Lihat ke Halaman Asli

Fanatisme Suporter: Akar Masalah dan Solusi

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Mungkin ini sebuah pertanda. Agar otoritas yg berwenang untuk memikirkan alternatif mereset [ctrl+alt+del] kompetisi di indonesia, ISL & IPL. Dan membentuk sebuah kompetisi baru!! Itu salah satu bagian dari tulisan rekan De Ezra yang saya anggap sebagai salah satu solusi (revolusioner).

Anarkisme suporter, itu sudah! Dan terus akan terulang, sampai kapan kah? Tidak ada jeleknya mencari akar permasalahan dan solusinya.

Mari kilas balik sebentar, selama 10 th terakhir ini apa ada prestasi untuk sepakbola kita? Di Asean saja (AFF) enggak atau belum pernah juara, ngimpi ke piala dunia? Masih jauuuuh brew... Malah ada wacana pindah ke Oceania agar bisa tampil seperti Haiti? Loh yang penting itu tampil mendunia atau kualitas kah? Logikanya, kalau kualitas bagus ya tampil mendunia brew, jangan dibalik.

Lihat kompetisi domestik, apa klub Indonesia pernah juara Asia kah? Yang terjadi masih  jadi lumbung gol klub-klub dari ras kuning dan negara timur tengah, tapi kalau sudah bicara soal politisasi sepakbola, pengaturan skor dan judi bola ...woooow, masih ditambah kasus tampol-tampolan antar pemain dengan wasit dan perang suporter yang begitu anarkis dan enggak beradab lagi, Indonesia juaranya deh!

Kenapa?
Klub di indonesia sebagian besar manajemennya masih amatiran, nama-nama klub merupakan peninggalan era perserikatan, fanatisme suporter sebenarnya bukan pada klub, melainkan fanatisme kedaerahan sempit, sikap suporter ABG alay, maunya nonton gratisan, klub harus menang kalau main home, mengintimidasi klub rival....dan yang aneh, plat mobil kota rival bisa jadi sasaran serangan, gara-gara fanatisme sempit kedaerahan ini, pada hal pengendara dan mobilnya enggak ada sangkut-pautnya dengan urusan bola...hadeeeh

Kalau saya mencintai klub Liverpool bukan karena kotanya atau daerahnya tapi klubnya dan para pemainnya, jadi fanatisme bersifat lintas daerah dan lintas negara malah. Apa pernah kita ngimpi warga asli jakarta mengidolai klub dari Bandung atau sebaliknya tanpa gesekan kekerasan? Itu namanya mencintai klub bukan dari mana asalnya klub, melainkan fanatisme bersifat lintas daerah, bukan fanatisme sempit kedaerahan warisan persirakatan alias bond seperti saat ini.

Jadi bagaimana solusinya brew? Ada dua pola, mau cara evolusi apa mau cara revolusi? Kalau mau cara evolusi ya lakukan edukasi kepada para suporter secara terus menerus dan barangkali butuh waktu 5-10 tahun, itu pun kalau sungguh serius dilakukan oleh klub dan jajaran elit sepakbola (operator liga dan PSSI). Terapkan sanksi tegas buat klub untuk menimbulkan efek jera.

Kalau mau cara revolusioner, menurut saya lakukan moratorium sepakbola, reset sepakbola kita, buat klub-klub baru yang beneran profesional bukan berdasarkan bond/perserikatan, termasuk namanya tentu saja, biar fanatisme daerah itu hilang. Ngimpi nih ....

Salam olahraga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline