Lihat ke Halaman Asli

Teater sebagai Media Komunikasi Pendidikan

Diperbarui: 22 April 2022   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Abstrak

Pertunjukan teater pada masyarakat Indonesia dewasa ini dinikmati oleh penonton hanya sebagai "pertunjukan" pada umumnya, namun belum diartikan sebagai ruang pengetahuan, ruang belajar, ruang mendewasakan diri atau sebagai media pendidikan. Penelitian ini bertujuan ingin menunjukkan bahwa teater adalah media komunikasi pendidikan yang dapat diselenggarakan melalui jenjang pendidikan paling dini hingga pendidikan tinggi dan menjadi ruang pendidikan bagi masyarkat luas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Dalam pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan wawancara mendalam dan dilanjutkan dengan analisis secara interaktif. Subjek penelitian yang diamati dan dijadikan narasumber adalah para pengajar Taman Kanak-kanak (TK) di Cirebon dan Bandung, SMP/SMA di Cirebon dan Bandung, dan para instruktur (mahasiswa) teater di perguruan tinggi seni (ISBI Bandung), serta masyarakat di Cirebon dan Bandung yang memakai media teater dalam proses belajar. Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa teater sebagai seni pertunjukan secara hakiki adalah media komunikasi. Simpulan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teater harus dipahami sebagai sebuah institusi, media, dan bagian dari proses komunikasi dalam mengekplorasi pengetahuan, bertukar pengetahuan, dan memanfaatkan pengetahuan yang didapatkan.

Kata Kunci: Teater, Media Komunikasi, Pendidikan.

Pendahuluan

Di Jawa Barat, beberapa sekolah tidak memungkiri bahwa seni teater merupakan kesenian yang paling kurang diminati untuk diajarkan kepada siswa. Hal ini disebabkan dengan durasi waktu pengajaran seni teater relatif lebih lama dibandingkan dengan seni yang lainnya, juga menyangkut pengajarnya yang kurang. Merujuk pada artikel tentang "Pendidikan Seni Teater; Sekolah, Teater Dan Pendidiknya", Prusdianto (2016: 27- 35) menuturkan bahwa, "Seni teater begitu kompleks permasalahannya dalam pendidikan, belum lagi dengan masalah anggaran dana, kompleksitas seni dan totalitas dari teater itu sendiri menyebab guru seni budaya lebih memilih untuk mengajarkan seni yang lainnya dibanding seni teater. Meskipun pada akhirnya beberapa sekolah mengajarkan seni teater tetapi masih bisa dikatakan jauh dari kesempurnaan akan sebuah pertunjukan teater karena sarana dan fasilitas sekolah yang kurang memadai". Pelajaran seni budaya di sekolah-sekolah yang digariskan oleh kurikulum 2013 dan direvisi pada tahun 2016 masih menjadi bagian dari proses belajar. Kurikulum tersebut menyajikan materi tematik yang semuanya bisa didekati dengan seni budaya. Karena kurangnya pengajar teater, pelajaran seni budaya cenderung memilih bidang seni selain teater, misalnya musik, tari, atau seni rupa. Seni budaya dengan memilih bidang ajar musik, misalnya, dapat memberikan dan menyampaikan pesan atau isi terkait dengan tema-tema pelajaran tersebut (Wadiyo dan Udi Utomo, 2018: 87-97). Pembelajaran pada siswa melalui seni musik ini ternyata lebih sederhana dan sangat mungkin dilaksanakan. Artinya, berbeda dengan pembelajaran seni teater yang membutuhkan tempat tersendiri, penataan artistik, lampu, dan lain sebagainya. Hal demikian, tidak heran jika di SMA sekalipun, seni budaya diajarkan dengan mata ajar seni musik. Penelitian tentang pembelajaran komposisi musik sekolah melalui pemanfatan perkakas tangan di SMKN 12 oleh Yudi Sukmayadi (2016: 158- 169) menunjukkan ketuntasan belajar siswa dengan nilai baik dan menambah semangat dalam belajar mata pelajaran lainnya. Hampir sebagian besar siswa SD, SMP, SMA menyukai belajar seni budaya, namun dengan seni pilihan seperti musik, tari, seni rupa (menggambar), dan teater. Bahkan di Taman Kanak-kanak sudah sangat lazim belajar dengan cara bermain melalui muatan seni budaya. Untuk hal itu, para pengajar/ guru meyakini bahwa pendidikan seni secara historis telah ada sejak dulu di belahan bumi ini (Respati, 2015: 7 - 15). Beberapa literatur yang peneliti sajikan di atas, menunjukkan bagaimana simpulansimpulan penelitian tentang pembelajaran seni budaya di sekolah begitu mengesankan bagi para siswa. Namun demikian sangat jarang dari materi seni budaya itu mengungkap pendidikan melalui seni teater. Harus diakui, untuk dapat menjalankan menyelenggarakan pembelajaran teater dibutuhkan instruktur atau guru. Guru atau instruktur seni teater setidaknya memiliki keterampilan tari, musik, dan menggambar karena teater adalah seni yang menyatukan seluruh unsur-unsur tersebut. Dari studi literatur, peneliti menangkap ada masalah dengan teater yang jarang diajarkan oleh guru-guru, baik TK, SD, SMP, maupun SMA. Peneliti mencoba mengadakan pelacakan (tracer study) kepada guru-guru TK (taman kanak-kanak) di kota/kabupaten di Jawa Barat, terutama Bandung dan Cirebon. Kegiatan ini dilakukan karena melihat gejala sosial budaya masyarakat yang semakin menjauh dari seni tradisinya. Selama studi pelacakan, peneliti menanyakan pada setiap guru TK mengenai keberadaan pengajaran seni bagi anak-anak prasekolah tersebut Mereka memberikan jawaban yang sama, bahwa di TK diajarkan kesenian. Lebih lanjut, peneliti menanyakan juga tentang seni apa saja yang diajarkan pada anakanak. Jawaban para guru tersebut sama, bahwa semua jenis kesenian diajarkan, mulai dari tari, musik, menggambar, dan seni peran (teater). Peneliti semakin penasaran untuk menanyakan lebih lanjut, "mengapa semua jenis seni itu diajarkan di TK?" Mereka menjawabnya dengan esensi yang sama. Kurikulum TK lebih banyak diajarkan permainan, anak-anak prasekolah belajar dengan cara bermain-main, maka dengan kesenian anak-anak dirangsang daya kreatifnya. Sistem pendidikan melalui seni membutuhkan model dan pengembangan pembelajaran yang menyenangkan. Cara ini dijawab oleh Denis Atkinson melalui bukunya, Art In Education: Identity and Practice, bahwa pengajar seni harus melihat cara peserta didik mengeksplorasi dan mewakili pengalaman mereka melalui beragam praktik seni. Penilaian terhadap praktik-praktik seni yang dilakukan peserta didik harus didasarkan pada representasi (signifikasi) dan maknanya dalam konteks pendidikan seni (Atkinson, 2002: 3). Berdasarkan pengamatan peneliti, beberapa pelajar sekolah berlatih teater di ruangruang kosong kampus tempat penulis bekerja. Mereka datang berkelompok, dari sore hari setelah mereka pulang sekolah hingga menjelang malam dengan ekspresi yang gembira. Mereka terlihat sangat menikmati untuk berlatih teater dengan bimbingan seorang mahasiswa yang ada di perguruan tinggi seni tersebut. Dari pengamatan yang dilakukan, muncul pertanyaan dalam diri penulis, "apa yang menyebabkan para siswa itu bersemangat dan merasa senang ketika datang di kampus perguruan tinggi seni dan berlatih teater?" Apakah semangat dan rasa senang para siswa berlatih teater sebagai sebuah alienasi dari rutinitas belajar di sekolah yang formal? Atau mereka memiliki harapan dengan berlatih teater untuk dirinya kelak? Pertanyaan-pertanyaan penulis tersebut mungkin saja tidak tepat untuk menjustifikasi para pelajar yang bersemangat untuk berlatih teater. Pengamatan-pengamatan dan wawancara yang dilakukan memunculkan banyak pertanyaan bagi penulis terhadap keberadaan seni peran (teater). Bidang teater yang selama ini dikesankan oleh masyarakat sebagai aktivitas "main-main", bahkan tidak pernah menjadi prioritas dalam pendidikan, tetapi muncul dalam ruang-ruang pendidikan dan kehidupan generasi muda. Teater ada di sekolah-sekolah, sejak prasekolah hingga SMA, dan bahkan memiliki tempat tersendiri di perguruan tinggi dengan adanya jurusan teater seperti di perguruan tinggi seni di Indonesia. Untuk menjaga pendidikan teater terhadap kalangan muda (usia 14-25 tahun), maka teater sebagai media komunikasi pendidikan harus menjaga keterbacaan (literasi), kepercayaan, dan etika berteater. Hal ini diyakini bahwa teater sebagai peristiwa komunikasi yang terjadi di dalam benak para penonton termasuk peristiwa komunikasi bagi pelakunya. Artinya, teater sebagai studi budaya adalah ruang pendidikan komprehensif tentang sikap dan kebiasaan khalayak, baik anak-anak maupun kalangan muda usia. Meminjam catatan John O'Toole, et.all (2014) bahwa teater sebaiknya menawarkan wawasan unik oleh dan untuk para pembuat teater dan administrator, pendidik teater dan peneliti, sekolah, orang tua, guru, siswa, anggota penonton dari segala usia. Peneliti meyakini teater sebagai sebuah instrumen dalam kehidupan manusia, bahkan oleh Jaques, sorang tokoh dalam As You Like It karya Shakespeare mengatakan pertunjukan teater adalah kehidupan dan kehidupan adalah pertunjukan teater itu sendiri (Leach, 2008: 11). Jika teater itu adalah kehidupan, maka dalam ranah pendidikan, teater bisa jadi merupakan sebuah media sumber pengetahuan untuk kehidupan yang lebih baik bagi manusianya. Disinilah teater sebagai media komunikasi pendidikan sangat membutuhkan pengetahuan. Meminjam ungkapan Doris B. Wallace dalam Education, Art, and Morality, pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan tentang mensintesis literatur penelitian yang ada, pengetahuan untuk membantu menentukan masa lalu dan berkontribusi untuk membentuk masa depan. Tidak kalah penting, dalam pendidikan teater adalah menjaga antara bidang teori dan praktik seni teater sebagai bentuk hubungan pendidikan yang hidup (Wallace, 2004). Meminjam catatan Latifah Novitasari dkk. (Novitasari, dkk., 2015: 225-226) yang mengemukakan teori dramatism Kenneth Burke, sebagai perbandingan kehidupan dengan sebuah pertunjukan teatrikal, kehidupan membutuhkan adanya seorang aktor, sebuah adegan, beberapa alat untuk terjadi adegan itu, dan sebuah tujuan. Dengan demikian, pendidikan seni budaya, khususnya teater merupakan media komunikasi antarsesama dalam kelompok kehidupan sebagai sebuah pengalaman yang memberi kesempatan bagi peserta didik untuk menampilkan kualitas kepemimpinan budaya. Kurikulum sekolah di Indonesia, salah satunya menggarisbawahi seni (termasuk seni teater) sebagai sebuah 'ilmu' yang dipelajari di jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Hal ini menjadikan seni harus diperlakukan sebagai sebuah objek yang dipikirkan, didiskusikan, dan dikupas melalui analisis berbagai perspektif. Ia tidak lagi memiliki kebebasan yang utuh untuk bersamasama mendefinisikan dirinya sendiri dan memberi makna terhadap segala fenomena bersama-sama dengan keutuhan fisik dan psikis alami manusia (Surtantini, 2015: 70). Pada posisi demikian teater sebagai media komunikasi yang dalam perspektif komunikasi berfungsi sebagai instrumental penting untuk dikaji dan dipahami. Dengan demikian, tujuan dari penulisan ini adalah menunjukkan kaitan teater dengan dunia pendidikan, proses komunikasi seni teater sebagai media komunikasi, dan manfaat nilai seni teater sebagai media pendidikan di sekolah.

Metode

Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi bukanlah suatu aliran atau doktrin, namun lebih tepat disebut sebagai metode yang berangkat dari suatu gerakan mencakup berbagai doktrin yang memiliki inti umum sebagai pemersatu berbagai sistem dan pembenar atas fenomenologi. Secara umum, penelitian ini menggunakan tiga pendekatan secara metodologis dalam fenomenologi Husserl. Pertama, reduksi eidetis, yaitu suatu tindak reduksional yang bertujuan mengungkap struktur dasar esensial (eidos) atau hakikat dari suatu fenomena asli. Kedua, reduksi fenomenologis, yaitu kelanjutan reduksi pertama yang ditujukan pada kesadaran subjek sebagai lapangan penghayatan (lived experience), yang meliputi esensi tradisi, kepercayaan, asumsi, aksioma, atau hukum, norma-norma dan lain-lain. Ketiga, reduksi transendental, yaitu upaya pemberian makna atas subjek transendental sebagai sumber makna atas kesadaran kita sendiri (Calhoun, dkk., 2007: 32-42). Melalui fenomenologi Husserl, penelitian ini dipandu dengan fenomenologi Alfred Schultz. Husserl sebagai pendahulu Schultz memberikan pikiran filosofis, selanjutnya oleh Schultz diberikan arah metode untuk mendapatkan genuinity (keaslian) nilai dan makna atas fenomenologi yang terjadi pada masyarakat. Dalam peristiwa seni pertunjukan (teater), fenomenologi Schultz mengajak untuk menemukan kembali local wisdom (kearifan lokal) pada suatu masyarakat yang menjadi subjek atas aktivitas-aktivitas kesadarannya, baik sosial, seni, dan budaya (Jaeni, 2015: 74-75). Berangkat dari metode penelitian fenomenologi yang telah disebutkan, penulis melakukan reduksi eidistis dan reduksi fenomenologis terhadap objek penelitian tentang teater sebagai media pendidikan di sekolah. Penelitian ini dilakukan dengan memaksimalkan observasi pada peristiwa teater yang dilakukan oleh siswa dan wawancara untuk mengungkap kesadaran subjekt tentang pengalaman hidup berteater dalam ruang pendidikan. Bentuk pengumpulan data melalui observasi dan wawancara tersebut menjadi bagian dari cara penulis untuk memahami tindakan, ucapan, dan interaksi dalam ruang teater sebagai media pendidikan. Melalui metode demikian, penulis mendapatkan pengetahuan tentang terbentuknya dunia keseharian para siswa berteater lewat kesadaran intersubjektif. Kesadaran demikian, merupakan konteks realitas yang dianggap sebagai intersubjektif, berbagi, dan bernegosiasi dalam interaksi sosial sebagai proses komunikasi dengan aktor komunikasi lainnya (dalam teater) melalui penyesuaian diri dengan tindakan orang lain (Sulaeman, 2018: 665 Vol 3, No 4). Penelitian dilakukan di beberapa sekolah dari TK, SD, SMP, dan SMA yang memiliki pembelajaran seni pertunjukan. Lokasi penelitian di sekolah-sekolah di Jawa Barat dengan mengambil dua daerah, yaitu Cirebon dan Bandung. Informan penelitian ini adalah guru-guru pembimbing teater di sekolah dan beberapa siswa yang secara purposive sampling dipilih oleh penulis. Sementara analisis data dilakukan melalui reduksi eidetis dan fenomenologis. Analisis melalui reduksi eidistis, yaitu peneliti mereduksi setiap kegiatan pembelajaran teater para siswa guna mengungkap hakikat dari pembelajaran teater tersebut sebagai fenomena asli. Sementara analisis reduksi fenomenologis dilakukan penulis dengan mencocokkan data observasi dan wawancara untuk mendapatkan kesadaran terhadap seni teater sebagai lapangan penghayatan bagi para pelakunya. Seluruh kegiatan yang dilakukan penulis dituangkan dalam simpulan-simpulan sebagai rangkaian data yang orisinal dan dituliskan sebagai hasil kajian fenomenologi. Selanjutnya peneliti harus mengakhiri proses penelitian tersebut dengan menyimpulkan hasil melalui beberapa kategori teater sebagai media pendidikan bagi siswa-siswi sekolah.

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan pembahasan mengenai teater sebagai media pendidikan di sekolah yang akan penulis uraikan sebagai tujuan dari tulisan ini. Pertama, penelitian menunjukkan bagaimana keterkaitan teater dengan dunia pendidikan. Kedua, mengungkapkan tentang proses komunikasi seni teater sebagai media komunikasi pendidikan. Ketiga, menganalisis bagaimana nilai seni teater sebagai media pendidikan di sekolah bagi para pelakunya.

Teater dan Pendidikan

Perjalanan teater dan dunia pendidikan seperti kelengkapan sosok manusia lahir. Seni teater dan pendidikan selalu beriringan sekalipun masyarakat belum mengenalnya bahwa teater bagian dari cara masyarakat dulu mendidik generasi penerusnya. Yakob Sumardjo menjelaskan, bahwa: Sebelum abad ke 20, Di Indonesia sudah mengenal drama-drama rakyat yang dituturkan atau dipentaskan di tempat-tempat terbuka seperti sawah, ladang, pekarangan rumah, tepi pantai, perempatan jalan, di tanah lapang, dan di halaman rumah. Cerita-cerita rakyat, legendalegenda dan bahkan mitologi-mitologi adalah bagian yang tak terpisahkan dari pertunjukan saat itu. Melalui pertunjukan yang membawakan cerita rakyat, legenda atau mitos setempat itulah, pengetahuan disebarkan kepada masyarakat lingkungannya. Di Sumatera Barat, masyarakat setempat menikmati cerita Malim Kundang, batu putri menangis, siti nurbaya, danau maninjau, dll. Di Jawa Tengah, masyarakat menikmati cerita tentang roro jonggrang, rawa pening, jaka tarub, dll. Di Jawa Timur masyarakat menikmati cerita tentang sawunggaling, cindelaras, gunung kelud, gunung bromo, dll. Di Nusa Tenggara Barat, masyarakat bisa menikmati batu golog dan putri mandalika, dan masyarakat di Papua menikmati cerita tentang buaya ajaib, batu keramat, asal cendrawasih dll. (Sumardjo, 1991: 178)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline