Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) sudah dipastikan tidak asing lagi untuk satu tahun terakhir ini. Program unggulan yang diluncurkan oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar Makariem ini bertujuan agar para mahasiswa mendapatkan kesempatan dalam menambah wawasan baru terkait ilmu pengetahuan, budaya maupun komunikasi dan toleransi antar individu yang berasal dari berbeda-beda daerah. Kegiatan PMM ini juga memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk saling berkolaborasi. PMM merupakan suatu program pertukaran mahasiswa dalam negri selama satu semester untuk mendapatkan pengalaman belajar di Perguruan Tinggi terbaik yang ada di seluruh Indonesia.
Program PMM ini tentu erat kaitannya dengan adaptasi kebudayaan atau biasa disebut dengan kebiasaan yang mana dapat menimbulkan culture shock atau biasa disebut dengan gegar budaya. Culture shock atau gegar budaya ini adalah perasaan khawatir, tertekan serta terkejut pada seseorang ketika berhadapan dengan lingkungan dan kebudayaan yang baru. Seseorang yang mengalami ini biasaya akan merasakan cemas dan kelelahan. Contohnya seperti mahasiswa PMM asal daerah yang melaksanakan program PMMnya di Ibu Kota. Tentu hal ini memiliki perbedaan yang signifikan baik dari gaya bahasa pada saat berkomunikasi, percepatan waktu, perbedaan kebiasaan.
Berdasarkan contoh yang ada, adanya perkembangan budaya dan kehidupan manusia yang dibangun oleh sekelompok manusia yang membawa budayanya masing-masing dalam menciptakan komunikasi antarbudaya antar kelompok tersebut. Sehingga muncullah teori yang dikemukakan oleh William Gudykunts mengenai Teori Kecemasan dan Ketidakpastian. Teori ini dikembangkan untuk memfokuskan pada perbedaan budaya antar kelompok dan orang asing.
William Gudykunts menjelaskan bahwa teori ini dapat digunakan dalam segala situasi dan kondisi yang berkaitan dengan perbedaan antara ketakutan dan keraguan. Gudykunts berpendapat bahwa kecemasan dan ketidakpastian yang menjadi penyebab kegagalan komunikasi antar kelompok. Contohnya seperti disaat Mahasiswa PMM ingin mengemukakan pendapat didepan sekelompok mahasiswa reguler perguruan tinggi penerima ia merasa cemas dan takut untuk berbicara karena merasa apa yang ingin ia ungkapkan tidak benar. Lalu contoh yang kedua adalah pada saat menggunakan transportasi umum dimana seringkali kita sebagai pengguna malu untuk bertanya karena takut apa yang ingin kita tanyakan tidak dapat dimengerti oleh petugas.
Pada pola komunikasi Gudykunst dan Kim ini dijelaskan bahwa dapat dicontohkan seperti pada saat mengupas kulit bawang dimana jika kita ingin berkenalan dimulai dari berbagai tahapan, seperti kita harus mengetahui siapa namanya terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan tahapan lapisan selanjutnya.
Untuk menghindari hal-hal negatif dalam berkomunikasi antarbudaya maka diperlukannya rasa saling peduli dan saling memahami antarindividu. Karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan kehadiran individu lain untuk saling melengkapi pada setiap aspek yang menjadi kebutuhan antarsesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H