensi sendiri yang berbeda. Pilihan gerakan moral akan lebih menekankan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat membela rakyat agar tidak dieksploitasi oleh rezim penguasa atau agar rakyat lepas dari segala bentuk penindasan. Gerakan semacam itu seharusnya dengan jernih mampu merentang hak-hak rakyat yang dirampas, kemudian membangun kesadaran mereka bahwa apabila hak-hak tersebut tidak diambil lagi, atau apabila tidak dikembalikan oleh rezim penguasa yang merampasnya, maka bisa menciptakan krisis ekonomi dan krisis politik yang berkepanjangan. Dengan demikian gerakan moral sesungguhnya lebih menekankan pada membangun atensi dan oleh karena itu persoalan klaim kerapkali sangat ditonjolkan. 

Forum utama untuk kegiatan semacam itu adalah media massa (baik cetak maupun elektronik), dan mahasiswa dituntut menjadi komunikator yang mampu menjadi broker dari aspirasi dan kemauan rakyat dengan kebijaksanaan pemerintah. Untuk memainkan peran semacam itu mahasiswa harus memiliki pengembangan pada isu-isu yang sedang populer dan kasus-kasus aktual yang terjadi dalam masyarakat. Pengembangan pada isu-isu populer dan kasus-kasus aktual sangat penting bagi gerakan moral agar berbagai tindakan yang dilakukan memiliki kadar visibilitas yang tinggi.

Karakteristik semacam itu agak berbeda dengan gerakan politik. Gerakan politik lazimnya lebih terarah pada upaya menciptakan aksi atas dasar kepentingan politik tertentu, memobilisasi dukungan rakyat untuk tujuan politik tertentu, serta mempertahankan kekuasaan dan kekuatan politik yang telah diraih atau dimiliki. Forum utama gerakan politik adalah mimbar politik yang terkait dengan institusi politik. 

Posisi mahasiswa pada gerakan semacam itu bukan lagi sebagai komunikator atau broker sebagaimana yang terlihat pada gerakan moral, tetapi lebih sebagai aktor politik yang memiliki kemampuan menerapkan kebijaksanaan politik tertentu. Agar bisa memainkan peran demikian dibutuhkan network- ing yang baik, keahlian meyakinkan rakyat agar mau memberi dukungan, serta kemauan membuka diri menerima pelbagai masukan. Hal-hal semacam itu sangat dibutuhkan supaya aktivis gerakan politik tidak terjebak dengan kooptasi, atau tergiur menanggapi isu-isu yang sebenarnya sudah usang. Satu hal yang harus terus dipelihara oleh para aktivis gerakan politik adalah komitmen bahwa mereka adalah bagian dari rakyat yang sedang mereka perjuangkan sendiri




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline